Permata Hijau Pemikir Islam
Azyumardi Azra
[ENSIKLOPEDI] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Guru Besar dan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (dua periode 1998-2006), ini seorang cendekia dan pemikir Islam pembaharu. Pemilik nama Azyumardi Azra yang mempunyai arti mendalam sebagai ‘permata hijau’, ini memang seorang ‘permata hijau’ pemikir Islam berpandangan luas. Dia tak kurang telah menulis sembilan buku tentang Islam. Koleksi bukunya sudah mencapai 15.000 judul buku. Ketua Dewan Pers (2022-2025) ini meninggal di Malaysia, 18 September 2022 setelah terpapar Covid-19.
Menurut pengakuan pria Minangkabau kelahiran Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955, ini perjalanan hidupnya mengalir begitu saja, seperti air. Sikap intelektualnya pun bertumbuh alami dari awal seiring dengan komunitas diskusi yang dimasukinya. Ketika masih mahasiswa, komunitas intelektualnya adalah Forum Diskusi Mahasiswa Ciputat (Formaci), kemudian HMI di lingkungan Ciputat, lalu meningkat ke LP3ES, bahkan sampai ke LIPI sebelum melanglang buana ke mancanegara. Sekarang daya nalar intelektualnya dibutuhkan dimana-mana sebagai rujukan untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa.
Azyumardi Azra kini dikenal pula sebagai profesor yang ahli sejarah Islam dan nilai-nilai hidup Nabi Muhammad. Sejak tahun 1998 hingga sekarang dia adalah rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang sejak Mei 2002 lalu berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Pada awalnya sesungguhnya Azyumardi tidaklah berobsesi atau bercita-cita menggeluti studi keislaman. Sebab, dia lebih berniat memasuki bidang kependidikan umum di IKIP. Adalah desakan ayahnya, yang menyuruh Azyumardi masuk ke IAIN sehingga dia kini dikenal sebagai tokoh intelektual Islam masa depan. Dia lahir dari ayah Azikur dan ibu Ramlah.
Azyumardi lulus dari Fakultas Tarbiyah, IAIN Jakarta pada tahun 1982. Pada tahun 1986 memperoleh beasiswa Fullbright Scholarship untuk melanjutkan studi ke Columbia University, Amerika Serikat. Dia memperoleh gelar MA (Master of Art) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah pada tahun 1998. Kemudian, memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA lain di tahun 1989, kemudian gelar Master of Philosophy (Mphil) di tahun 1990, serta doktor Philosophy Degree (PhD) di tahun 1992 dengan disertasi berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi ini bahkan telah dipublikasikan oleh Australia Association of Asian Studies bekerjasama dengan Allen Unwin.
Kembali ke Jakarta, di tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Kembali melanglang buana, pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College. Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada University of Philippines, Philipina dan University Malaya, Malaysia keduanya di tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.
Di tahun 2001 Azyumardi Azra memperoleh kepercayaan sebagai profesor tamu internasional pada Deparmen Studi Timur Tengah, New York University (NYU). Sebagai dosen, dia antara lain mengajar pada NYU, Harvard University (di Asia Center), serta pada Columbia University. Dia juga dipercaya menjadi pembimbing sekaligus penguji asing untuk beberapa disertasi di Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, maupun di University of Leiden.
Suami dari Ipah Fariha serta ayah empat orang anak, Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra ini, juga aktif mempresentasikan makalah pada berbagai seminar dan workshop setingkat nasional maupun internasional. Pria yang pernah tercatat sebagai wartawan “Panji Masyarakat” di tahun 1979-1985 ini, telah menulis dan menterbitkan buku antara lain berjudul Jaringan Ulama (Tahun 1994), Pergolakan Poitik Islam (1996), Islam Reformis (1999), Konteks Berteologi di Indonesia (1999), Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (1999), Esei-esei Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim (1999), Renaisans Islam di Asia Tenggara –buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, dan buku Islam Substantif (tahun 2000).
Pehobi joging dan menonton pertandingan sepakbola ini awalnya menampik sebagai pimpinan kampus, terutama ketika ditunjuk menjadi Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik. Namun dia sadar, adalah kampusnya itu yang telah membentuk kadar intelektualnya, yang telah pula mengirimnya sekolah kemana-mana sehingga semuanya dianggapnya sebagai utang. Kesediaan menjadi Purek ternyata bermakna lain, menjadi sinyal bagi sejawatnya bahwa jika dipercayakan sebagai rektor dia pasti tidak bisa menolak. “Itu saya sebut sebagai musibah,” katanya suatu ketika, menanggapi penunjukannya sebagai rektor.
Dia pun lantas memperlebar makna kampusnya, dari IAIN manjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah sejak Mei 2002 lalu. Perubahan itu disebutkannya sebagai kelanjutan ide rektor terdahulu Prof. Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis, dan toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja. Itulah sebabnya, kata pemilik 12 ribu mahasiswa itu, untuk mencapai ide tersebut institusinya harus dibenahi agar ilmu umum dan agama bisa saling berinteraksi. Dan satu-satunya cara adalah mengembangkan IAIN menjadi universitas sehingga muncullah fakultas sains, ekonomi, teknologi, MIPA, komunikasi, matematika, dan lain-lain.
Azyumardi juga ingin agar wawasan keislaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai wawasan keindonesiaan sebab hidup kampusnya di Indonesia. “Jadi, keislaman yang akan kita kembangkan itu adalah keislaman yang konstekstual dengan Indonesia karena tantangan umat muslim di sini adalah tantangan Indonesia,” ujarnya. Pendekatannya terhadap agama adalah pendekatan yang tidak berfanatisme dan bermadzhab, berbeda dengan anak-anak yang memahami agama secara literer yang cenderung hitam putih. Bio TokohIndonesia.com | crs-san