Tekun Perkenalkan Jazz
Jack Lesmana
[ENSIKLOPEDI] Di kala musik jazz masih sangat asing bagi masyarakat Indonesia, dia tetap tekun menggeluti dan memperkenalkan dunia jazz. Dedikasinya yang tinggi itu membuat namanya sering dikonotasikan menjadi Jazz Lesmana. Nama-nama besar di dunia jazz yang menjadi sahabatnya antara lain Bubi Chen, Mus Mualim, dan Bill Saragih.
Jack Lesmana lahir di Jember, Jawa Timur, 18 Oktober 1930 dengan nama Jack Lemmers. Ayah Jack berdarah Madura sedangkan ibunya blasteran Jawa dan Belanda. Ia menggunakan nama Lemmers, mengikuti nama ayahnya yang diadopsi oleh seorang Belanda.
Kedua orangtua Jack bergelut di dunia seni. Ayahnya adalah penggemar biola, sementara ibunya pernah menjadi penyanyi dan penari dalam kelompok opera Miss Riboet. Terlahir di lingkungan keluarga yang amat mencintai kesenian membuat Jack ikut terjun sebagai seniman. Di usia 10 tahun, ia sudah pandai bermain gitar. Perkenalannya dengan musik jazz terjadi dua tahun kemudian, kala itu Jack direkrut menjadi gitaris di kelompok musik jazz bernama Dixieland.
Pada tahun 1945, Jack remaja bergabung dengan grup musik Berger Quartet yang terdiri dari Berger (piano), Putirai (drum), dan Jumono (bass). Tak hanya pandai memetik gitar, Jack juga piawai membetot bass. Keahliannya itu ia tampilkan saat berkolaborasi dengan Boogie-Woogie Rhytmics yang terdiri dari Micki Wyt sebagai pemimpin dan pemain piano, Oei Boeng Leng (gitar), dan Benny Heynen (klarinet).
Setelah itu bersama Maryono (klarinet), Andy Sayifin (saksofon alto), Lody Item (gitar, ayah dari musisi Jopie Item), Suwarto (piano), Tuharjo dan Kadam (trompet), Jack bergabung dalam band Irama Samudra. Kemudian di awal dasawarsa 50-an, ia mendirikan Jack Lemmers Quartet bersama Maryono dan Bubi Chen. Belakangan grup jazz tersebut berganti nama menjadi Jack Lesmana Quintet. Nama itulah yang kemudian sering muncul mengasuh program musik jazz di RRI Surabaya.
Saat Jack berusia 21 tahun, ia diterima bekerja di Angkatan Laut Republik Indonesia. Tugas sehari-harinya adalah menyetrika seragam pegawai. Di sela-sela kesibukannya bekerja, Jack masih menekuni hobi bermusiknya dengan bergabung dalam kelompok musik pimpinan R. Iskak, ayah pemain film Indriati Iskak dan Alice Iskak. Di tahun 1959, Jack kembali bekerjasama dengan rekannya di Jack Lesmana Quintet, Bubi Chen. Kali ini ia ikut dilibatkan dalam penggarapan album Bubi yang bertajuk Bubi Chen With Strings. Kabarnya, album yang dirilis PT Lokananta ini pernah dibahas oleh Willis Connover, seorang pengamat jazz asal Amerika Serikat.
Setelah itu, Jack hijrah ke Jakarta atas ajakan Wim Gontha, ayah Peter F. Gontha di tahun 1960. Sesampainya di ibukota, Jack bekerja sebagai teknisi rekaman di Irama Record milik Suyoso Karsono alias Mas Yos, seorang pensiunan Angkatan Udara RI. PH Irama merupakan perusahaan piringan hitam pertama di Indonesia. Di pertengahan era 60-an, Jack membentuk kelompok jazz Indonesian All Stars bersama Bubi Chen (piano), Benny Mustapha van Diest (drum), Maryono (flute, saxophone), dan Jopie Chen (bass). Masa depan kelompok musik ini sangat menjanjikan karena didukung nama-nama besar di dunia musik jazz. Buktinya, mereka pernah mendapat undangan bermain jazz di Australia, Amerika Serikat, dan Jerman.
Melihat sepak terjang Indonesian All Stars di blantika musik jazz, Tony Scott seorang peniup clarinet jazz Amerika Serikat yang kebetulan tengah berada di Jakarta tertarik untuk berkolaborasi dalam pertunjukan maupun rekaman. Hasil kerjasama Indonesian All Stars dan Tony Scott terekam dalam album berjudul Djanger Bali. Album tersebut direkam di MPS Studio Villingen-Schwenningen, Black Forest Jerman selama dua hari berturut-turut, 27-28 Oktober 1967.
Album tersebut terdiri dari empat tembang tradisional Indonesia yaitu, Ilir Ilir, Burung Kakatua, Gambang Suling, dan Djanger Bali. Selebihnya adalah Mahlke karya gitaris Attila Zoller dan Summertime karya George dan Ira Gershwin dari Porgy & Bess. Kesuksesan album ini juga berkat dukungan penuh dari perusahaan penerbangan Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), yang memungkinkan Jack dan kawan-kawan melanglang buana.
Masih di era tahun 60-an, Jack Lemmers mengubah nama belakangnya menjadi Jack Lesmana. Perubahan nama itu sesuai dengan anjuran Presiden RI saat itu, Soekarno, tentang Indonesianisasi nama. Tak hanya itu, hubungan antara Bung Karno dan Jack bahkan cukup dekat. Apalagi pada saat itu, Sang Proklamator itu tengah gencar-gencarnya mengganyang musik-musik Barat. Gerakan budaya yang digencarkan Bung Karno adalah menggiatkan musik yang dianggap mewakili budaya Timur yaitu irama lenso.
Karier Jack di Jakarta semakin bersinar seiring dengan ramainya musik jazz yang memeriahkan tempat-tempat hiburan seperti kafe atau bar. Pergaulannya dengan kalangan pecinta jazz pun semakin luas. Nama-nama besar di dunia jazz yang menjadi sahabat Jack antara lain Mus Mualim dan dedengkot The Jazz Rider, Bill Saragih.
Untuk menafsirkan dan memainkan irama lenso itu, Jack membentuk kelompok musik bernama Orkes Irama. Kelompok yang juga didukung bos PH Irama, Mas Yos ini, lalu merilis album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso untuk mengimbangi derasnya budaya Barat yang diwakili musik rock and roll itu. Di album itu, Orkes Irama mengiringi banyak penyanyi top saat itu, seperti Bing Slamet, Titiek Puspa, Lilis Suryani, serta Nien Lesmana, adik kandung Mas Yos yang juga istri Jack Lesmana.
Karier Jack di Jakarta semakin bersinar seiring dengan ramainya musik jazz yang memeriahkan tempat-tempat hiburan seperti kafe atau bar. Pergaulannya dengan kalangan pecinta jazz pun semakin luas. Nama-nama besar di dunia jazz yang menjadi sahabat Jack antara lain Mus Mualim dan dedengkot The Jazz Rider, Bill Saragih.
Selain terampil bermain jazz, Jack Lesmana juga bisa memainkan banyak jenis musik termasuk musik pop. Dalam album yang dirilis Irama Record, ia memamerkan kebolehannya memainkan berbagai instrumen mulai dari gitar, bass, piano, hingga trombone. Saat itu ia tampil sebagai band pengiring pertunjukkan sederet penyanyi pop mulai dari Oslan Husein, Nien Lesmana, Ivo Nilakrishna, dan Bing Slamet.
Bersama Orkes Gita Karana, Jack juga pernah mengiringi penyanyi kanak-kanak seperti Endi dan Adi. Bersama Orkes Gema Irama, Jack bahkan tampil memainkan musik berirama Latin. Jack juga mengiringi lagu-lagu bernuansa Sunda bersama Orkes Nada Kencana.
Pengalamannya yang luas di dunia musik membuka kesempatan bagi Jack untuk berkarya di jalur lain. Sejak awal tahun 1960-an, ia mulai membuat music score untuk sejumlah judul film yakni Menantang Maut, Anak Perawan di Sarang Penjamun, Hadiah 2 Juta, Seribu Langkah, Djantung Hati, dan Malam tak Berembun.
Setelah puas menjelajahi berbagai aliran musik, di dekade 70-an Jack Lesmana kembali ke jalur jazz. Jack terus berupaya memasyarakatkan musik jazz agar diterima di Tanah Air. Ia menghimpun pemusik-pemusik jazz dalam sebuah komunitas yang dibentuknya. Jack juga menggagas pertunjukan jazz di lahan seni budaya prestisius yaitu Taman Ismail Marzuki. Secara bersamaan dalam kurun waktu tahun 1969 hingga 1979, Jack mengelola acara jazz bulanan di TVRI bertajuk Nada dan Improvisasi. Acara tersebut menampilkan banyak musisi jazz baik dari kalangan yang sudah profesional maupun yang masih amatir.
Jack bahkan menyulap kediamannya di kawasan Tebet, Jakarta Timur, menjadi semacam padepokan untuk mengasah para pemusik jazz. Di tempat itu, mereka tak hanya memainkan irama-irama jazz tapi juga kerap berdiskusi, beberapa diantaranya adalah Benny Likumahuwa, Oele Pattiselanno, Perry Pattiselanno, Abadi Soesman, Candra Darusman, Jeffrey Tahalele dan masih banyak lagi.
Kemauan belajar yang tinggi juga membuatnya tidak segan mengundang musisi jazz dari luar negeri untuk singgah di rumahnya berdiskusi tentang jazz. Ia tidak komersial dan menjadi “ayah” semua orang yang pernah belajar padanya. Ia juga dikenal sebagai guru yang punya prinsip dalam bermusik, keras mendidik murid-muridnya, dan menjunjung tinggi disiplin. Di mata para sahabat terutama juniornya, Jack dikenal sebagai sosok guru yang gigih. Karena pengabdiannya pada awal 1970-an, Jack pernah diangkat menjadi Direktur Pendidikan pada Yasmi Music School.
Pada tahun 1978, bersama putranya, Indra Lesmana, Jack pergi ke Australia untuk tampil dalam pekan budaya ASEAN Trade Fair. Ketika tampil di Australia itulah, Indra mencoba untuk mengikuti ujian masuk di New South Wales Conservatory School of Music di Sydney dan akhirnya diterima. Indra, anak keduanya itu sejak kecil memang sudah terlihat mewarisi darah seni Jack.
Atas bantuan pihak Kedutaan Australia, Indra mendapatkan beasiswa penuh untuk sekolah di konservatorium tersebut. Tak hanya itu, Kementerian Luar Negeri Australia juga memberikan izin menetap bagi Jack, Indra dan keluarganya. Pada tahun 1979, Jack bersama keluarganya pindah dan bermukim di Australia selama lima tahun. Selama tinggal di Negeri Kangguru itu, Jack mengajar di konservatorium, sementara Indra menimba ilmu pada Don Burrows, Roger Frampton dan Paul Mc Namara di sekolah tersebut.
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1984, Jack Lesmana sempat mendirikan sekolah musik bernama Forum Musik Indra & Jack Lesmana. Beberapa pemusik sempat mengajar di sekolah tersebut, antara lain Benny Likumahuwa, Fariz RM, Gilang Ramadhan, Tito Sumarsono, Donny Suhendra, Pra Budi Dharma, Riza Arshad dan lain-lain. Jack juga sempat menulis buku yang isinya seputar teori musik yang berjudul Impro 1 dan Impro 2.
Setelah bekerja keras lebih dari setengah abad, Jack Lesmana dipanggil Sang Pencipta pada 17 Juli 1988 di rumah sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Jack wafat di usia 57 tahun setelah menderita penyakit Cryoglobulinemia, semacam penyakit yang menyerang peredaran darah manusia. Selain itu, Jack sudah lama divonis menderita penyakit diabetes. Ia meninggalkan seorang istri, Nien Lesmana, dan empat orang anak, di antaranya adalah Indra Lesmana, yang melanjutkan karier ayahnya sebagai pemusik jazz dan Mira Lesmana yang menjadi produser film Indonesia. eti | muli, red