
[DIREKTORI] Sepintas melihat sosok Dr. Ir. Muhammad Asrurifak, MT, apalagi jika melihatnya sedang beraktivitas di lingkungan pondok pesantren Al-Zaytun, mungkin tidak akan banyak yang menyangka bahwa pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 19 April 1965, ini adalah seorang dari sedikit pakar kegempaan (geoteknik-gempa) di Indonesia. Ia cerdas dan bersahaja.
Dia satu-satunya utusan pondok pesantren yang masuk tim nasional pembuat peta kegempaan Indonesia. Asrurifak yang akrab dipanggil Rifak, peraih gelar master bidang geoteknik dari ITB (2004) dan gelar doktor bidang kegempaan dengan lulusan cum laude dari ITB (2010), ini salah satu dari segelintir ahli peta kegempaan di Tanah Air. Anggota Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB) ITB ini merupakan satu dari sebelas orang anggota Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010 di Kementerian Pekerjaan Umum.
Yang lebih istimewa lagi, ketika baru masuk tim yang lebih dikenal dengan Tim 9 itu, ia masih berstatus mahasiswa program doktoral di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia satu-satunya anggota tim yang masih berstatus mahasiswa kala itu. Selain itu, ia juga merupakan satu-satunya anggota tim yang berasal dari pondok pesantren.
Menjadi ahli peta gempa, perjalanan karir Rifak sedikit banyak ikut dipengaruhi Yayasan Pesantren Indonesia yang menaungi lembaga pendidikan Al-Zaytun di Indramayu, serta Prof. Mashur Irsham. Kisahnya, selepas menamatkan kuliah dari ITS Surabaya, Rifak bekerja di bidang kontraktor. Dalam rangka pekerjaan ini, Rifak bahkan sempat sampai ke Kalimantan. Di Jakarta, ia terlibat dalam pendirian beberapa gedung ternama, antara lain Gedung BRI2. Di bidang ini, ia terakhir menjabat sebagai kepala proyek.Walaupun masih berstatus mahasiswa dan berasal dari pondok pesantren, tapi karya yang dihasilkan tim yang bertugas merevisi peta gempa tahun 2002, itu sebenarnya justru sebagian besar merupakan hasil karya Rifak yang disediakan untuk disertasinya. Hal itu tentu merupakan suatu kebanggaan tersendiri, apalagi setelah disetujui Menteri PU, karya itu diumumkan pula di Bina Graha. Dan karena dianggap berkontribusi besar pada negara, disertasi Rifak pun kemudian mendapat apresiasi tinggi dari penguji.
Setelah menyelesaikan tugas di Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010, dan berhasil meraih gelar doktor dengan lulusan cum laude dari ITB, dia kemudian terpilih menjadi anggota tenaga ahli Tim Mikrozonasi Jakarta, yaitu sebuah tim yang bertugas untuk menyelidiki karakteristik tanah di seluruh Ibukota Jakarta. Peta hasil penelitian mereka yang diharapkan selesai tahun 2014 itu dimaksudkan kelak berguna sebagai panduan untuk mendirikan bangunan, dimana akan diketahui dengan konstruksi bagaimana bangunan itu akan didirikan sesuai dengan karakteristik permukaan tanah. Sebab seperti diketahui, dampak gempa banyak tergantung dari lapisan tanahnya. Jika lapisan tanahnya makin lunak, biasanya amplifikasi tanahnya makin besar.
Menjadi ahli peta gempa, perjalanan karir Rifak sedikit banyak ikut dipengaruhi Yayasan Pesantren Indonesia yang menaungi lembaga pendidikan Al-Zaytun di Indramayu, serta Prof. Mashur Irsham. Kisahnya, selepas menamatkan kuliah dari ITS Surabaya, Rifak bekerja di bidang kontraktor. Dalam rangka pekerjaan ini, Rifak bahkan sempat sampai ke Kalimantan. Di Jakarta, ia terlibat dalam pendirian beberapa gedung ternama, antara lain Gedung BRI2. Di bidang ini, ia terakhir menjabat sebagai kepala proyek.
Selama beraktivitas di bidang kontraktor tersebut, ia kemudian berkenalan dengan temannya sesama alumni ITB dan salah seorang pengurus Yayasan Pesantren Indonesia yang ketika itu sedang giat merancang pendirian kampus Al-Zaytun di Indramayu, sekaligus mengajaknya ikut serta. Tertarik dengan visi yang diusung Al-Zaytun, walaupun masih part time, tahun 1994, ia pun ikut mendesain awal pembangunan gedung-gedung di Al-Zaytun.
Kemudian dengan berpikir bahwa kalau bekerja di kontraktor tidak ada bekas. Maka didorong karena ingin membuat sesuatu yang bermakna, disokong lagi oleh dorongan dan kesempatan yang diberikan sahabat-sahabatnya di Al-Zaytun, apalagi pekerjaan sudah mulai butuh koordinasi dan pengawasan yang lebih ketat, kira-kira tahun 1997 Rifak akhirnya memutuskan full time di Al-Zaytun, sekaligus meninggalkan pekerjaan kontraktor.
Setelah enam tahun Al-Zaytun berdiri, lembaga pendidikan ini memutuskan untuk mendirikan universitas. Untuk itu, dibutuhkan pula tenaga dosen. Maka tahun 2002 Rifak pun kemudian diutus mengambil S2. Tahun 2004, gelar master bidang geoteknik pun berhasil diraihnya dari ITB. Kemudian karena gelar S2 dianggap tidak cukup untuk jadi dosen, maka Rifak kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang doktoral. Pada tahun 2005, ia pun mendaftarkan diri mengikuti program S3 bidang kegempaan ke ITB yang kemudian berhasil diselesaikannya tahun 2010.
Selama mengikuti program pascasarjana inilah suami dari Iin Indrawati ini berkenalan dengan Prof. Mashur Irsham yang kemudian banyak mengarahkannya untuk menekuni bidang kegempaan sekaligus yang membuatnya beberapa kali masuk tim kegempaan nasional.
Tentang kegempaan, karena kegempaan merupakan ilmu yang berkembang terus, sementara ilmu kegempaan masih belum tersebar di Indonesia, padahal Indonesia sendiri hidup di wilayah rawan gempa, Rifak mengharapkan Indonesia menyebarkan ilmu-ilmu kegempaan agar masyarakat memahami dan mempunyai kepekaan terutama soal mendirikan bangunan, guna mengurangi risiko. Karena menurut Rifak, kepada Wartawan TokohIndonesia.com Marjuka dan Hotsan (1/6/2011), gempa sesunguhnya tidak pernah membunuh orang. Tapi bangunan yang rubuh akibat gempalah yang sering membunuh orang. MS-SAN | Bio TokohIndonesia.com