Sepeninggal Taufiq Kiemas

Megawati Soekarnoputri
 
0
897
Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Bagaimana kelanjutan perjuangan politik PDI Perjuangan, khususnya Megawati Soekarnoputri sepeninggal suaminya Taufiq Kiemas? Beragam komentar muncul. Selama ini, apakah Taufiq Kiemas sebagai penguat atau justru titik lemah jejak politik Megawati?

Ketua MPR RI Taufiq Kiemas (TK), Ketua Dewan Pertimbangan PDI Perjuangan dan suami Megawati Soekarnoputri, meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Singapura, Sabtu 8 Juni 2013 malam. Dimakamkan Minggu 9 Juni 2013 di TMP Kalibata, Jakarta, dengan inspektur upacara Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Berbagai pihak menyampaikan belasungkawa dengan beragam apresiasi yang menggambarkan sosok Taufiq Kiemas sebagai negarawan, bapak empat pilar kebangsaan, bergaya politik moderat, lentur, luwes, pemecah karang kebuntuan politik antara PDI-Perjuangan dengan partai lain, terutama antara Megawati dan SBY. Taufiq digambarkan dan diapresiasi sebagai tokoh penting dalam perjalanan politik Megawati dan PDI-Perjuangan.

Bahkan beberapa apresiasi itu secara tersirat (terkesan) justru ‘meremehkan’ kemampuan Megawati selaku Ketua Umum PDI-P dan mantan Presiden. Seolah Megawati hanya bisa berpolitik dengan topangan Taufik Kiemas. Sehingga digambarkan seolah Megawati tidak punya sayap (power) lagi dalam menjelajah terjalnya ‘pertarungan’ politik ke depan sepeninggal suaminya Taufiq Kiemas.

Dengan demikian patutlah kalangan internal PDI-P merasa yakin kiprah politik Megawati dan PDI-P akan lebih solid sepeninggal Taufiq Kiemas. Mereka yakin, partainya akan selalu bergerak dan bekerja berdasarkan sistem yakni bagaimana peran ideologi dalam menggerakkan partai, lebih dari kepentingan politik pragmatis.

Tentu, bahkan pasti, Megawati sangatlah kehilangan pendamping setia dan pengayom (suami). Bahkan lebih dari itu, kehilangan pendamping dan penasihat politik yang paling setia dan paling dekat. Megawati sendiri sebelumnya pernah memuji Taufiq sebagai sosok suami yang baik. Megawati mengaku mendapatkan posisi politik saat ini berkat dukungan suami tercintanya. “Pak Taufiq itu baik sekali, sampai saya jadi begini. Kalau saya dijadikan bidadari dalam sangkar, tidak mungkin saya begini,” kata Megawati saat berdialog dengan kadernya di kantor DPP PDI-Perjuangan, Jalan Lenteng Agung No 99, Jakarta Selatan, Kamis 12 Mei 2011.

Maka, para komentator pun bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan perjuangan politik Megawati sepeninggal suaminya Taufiq Kiemas? Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego, menilai Taufiq Kiemas satu-satunya politisi penyeimbang di tubuh PDI-P. Dia satu-satunya kader yang berani berseberangan pendapat dengan ketua umum, Megawati Soekarnoputri,” katanya. Indria memprediksi PDI-P bakal monoton sepeninggalan Taufiq.

Indria menyebut Taufiq sebagai jembatan antara PDI-P dengan dunia luar. Contohnya, bagaimana Taufiq mencairkan suasana politik antara PDI-P dengan Presiden SBY. Indria memprediksi Megawati akan lebih jutek (bersikap dingin) kepada Presiden SBY. Sehingga, menurut Indria, SBY sangat merasa kehilangan atas meninggalnya TK. “Saya kira SBY lebih kehilangan TK dibanding Megawati dalam konteks politik. Dalam konteks personal jelas Megawati kehilangan karena Taufiq suaminya,” kata Indria Samego.

Pengamat politik dari Universitas Gajah Mada, Ari Dwipayana juga berpendapat bahwa TK sebagai tokoh pembeda di PDI-P, seorang politisi yang paling luwes berhubungan dengan pemerintah. Dalam pandangan Ari, TK mengajarkan PDI-P bagaimana menjaga komunikasi dengan pemerintah meski berdiri sebagai oposisi. Maka, menurutnya, PDIP perlu orang yang bisa gantikan keluwesan Taufiq Kiemas. Jika tidak ada, maka PDI-P akan monoton dan kaku.

Pendapat lain diberikan Yunarto Wijaya dari Charta Politika. Dia memprediksi sepeninggal Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufiq Kiemas, soliditas partai ideologis ini akan semakin kuat. Yunarto menyebut peninggalan Taufiq Kiemas tentang gaya politik yang lebih moderat dan mendorong munculnya pemimpin muda juga tidak akan hilang.

Bahkan menurutnya, peluang PDI Perjuangan untuk menjadi makin solid itu lebih besar karena PDI Perjuangan dan elitenya kini hanya memiliki Megawati Soekarnoputri sebagai poros kekuasaan. Namun, kondisi itu, menurut Yunarto, sekaligus memunculkan adanya tantangan dan momentum melakukan transformasi internal untuk membuka celah dalam mendiversifikasi kekuasaan agar tidak terpusat pada Megawati ataupun keluarga besar Soekarno.

Advertisement

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional (LSN) Umar S Bakry memprediksi dalam jangka pendek tidak ada pengaruh signifikan dalam tubuh PDI Perjuangan sepeninggal Taufiq Kiemas khususnya bagi gerbong yang berada di belakang Taufiq. Dia menyebut di PDI-P ada patron Mega dan Taufiq Kiemas. Namuan, dalam waktu dekat tidak akan terasa karena sudah selesai penyusunan DCS (Daftar Calon Sementara), tapi akan terasa pada bulan-bulan menjelang pemilu 2014. Umar S Bakry memperkirakan dalam kaitan koalisi Pemilu 2014 mendatang, PDI Perjuangan akan lebih kental berbasis ideologis ketimbang pragmatis.

Sementara itu, kalangan internal PDI-P merasa yakin kiprah politik Megawati dan PDI-P akan selalu solid sepeninggal Taufiq Kiemas. Politisi PDI Perjuangan Eva K Sundari meyakini, partainya akan selalu bergerak dan bekerja berdasarkan sistem. “Beliau (Taufik) sudah memberikan warisan sistem bagaimana peran ideologi dalam menggerakkan partai,” kata Eva Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2013).

 

Paradoks Megawati-Taufiq

Berbagai pandangan yang mengapresiasi kiprah politik Taufiq Kiemas antara lain juga menggambarkan adanya paradoks antara Megawati dan Taufiq Kiemas. Atau bahkan menggambarkan bahwa Taufik Kiemas adalah antitesa Megawati. Taufiq Kiemas disebut sebagai seorang politisi yang luwes dan moderat karena dia lebih pragmatis. Sedangkan Megawati disebut sebagai seorang politisi yang kaku karena dia teguh pada prinsip atau ideologis.

Antitesa (penyatuan pendapat yang bertentangan) atau paradoksal (bertentangan tetapi berjalan beriringan), itulah gambaran duet Megawati-Taufiq Kiemas. Sehingga dalam konteks ini, di satu sisi Taufiq Kiemas dipandang sebagai penguat bagi Megawati, perpaduan (penyatuan) keduanya dianggap saling menguatkan. Namun, di sisi lain, pragmatisme Taufiq justru sering menjadi titik lemah kiprah politik Megawati.

Pada saat Megawati kalah dalam Pemilu Presiden 2004, banyak orang ‘berkelakar’ menyebut Taufiq Kiemas sebagai Bapak Negara (padanan Ibu Negara) menjadi kelemahan pemerintahan Megawati. Pragmatisme Taufiq Kiemas justru dipandang sebagai titik lemah Presiden Megawati. Bahkan kekalahan Megawati dalam Pilpres 2004 bermula dari sikap (komentar) Taufiq Kiemas (1 Maret 2004) yang menyebut Susilo Bambang Yudhoyono ‘jenderal kekanak-kanakan’ karena mengadukan masalah internal pemerintahan ke wartawan. “Kalau anak kecil lagi genit-genitan, ya merasa diisolasi seperti itu. Kalau memang bukan anak kecil dan merasa dikucilkan, lebih baik mundur,” kata Taufiq.

Selama ini juga publik sering kali menangkap adanya pertentangan (perbedaan) antara prinsip (ideologis) Megawati dan pragmatisme Taufiq Kiemas. Juga sebagaimana diakui politisi senior PDI-P AP Batubara bahwa Taufiq Kiemas punya jalan pikiran yang kadang-kadang tidak cocok dengan garis partai, maupun Megawati. Lalu, kadang ada orang membawa itu keluar seolah ada pertentangan. “Padahal yang ada perbedaan pendapat, itu biasa,” kata AP Batubara.

Maka Batubara berkeyakinan, PDI-P sepeninggal Taufiq Kiemas akan lebih kompak dan solid. Karena, menurut Batubara, selama ini Taufiq kadang-kadang berusaha agar keinginannya terlaksana dengan mencoba-coba pengaruhi kader-kader. “Bagaimanapun, itu diakui menganggu soliditas,” ungkap AP Batubara.

Salah satu contoh pragmatisme Taufiq Kiemas adalah ketika dia mendorong PDI Perjuangan berkoalisi dengan Partai Demokrat (pemerintahan Presiden SBY). Demikian pula dalam kasus kasus Century dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Juga dalam penentuan Jokowi menjadi calon gubernur. Taufiq Kiemas secara terbuka menolak pencalonan Jokowi. Taufiq Kiemas menegaskan agar Jokowi lebih baik merampungkan tugas di Solo sebagai walikota, karena Jokowi dinilai tidak menguasai kondisi Jakarta.

Bahkan Taufiq Kiemas mengusulkan agar PDI Perjuangan mendukung calon incumbet Fauzi Bowo dengan menyandingkannya dengan kader PDI-P Adang Ruchiatna sebagai Cawagub. Dan beberapa perbedaan lainnya.

Namun fakta politiknya, PDI-P tetap memilih oposisi bagi pemerintahan SBY, angket Century digulirkan, serta Jokowi menjadi calon Gubernur DKI Jakarta dan mengalahkan Fauzi Bowo. Maka, jika dicermati faktanya, suara berbeda (pragmatisme) dari Taufiq Kiemas tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan dalam tataran aplikasi sikap politik dan kebijakan PDI Perjuangan di bawah kendali Megawati selaku Ketua Umum.

Dengan demikian patutlah kalangan internal PDI-P merasa yakin kiprah politik Megawati dan PDI-P akan lebih solid sepeninggal Taufiq Kiemas. Sebagaimana dikemukakan AP Batubara dan Eva K Sundari di atas. Mereka yakin, partainya akan selalu bergerak dan bekerja berdasarkan sistem yakni bagaimana peran ideologi dalam menggerakkan partai, lebih dari kepentingan politik pragmatis. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com

Data Singkat
Megawati Soekarnoputri, Presiden RI Kelima (2001-2004) / Sepeninggal Taufiq Kiemas | Ensiklopedi | Presiden, Partai, politik, PDI-Perjuangan, PDI-P

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini