Sejarawan Besar Indonesia
Ong Hok Ham02 | Sejarawan Besar Tanpa Gelar Profesor

Onghokham bukan pohon pisang, yang hanya berbuah satu kali. Di usia senja yang sudah semakin larut, dengan beragam kendala yang harus dia atasi, ternyata dia masih tetap bisa membuktikan jati dirinya sebagai seorang penulis yang tetap dan akan terus berkarya. Sakit dan penyakit ternyata tidak selamanya membatasi kegiatan seseorang.
Ini pula yang terjadi dengan Dr Onghokham. Meskipun dia kini harus berada di atas kursi roda akibat serangan stroke sejak pertengahan tahun 2001, tidak berarti kegiatannya menyusut. Tidak hanya dalam mengikuti perkembangan dunia dan menuangkan hasil renungan dalam tulisan.
Bahkan, ketekunannya melakukan penelitian berikut gaya bicaranya yang selalu meledak-ledak sebagai ciri khas orang Surabaya, tetap melekat pada dirinya. Sehingga Ong, begitu para sahabatnya memanggilnya, setiap hari masih hadir serta beredar di tengah kehidupan masyarakat.
“… masak hanya karena sakit macam ini lantas tidur melulu. Harus tidur dengan siapa?” katanya pada Rabu (30/4) sore, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-70. Ong mengatakan ini sambil bersiap-siap berangkat ke resepsi perayaan Hari Nasional Belanda. Maka, itulah yang terjadi.
Dia tidak pernah membatasi kegiatan dan aktivitasnya. Bedanya, kalau dulu orang akan selalu melihat lelaki botak bertubuh tambun dengan kacamata tebal tersebut hadir sendirian dengan baju yang lengannya dilinting sampai ke siku tangan, bersepatu sandal, serta sebuah traveling bag kumuh tersandang di bahu. Sekarang, Ong tidak lagi seperti itu.
Penampilannya sama, namun ada dua atau tiga orang mengikutinya. Mendorong kursi roda, menaikturunkan ke kendaraan, dan membantu keperluan ini-itu. “… maunya saya, ya, masih macem dulu, bisa keluyuran ke mana-mana sendirian. Tetapi, kan, tidak semua tempat umum di Jakarta ini yang bisa diakses dengan bebas oleh orang seperti saya?” katanya.
Tahun 2001, ketika sedang bertamu ke Yogyakarta, tinggal di rumah sahabatnya, seniman batik Ardianto Prananta, tiba-tiba saja Ong mengalami serangan stroke. Suasana menjadi lebih dramatis karena rumah itu relatif kosong sebab saat itu pemiliknya sedang berada di Australia.
Ardianto melukiskan suasananya, “Untung saja pembantu saya tidak panik, untung sudah ada telepon seluler, dan untung juga Yogya tidak punya traffic jam sehingga dengan cepat mereka bisa menghubungi saya, dan segera saya perintahkan untuk melarikannya ke Rumah Sakit Panti Rapih. Kalau misalnya terlambat, ya, Pak Ong mesti wis bablas tenan….”
Perjalanan hidup memang sering meluncur tanpa bisa diduga lebih dulu. Ibunya, Tan Siang Tjia, menikah dua kali, dan Ong merupakan anak pertama dari pernikahan kedua, sekaligus menjadi anak ketiga dari semua putra ibunya. Sebagai seorang penulis produktif dan selama beberapa tahun ini telah menghasilkan banyak sekali naskah di beragam media, ingatan Ong sangat tajam. Dia tetap ingat pada tulisan pertamanya yang dipublikasikan, “… judulnya Perkawinan Indonesia-Tionghoa Sebelum Abad ke XIX di Jawa, dimuat dalam Mingguan Star Weekly edisi 15 Februari 1958.”
Kalau tulisan pertamanya mengenai perkawinan, mengapa justru sampai hari ini Ong tetap memilih jadi bujangan? Sambil terbahak dia menukas, “Tetapi, kan, bukan jadi bujang lapuk? To be honest, saya enggak pernah mau dikritik. Dan salah satu cara terbaik untuk tidak dikritik adalah tidak usah punya istri.”
Melihat saya masih tertegun, Ong langsung menambahkan, “Saya sendiri juga tidak tahu alasan sebenarnya. It’s so happened. Mungkin saja karena tidak ada waktu. Saya sudah telanjur menghabiskan seluruh waktu untuk hal-hal lain, atau karena saya terlalu banyak terlibat ini-itu. Tetapi, percayalah, jangan salah sangka, saya tetap mempunyai kehidupan yang baik, cara hidup yang katakanlah istilahnya, bersih….”
Bersih dan kotor, baik dan buruk adalah relatif, tergantung pada sudut pandang masing-masing. Pada diri Ong, dia mampu berbaur dan selalu beredar pada semua lapisan masyarakat tanpa pernah membangun sekat-sekat yang jadi penghalang kekerabatan.
Sebagai penganut Buddhis yang juga warga keturunan Tionghoa, dia adalah minoritas yang berada di tengah lautan mayoritas. Dalam kesendiriannya, Ong terbukti diterima di semua tempat. “Paling-paling kritik paling keras yang saya dengar, saya dianggap genit. Namun, genit kan bukan bahaya karena tidak menular dan tidak harus dibenci…,” katanya.
Sikap hidup membuka diri tersebut juga tercermin dalam rumah tinggalnya di kompleks Diskum, di tengah Kampung Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sebuah rumah tropis yang akrab dengan lingkungan serta murah harganya. “Makanya tak punya jendela dan tak perlu pintu, orang bisa bebas lalu lalang keluar masuk….”
Selama ini rumah itu, meskipun letaknyalebih rendah, selalu bebas dari ancaman banjir. “… kecuali tahun lalu, ketika banjir besar menyergap seluruh Jakarta, air sempat mampir ke dalam rumah. Untung tak terlalu dalam sehingga semua buku saya masih bisa diselamatkan.”
Buku merupakan harta utama yang menjadi milik Ong. Maka, tidak mengherankan kalau untuk menandai ulang tahunnya yang ke 70 hari Kamis (1/5) sore ini di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Ong sekaligus meluncurkan dua buku. Satu berupa kumpulan tulisannya di Mingguan Tempo antara tahun 1976-2001 yang dia beri judul Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Satu lagi buku bertajuk The Thugs, The Curtain Thief and The Sugar Lord: Power, Politics and Culture in Colonial Java.
Panjang jalan yang sudah dengan tertatih-tatih dilalui Onghokham, sebelum akhirnya bisa tumbuh menjadi sejarawan, dengan spesialisasi sejarah Jawa sekitar abad XIX.
Menyelesaikan pendidikan di HBS Surabaya, Ong lalu melanjutkan ke SMA di Bandung. Singgah sebentar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), akhirnya pindah ke Fakultas Sastra, masuk jurusan Sejarah dan selesai tahun 1968.
Dia melanjutkan studi di Universitas Yale, Amerika Serikat, “… oleh karena banyak ahli tentang Indonesia yang kebetulan sudah saya kenal, datang dari sana. Saya berbelok ke Universitas Yale berkat dorongan Harry J Benda, penulis buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesia Islam Under The Japannese Ocupation 1942-1945.” Gelar doktor diraih oleh Ong tahun 1975 dengan disertasi The Residency of Madiun ; Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century.
Mungkin orang akan heran, bagaimana mungkin sejarawan yang banyak menulis buku, rajin melakukan penelitian, dan sering tampil dalam beragam forum ilmiah baik di dalam maupun di luar negeri ini tidak pernah bisa diangkat menjadi mahaguru dan bergelar profesor.
Nasib Ong memang malang. Nomor induk pegawainya sebagai dosen di UI pernah hilang. Sehingga setelah mengajar selama 25 tahun, status kepegawaiannya tetap saja mandek di golongan III A. Maka, pada tahun 1989, ketika usianya 56 tahun, dia harus menjalani masa pensiun.
Prof Dr Sartono Kartodirdjo selalu berpesan kepada para muridnya, “Jangan seperti pohon pisang yang hanya sanggup berbuah sekali.” Julius Pour, Kompas 1 Mei 2003