Tito, Jejak Cemerlang

Tito Karnavian
 
0
1569
Tito Karnavian
Tito Karnavian

Jenderal Tito Karnavian memiliki jejak rekam cemerlang sejak belia sampai selama meniti karier dan mengabdi di Korps Bhayangkara. Tito adalah bahagian dari prestasi Polri. Selama kariernya, sebelum menjabat Kapolri (2016), Tito Karnavian telah menangani sejumlah kasus yang menonjol dan mengukir banyak prestasi, terutama dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Sejumlah penghargaan pun dianugerahkan kepadanya, di antaranya, lima kali mendapat kenaikan pangkat luar biasa.

Setelah Tito menyelesaikan pendidikan di Akpol tahun 1987 dan meraih penghargaan Adhi Makayasa, dia mengawali karier sebagai Pamapta di Polres Metro Jakarta Pusat, Polda Metro Jaya (1987). Kemudian, Tito menjabat Kanit Jatanras Reserse Polres Metro Jakarta Pusat (1987–1991).

Dipromosi menjabat Wakapolsek Metro Senen Polres Metro Jakarta Pusat (1991–1992); dan Wakapolsek Metro Sawah Besar Polres Metro Jakarta Pusat (1992-1996). Lalu bertugas sebagai Sespri Kapolda Metro Jaya (1996).
Kemudian menjabat Kapolsek Metro Cempaka Putih Polres Metro Jakarta Pusat (1996–1997). Lalu, dipercaya menjadi Sespri Kapolri (1997–1999). Setelah itu, menjabat Kasat Serse Ekonomi Reserse Polda Metro Jaya (1999–2000), saat itu Tito menangani Bulog Gate (Korupsi 1999).

Tangani Kasus Teror Bom
Lalu, Tito menjabat Kasat Serse Umum Reserse Polda Metro Jaya (2000–2002). Saat itu, Tito memimpin tim beranggota empat orang untuk memburu buron kasus Badan Urusan Logistik (Bulog), Soewondo. Pada Oktober 2000 tim kecil itu berhasil menciduk Soewondo yang sebelumnya telah menjadi buron selama 5 bulan.

Tito juga menangani beberapa kasus menonjol lainnya, di antaranya Bom Kedubes Filipina, Jakarta (2000); Bom Bursa Efek Jakarta (2001); Bom Malam Natal Jakarta (2001); dan Bom Plaza Atrium Senen, Jakarta (2001). Tito yang saat itu berpangkat Komisaris memimpin Tim Cobra (beranggota 23 orang dibentuk Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb) pada November 2001 berhasil menangkap Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra Presiden Kedua Soeharto dalam kasus pembunuhan hakim agung Syafiudin (26 Juli 2001). Berkat keberhasilannya menangkap Tommy tersebut, Tito mendapat kenaikan pangkat luar biasa dari Komisaris menjadi Ajun Komisaris Besar (2001).

Kemudian, dia diangkat menjabat Kasat Serse Tipiter Reserse Polda Sulsel (2002).Kasus yang menonjol ditanganinya adalah Bom Makassar, Sulawesi Selatan (2002). Tak berapa lama, Tito dipercaya menjabat Koorsespri Kapolda Metro Jaya (2002 – 2003). Lalu menjabat Kasat Serse Keamanan Negara Reserse Polda Metro Jaya (2003 – 2005). Dia menangani kasus Bom Gedung MPR/DPR, Jakarta (2003); Bom Bandara Internasional Sukarno Hatta Jakarta (2003); dan Bom JW Mariott, Jakarta (2003); Pembunuhan Direktur PT. ASABA oleh kelompok Gunawan Santosa (2004); Bom Cimanggis, Depok (2004); dan Bom Kedubes Australia, Jakarta (2004).

Densus 88 Antiteror
Pada tahun 2004, Polda Metro Jaya (Kapolda Irjen Pol Firman Gani) membentuk Densus 88 Anti Teror untuk ambil bagian membongkar jaringan terorisme di Indonesia. Ajun Komisaris Besar (AKBP) Tito Karnavian dipercaya menjabat Kaden 88 Anti Teror Polda Metro Jaya tersebut (2004 – 2005). Dia memimpin tim yang terdiri dari 75 personel.

Tim Densus 88 Antiteror Polda Metro Jaya yang dipimpinnya berhasil melumpuhkan teroris yang berperan dalam peledakan Bom Bali II, Azahari Husin dan kelompoknya di Batu, Malang, Jawa Timur, 9 November 2005. Tito pun turut mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa dari Ajun Komisaris Besar menjadi Komisaris Besar (Kombes). Tito juga ikut menangani kasus Bom Bali II (2005).

Kemudian, Kombes Tito menjabat Kapolres Serang Polda Banten (2005). Saat itu, November 2005, Tito dihubungi oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara agar bersiap-siap ke Poso, Sulawesi Tengah, membantu pelacakan mutilasi tiga orang siswa di Poso. Pukul 02.30 dinihari, Tito langsung berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta.

Hanya beberapa bulan menjabat Kapolres Serang Polda Banten, Tito dipercaya menjabat Kasubden Bantuan Densus 88/AT Bareskrim Polri (2005); Kasubden Penindak Densus 88/AT Bareskrim Polri (2006); Kasubden Intelijen Densus 88/AT Bareskrim Polri (2006 – 2009). Pada periode ini, Tito menangani kasus menonjol di antaranya mutilasi tiga siswi di Poso, Sulawesi Tengah (2006); Bom Pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah (2005); dan Mutilasi Kepala Desa Pinedapa, Poso, Sulawesi Tengah (2006).

Advertisement

Pada 2 Januari 2007, saat Tito menjabat Kasubden Intelijen Densus 88/AT Bareskrim Polri tersebut, Densus 88 Antiteror juga sukses membongkar konflik Poso dan meringkus puluhan orang yang terlibat di balik konflik tersebut (tersangka yang masuk dalam DPO) di Kecamatan Poso Kota. Tahun 2009, Tim Densus 88 Antiteror juga berhasil melumpuhkan teroris Noordin Mohammad Top. Tito termasuk perwira yang bergabung dalam tim penumpasan jaringan terorisme pimpinan Noordin Mohammad Top tersebut.

Atas prestasinya itu, Kombes Tito pun mendapat penghargaan kenaikan pangkat luar biasa dari Komisaris Besar menjadi Brigadir Jenderal (2009). Brigjen Pol. Tito pun dipercaya menjabat Kadensus 88/AT Bareskrim Polri (2009-2010). Tito menangani kasus Bom Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott, Jakarta (2009). Juga memimpin Operasi pengungkapan latihan paramiliter teroris di Aceh (2010) dan Operasi pengungkapan perampokan bersenjata Bank CIMB, Medan (2010).

Kemudian, Tito menjabat Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (2011-21 Sept 2012). Brigjen Tito mendapat kenaikan pangkat luar biasa (Penyesuaian kepangkatan BNPT) dari Brigadir Jenderal (bintang satu) menjadi Inspektur Jenderal (bintang dua, 2011). Kasus menonjol yang ditanganinya antara lain operasi pengungkapan Bom Bunuh Diri di Polres Cirebon Kota (2011); Operasi Pengungkapan Bom Buku dan Parsel di Jakarta (2011); dan Operasi Pengungkapan Terorisme Penembakan dan Bom di Aceh (2012).

Kapolda Papua dan Asrena Polri
Lalu melalui surat telegram Kapolri Jenderal Pol. Timur Pradopo, Inspektur Jenderal Tito diangkat menjadi Kepala Polda Papua pada 3 September 2012 menggantikan pejabat lama, Irjen Pol Bigman Lumban Tobing. Namun, secara resmi baru aktif pada 21 September 2012 sampai 16 Juli 2014. Saat itu, Irjen Pol. Tito Karnavian baru berusia 47 tahun.

Penugasannya sebagai Kapolda Papua, dengan wilayah yang begitu luas dan medan yang amat berat, menunjukkan kepercayaan, harapan dan tanggung jawab besar dari Kapolri Jenderal Pol. Timur Pradopo kepadanya. Saat itu Polda Papua mencakup dua provinsi di Papua yakni Provinsi Papua dan Papua Barat. Selain wilayahnya yang amat luas dan medan yang sedemikian berat, saat itu sejumlah penembakan misterius masih terus terjadi. Kontak senjata antara pasukan keamanan dan kelompok separatis juga sering terjadi.

Irjen Tito Karnavian berhasil memperkecil jumlah penembakan misterius dan kontak senjata tersebut. Tito terbilang berhasil memimpin Polda Papua, meskipun tidak semua permasalahan bisa diselesaikan akibat begitu rumit dan banyaknya permasalahan di wilayah tersebut.

Juli 2014, dilakukan rotasi pejabat tinggi setingkat Kapolda dalam tubuh Polri. Kapolda Papua Irjen Pol Tito Karnavian salah satu yang dirotasi. Tito menempati jabatan baru sebagai Asrena (Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Anggaran) menggantikan Irjen Pol Sulistyo Ishak, yang memasuki purna tugas. Sementara, penggantinya menjabat Kapolda Papua adalah Brigjen Pol Drs Yotje Mende, yang sebelumnya menjabat Kasespimti Lemdiklat Polri.

Irjen Pol Tito Karnavian dilantik menjabat Asrena Polri pada tanggal 16 Juli 2014 di Rupatama Polri. Dia menjabat Asrena Polri (16 Juli 2014-12 Juni 2015). Tito dinilai mumpuni menjabat Asrena Polri karena memiliki kualitas IQ tinggi dalam perencanaan program efisiensi anggaran. Jabatan ini merupakan salah satu pos bergengsi di Mabes Polri. Maka kendati Kapolda Papua dan Asrena sama-sama jabatan untuk bintang dua tetapi level Asrena Polri dianggap lebih senior dari posisi Kapolda Papua karena eselon 1A setara Komjen (Perkap 21 Tahun 2010).

Kapolda Metro Jaya
Kemudian Irjen Pol Tito Karnavian menjabat Kapolda Metro Jaya (12 Juni 2015-16 Maret 2016). Tito menggantikan Irjen Pol Unggung Cahyono yang dimutasi menjabat  Asisten Operasi Kapolri. Rotasi ini berdasarkan Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1242/VI/2015 yang dipublikasikan Jumat (5/6/2015).

Saat menjabat Kapolda Metro Jaya, Tito Karnavian melakukan beberapa gebrakan. Di antaranya, menginstruksikan jajarannya lebih baik blusukan mengurai kemacetan setiap Senin pagi daripada melakukan Apel Pagi. Juga mendukung penuh Pemprov DKI Jakarta melakukan penertiban dan relokasi pemukiman liar dan kumuh di beberapa tempat.

Kasus menonjol yang berhasil ditanganinya antaralain kasus ledakan bom di Mall Alam Sutera, Rabu 28 Oktober 2015, sekitar pukul 12.35 WIB. Tim Polda Metro Jaya dan Densus 88 dengan berhasil mengungkap kasus ini. Sore pada hari yang sama, polisi telah menangkap tersangka Leopard Wisnu Kumala (29). Pelaku juga mengakui terlibat kasus sebelumnya yakni pada 6 Juli 2015 bom tidak meledak, dan 9 Juli 2015 bom meledak di toilet.

Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian menilai ada beberapa keunikan kasus ini. Di antaranya, pelaku tunggal dan tidak terkait jaringan teror yang sudah dipetakan polisi selama ini. Motif bukan dalam rangka ideologi tapi lebih banyak soal ekonomi untuk mendapatkan uang. Meski bukan jaringan teroris, polisi tetap menjerat Leopard dengan Undang-Undang tentang teroris, kerena perbuatannya meresahkan masyarakat.

Pelaku, Leopard dikategorikan sebagai teroris Lone Wolf. Sebab, ia bekerja sendiri, mulai dari merakit bom, mencari target hingga menaruh bom. Tito Karnavian, menjelaskan Kamis (29/10/2015), ada jaringan teror yang dikenal atas nama kelompok dan ada jihad tanpa pemimpin, yaitu orang yang melakukan perbuatan teror, inovasi sendiri, dan melakukan perbuatan sendiri. Itu disebut leaderless jihad atau lone wolf. Sementara kasus ini, pelaku (Leopard) juga sendiri tapi bukan untuk jihad, motifnya ekonomi. Di dunia barat ini jadi fenomena penting.

Pada awal Januari 2016, Tito juga menangani kasus teror bom dan penembakan di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016) siang. Sebagai perwira tinggi Polri yang memiliki kemampuan mumpuni dan pengalaman menangani kasus terorisme, Tito berhasil mengembalikan suasana aman dan kondusif Ibukota dalam waktu singkat, tak kurang dari lima jam. Selain berhasil memulihkan suasana kondusif, juga telah berhasil menangkap 7 tersangka.

Saat itu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian mengatakan bahwa pelaku peledakan bom di kawasan Sarinah, Jl Thamrin, terkait dengan jaringan ISIS di bawah kepemimpinan Bahrun Naim. Anggota ISIS jaringan Bahrun Naim melakukan aksi teror tersebut karena berupaya untuk meraih posisi pimpinan ISIS se-Asia Tenggara. Bahrun Naim ingin mendirikan Khatibah Nusantara di Asia Tenggara. Bahkan Bahrun Naim juga ingin menjadi leader untuk kelompok ISIS di Asia Tengah.

Polisi menemukan 6 bom di lokasi kejadian, terdiri dari 5 granat tangan, dan satu bom besar. Korban dalam peledakan bom ini berjumlah 7 orang tewas dan 24 lainnya terluka. Lima orang korban tewas adalah pelaku teror, 3 bom bunuh diri, 2 tewas dalam baku tembak dengan aparat polisi. Sedangkan dua lainnya adalah polisi dan warga sipil.

Hal menarik perhatian, tatkala Kapolda Metro Jaya Tito Karnavian menetapkan status keamanan Jakarta menjadi Siaga Satu saat penyelenggaraan Final Piala Presiden 2015 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (18/10/2015). “Jakarta hari minggu siaga satu,” ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian di Century Park Hotel, Senayan, Jakarta, Rabu (14/10/2015).

Tito menjelaskan alasan dari penetapan status siaga satu ini, karena hubungan yang tidak harmonis antara suporter Persib, Bobotoh, dan suporter Persija Jakarta, The Jak Mania.

“Kami melihat ada potensi kerawanan yang melibatkan massa besar, otomatis aparat keamaban tidak boleh underestimate,” kata Tito.

Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian juga berperan aktif dalam penertiban lokasi prostitusi Kalijodo, Jakarta Utara, Senin 29 Februari 2016. Bahkan penertiban itu berawal dari ide Tito yang disambut Guberbur DKI Basuki Tjahaja Purnama.[1]

Hal ini diungkapkan Tito sendiri dalam sebuah acara dialog antar umat beragama di Kantor Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016). “Penggusuran Kalijodo itu kepentingan saya. Ada korban ketabrak oleh mobil yang pulang minum-minum dari Kalijodo. Dari sana awalnya,” ungkap Tito menjawab pernyataan Lius Sungkharisma dari Koordinator Komunitas Tionghoa Anti-Korupsi yang ’menasihati’ Tito agar tak tunduk pada Ahok. Lius menyinggung jika penggusuran di Kalijodo beberapa waktu lalu, Tito dijadikan sebagai alat oleh Ahok untuk kepentingannya sebagai gubernur.

Tito mengungkapkan, niatnya menggusur Kalijodo langsung disambut Ahok. Namun, Ahok sempat ragu melakukan penggusuran. Ahok takut akan banyak perlawanan, apalagi daerah itu jadi sarang para preman. “Saya bilang ke Pak Ahok, enggak usah masuk. Biar kami yang main, kami perkirakan ada ratusan preman di sana, ya sudah kami turunkan 4.000 orang,” jelas Tito.

Tito Karnavian menyatakan ada dua permasalahan penting yang menjadi dasar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kepolisian dalam menertibkan kawasan lokalisasi hiburan malam Kalijodo, Jakarta Utara. Satu adalah problema pemukiman, liar karena berada di atas tanah negara. Itu jadi domain Pemprov DKI untuk menertibkan. Kepolisian hanya membantu.

Permasalah kedua yang terdapat di Kalijodo adalah banyaknya tindak pidana yang terdapat di kawasan tersebut. Jika di suatu kawasan terdapat tindak pidana, sudah merupakan kewajiban Kepolisian melakukan penegakan hukum di tempat tersebut. “Ada problem di situ kegiatan-kegiatan ilegal. Mulai adanya premanisme, kemudian ada minuman keras yang diduga ilegal, tempat kumpulnya pelaku kejahatan di situ, kemudian prostitusi. Ini menjadi domain pekerjaan polisi,” jelas Tito.

Selain didukung penuh Polri, pihak TNI pun ikut mengamankan penertiban Kalijodo. Karena di lokasi itu selain ada preman dan prostitusi, juga ada oknum-oknum polisi maupun TNI. “Makanya penertiban ini melibatkan unsur polisi dan TNI,” kata Tito di Kalijodo Jakarta Utara, Senin 29 Februari 2016.

Lokalisasi Kalijodo tersebut kemudian diubah menjadi ruang terbuka hijau di wilayah Jakarta Barat dan RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) di wilayah Jakarta Utara. Diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Thajaja Purnama, 22 Februari 2017.

Arsitek Kalijodo, Yori Anta menyebut fasilitas yang ada di RTH Kalijodo antara lain  lintasan jogging, lintasan sepeda, skate park, amphitheater, musala, toilet, outdoor fitness, dan ruang hijau. Sedangkan untuk RPTRA Kalijodo disediakan ruang laktasi, perpustakaan, toilet, arena bermain anak. Terlebih, fasilitas itu juga diperuntukkan bagi disabilitas. Fasilitas itu dibangun dengan dana CSR Sinar Mas sebesar Rp 25 miliar.

Kapolda Metro Jaya Tito Karnavian juga berperan signifikan dalam membantu Pemprov DKI menertibkan pemukiman  kumuh di bantaran sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Jakarta Timur (Agustus 2015). Bahkan Tito turun langsung melakukan pendekatan (dari hati ke hati) dengan masyarakat. Tito mendukung penuh program Ahok yang merelokasi warga Kampung Pulo untuk pembangunan inlet sodetan Ciliwung guna mencegah banjir. Tito melakukan pendekatan kepada warga untuk meredam amarah warga Kampung Pulo dengan mengajak mereka berdiskusi.[2]

Kepala BNPT Jadi Kapolri

Kiprah Tito Karnavian sebagai Kapolda Metro Jaya, rupanya amat berkesan bagi Presiden Jokowi. Presiden memilihnya menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tito dilantik Presiden menjabat Kepala BNPT di di Istana Negara, Rabu, 16 Maret 2016.

Proses pengangkatannya menjadi Kepala BNPT diawali surat telegram Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dengan nomor ST/604/III/2016 per tanggal (14/3/2016), yang mempromosikan Tito Karnavian menjadi Kepala BNPT, menggantikan Komjen (Pol) Usman Saud Nasution yang memasuki masa pensiun. Dengan memangku jabatan itu, pangkatnya pun dinaikan menjadi bintang tiga atau Komisaris Jenderal Polisi.

Saat itu, Tito memusatkan perhatian ke Poso, Sulawesi Tengah yang merupakan tempat persembunyian teroris Santoso, pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur. “Fokus kami (BNPT) melakukan pertajaman, di mana posisi mereka dan putus pasokan logistik serta agar mereka tidak sampai dapat informasi dari wilayah perkotaan,” kata Tito seusai dilantik jadi Kepala BNPT.

Tito sendiri terjun langsung memantau pemburuan teroris Santoso cs. Pada Senin (4/4/2016) kepada pers dia mengungkapkan perkembangan terakhir kelompok Santoso yang sudah melemah. Dalam waktu dua bulan ini lebih dari 10 orang sudah tertangkap baik yang hidup maupun yang meninggal dalam kontak tembak. Menurut Tito, kelompok Santoso terpecah menjadi dua kelompok. Kekuatannya tinggal 29 orang, dari semula 41 orang. Tito yakin akan segera dapat melumpuhkan Santoso dan kelompoknya.

Tapi Tito tidak lama menjabat Kepala BNPT, hanya hampir empat bulan dari tanggal 16 Maret 2016 sampai 13 Juli 2016. Kariernya di Korps Bhayangkara meroket mencapai puncak, ketika Presiden Jokowi melantiknya menjadi Kapolri, 13 Juli 2016. Tito meloncati lima angkatan Akademi Kepolisian (Akpol) yang merupakan seniornya, yakni Akpol Angkatan 1982, 1983, 1984, 1985 hingga Angkatan 1986. Para seniornya, antara lain Irwasum Komjen Dwi Prayitno (Angkatan 1982), Wakapolri Komjen Budi Gunawan (Angkatan 1983), Kepala BNN Komjen Budi Waseso (Angkatan 1984), Kabaharkam Komjen Putu Eko Bayuseno (Angkatan 1984), Kapusdiklat Polri Komjen Syarifuddin (Angkatan 1985), Sekretaris Utama Lemhannas Komjen Suhardi Alius (Angkatan 1985).

Pangkatnya pun dinaikkan (penyesuaian jabatan) menjadi Jenderal Polisi (bintang empat).
Hanya berselang empat hari setelah menjabat Kapolri, Jenderal Tito Karnavian pun menorehkan prestasi dengan keberhasilan pasukan Satgas Tinombala yang merupakan gabungan personil TNI-Polri menembak tewas buron teroris Santoso, Selasa (19/7/2016).

Di tengah keberhasilan menewaskan pentolan teroris itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengingatkan tewasnya Santoso bukan berarti jaringan terorisme berakhir, masih ada jaringan di daerah lain. Tito pun meminta para pengikut Santoso yang masih berada di persembunyian di pegunungan untuk turun gunung dan menghadapi proses hukum.

Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini