Suhartoyo Ketua Mahkamah Konstitusi
Suhartoyo Ketua Mahkamah Konstitusi

Dr. Suhartoyo S.H., M.H., adalah seorang hakim konstitusi dengan pengalaman lebih dari tiga dekade di sistem peradilan Indonesia. Meski dihadang sejumlah kontroversi, Suhartoyo dengan bekal kualifikasi akademik yang solid dan pengalaman yang luas di berbagai tingkatan peradilan, terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi untuk masa jabatan 2023-2028.

Suhartoyo menggantikan Anwar Usman yang dicopot dari jabatan Ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK) karena melanggar etika berat terkait konflik kepentingan dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Hakim konstitusi sejak 2015 ini dikenal sebagai salah satu hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan Nomor 90 tersebut.

Suhartoyo lahir 15 Oktober 1959 di Sleman, Yogyakarta, dalam keluarga sederhana. Awalnya, Suhartoyo tidak bermaksud untuk menjadi penegak hukum, melainkan berminat pada ilmu sosial politik dan bercita-cita untuk bekerja di Kementerian Luar Negeri. Namun, setelah kegagalannya menjadi mahasiswa ilmu sosial politik, Suhartoyo akhirnya memilih untuk menjadi mahasiswa ilmu hukum. Suhartoyo meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Islam Indonesia pada tahun 1983. Setelah itu, Suhartoyo melanjutkan pendidikan pascasarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Tarumanegara, lulus pada tahun 2003, dan mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Jayabaya pada tahun 2014.

Dalam perjalanan kariernya, Suhartoyo awalnya bermaksud untuk menjadi jaksa, namun karena ajakan dari teman-teman di kampus, Suhartoyo ikut mendaftar dalam ujian menjadi hakim dan berhasil terpilih. Suhartoyo memulai kariernya sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung pada tahun 1986 dan terus meniti karier di berbagai pengadilan negeri hingga tahun 2011, sebelum akhirnya naik pangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar, dan kemudian terpilih sebagai hakim konstitusi.

Penyuka hobi golf dan rally ini bertugas di Lampung dan Bengkulu selama lima belas tahun, yaitu sebagai Hakim Pengadilan Negeri Curup (1989-1995); Hakim Pengadilan Negeri Metro (1995-1999), dan terakhir sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kotabumi (1999-2001). Karier sebagai hakim di Pengadilan Negeri terus berlanjut hingga tahun 2011. Di antaranya Hakim PN Tangerang (2001-2004), Ketua Pengadilan Negeri Praya (2004-2006), Hakim PN Bekasi (2006-2009), Wakil Ketua (2009-2010) dan Ketua (2010) di Pengadilan Negeri Pontianak, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur (2010-2011), dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (2011). Pada tahun 2011, ia naik pangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar, jabatan yang ia emban pada saat terpilih menjadi hakim konstitusi.

Pada saat menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suhartoyo menunjuk majelis hakim yang menangani perkara Sudjiono Timan, tersangka skandal korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Meskipun ada investigasi formal dari Komisi Yudisial atas vonis bebas yang diberikan oleh majelis hakim di PN Jakarta Selatan, Suhartoyo menyatakan bahwa ia tidak pernah ikut menyidangkan perkara ini. Hal ini belakangan menjadi salah satu kontroversi pada saat pengangkatan Suhartoyo menjadi hakim konstitusi.

Pada 3 Desember 2012, panitia seleksi yang dibentuk oleh Mahkamah Agung mengumumkan bahwa Suhartoyo terpilih sebagai Hakim Konstitusi usulan MA menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi, yang tidak dipilih kembali untuk masa jabatan kedua.

Pemilihan Suhartoyo mengundang kontroversi dari beberapa pihak. Dua mantan Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan dan Harjono, berpendapat bahwa Fadlil lebih pantas untuk menjadi Hakim Konstitusi, mengingat pengalamannya sebagai panitera MK dan hakim selama satu periode. Namun, Ketua panitia seleksi dan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Suwardi tetap mempertahankan keputusan memilih Suhartoyo, dengan alasan bahwa proses pencalonan Hakim Konstitusi sepenuhnya merupakan kewenangan MA.

Protes juga timbul dari Komisi Yudisial, yang sebelumnya merekomendasikan Fadlil untuk periode kedua di MK. Komisioner Bidang Rekrutmen Hakim, Taufiqurrohman Syahuri, menyayangkan MA karena mengabaikan rekomendasi KY, yang telah melakukan investigasi menyeluruh. KY kemudian membuka investigasi resmi atas peran Suhartoyo dalam pembebasan tersangka BLBI Sudjiono Timan, serta klaim bahwa ia sering bepergian ke luar negeri. Suhartoyo menegaskan bahwa ia tidak pernah menyidangkan perkara Sudjiono Timan selama menjabat di PN Jakarta Selatan, dan menolak klaim KY bahwa ia bepergian 18 kali ke Singapura sepanjang bulan Juli hingga Agustus 2013, yang bertepatan dengan pemeriksaan peninjauan kembali perkara Sudjiono di PN Jakarta Selatan.

Terlepas dari kontroversi yang ada, Suhartoyo dan I Dewa Gede Palguna kemudian dilantik menjadi Hakim Konstitusi oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 7 Januari 2015.

Advertisement

Pada Desember 2019, Suhartoyo diusulkan kembali oleh Mahkamah Agung (MA) untuk memegang jabatan hakim konstitusi setelah melalui proses penilaian yang melibatkan penilaian eksternal dari akademisi Indriyanto Seno Adji dan Agus Yuda Hernowo. Ia kemudian dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 7 Januari 2020.

Suhartoyo kemudian terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi untuk masa jabatan 2023-2028, menggantikan Anwar Usman yang diberhentikan dari jabatan Ketua MK oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena terbukti melanggar etika berat terkait konflik kepentingan dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Suhartoyo terpilih melalui Rapat Permusyawaratan Hakim dan secara resmi dilantik sebagai Ketua MK pada 13 November 2023.

Suhartoyo dikenal sebagai salah satu hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan yang mengabulkan sebagian permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.

Putusan tersebut menetapkan bahwa syarat usia minimal untuk calon presiden dan calon wakil presiden adalah 40 tahun atau mereka yang pernah atau sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Putusan itu membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra dari Presiden RI Joko Widodo yang berusia 36 tahun, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo, untuk mendaftar sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Presiden 2024, mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.

Dalam pendapat dissenting-nya, Suhartoyo menyatakan bahwa permohonan Nomor 90 yang diajukan oleh mahasiswa Solo, Almas Tsaqibirru, tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Suhartoyo secara konsisten menyatakan dissenting opinion-nya terkait kedudukan hukum dalam semua permohonan terkait syarat usia calon wakil presiden yang putusannya dibacakan secara bersamaan pada 16 Oktober 2023.

Dalam perkara Nomor 90, Suhartoyo adalah satu dari empat hakim konstitusi yang menyatakan pendapat dissenting. Tiga hakim konstitusi lainnya adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiddudin Adams, yang masing-masing memiliki pendapat berbeda.

Terkait dengan pola perilaku Suhartoyo dalam menangani perkara di MK, sebuah kajian ilmiah menyebutkan bahwa Suhartoyo cenderung mendukung pemerintah dalam pengambilan keputusan, serta keaktifannya dalam menyampaikan pandangan yang berbeda (dissenting opinion) dalam konteks keputusan hukum yang diambil oleh MK.

Kajian ilmiah itu dilakukan oleh Björn Dressel dan Tomoo Inoue yang terbit di jurnal Constitutional Review pada Desember 2018. Di situ disebutkan bahwa Suhartoyo, bersama Palguna dan Ahmad Syarifuddin Natabaya, merupakan Hakim Konstitusi yang paling sering berpihak pada pemerintah, dengan persentase keputusan yang mendukung pemerintah mencapai 52% dari keseluruhan perkara yang diputuskan oleh MK.

Selain itu, Suhartoyo juga dikenal sebagai salah satu dari lima hakim yang sering menyampaikan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion, dengan persentase mencapai 47% dari total kasus yang diajukan. Persentase ini menempatkan Suhartoyo di bawah Achmad Roestandi, Natabaya, dan Palguna dalam hal frekuensi dissenting opinion yang dikeluarkan. (pan, red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini