Terlahir Sebagai Penulis

[ Fira Basuki ]
 
0
270
Fira Basuki
Fira Basuki | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Bagi dia, menulis adalah kebutuhan. Sama seperti makan, minum bahkan bernafas, jika tidak menulis, ia akan merasa blingsatan.

Sejak masih kanak-kanak, Fira Basuki sudah yakin kalau dirinya terlahir untuk menjadi penulis. Bakat menulisnya mulai terasah saat ia masih berseragam sekolah. Saat duduk di bangku SMU, Fira terbilang rajin mengikuti berbagai lomba menulis yang diselenggarakan oleh majalah-majalah seperti Tempo dan Gadis. Beberapa lomba yang diikuti berhasil dijuarainya. Ketika keinginannya untuk menjadi seorang penulis mendapat dukungan dari kedua orangtuanya, Fira pun semakin memantapkan pilihannya.

Untuk mengasah bakat yang dimiliki, maka setamat dari SMA, ia melanjutkan pendidikan ke jurusan jurnalistik di Pittsburgh State University, Amerika Serikat. Waktu itu Fira merupakan satu-satunya orang Indonesia yang mengambil kuliah jurnalistik di Negeri Paman Sam itu.

Menginjak usia 29 tahun, wanita yang pernah menetap di Amerika Serikat selama 6 tahun itu mulai aktif menulis novel. Jendela-jendela, merupakan judul novel pertamanya yang berkisah tentang kehidupan pasangan suami istri dengan segala problematika rumah tangga. Karya pertamanya itu disambut hangat para penikmat novel ketika itu.

Mendapat respon positif dari masyarakat, Fira kemudian menulis lanjutan kisah novel Jendela-Jendela. Sekuel novel itu kemudian diberi judul Pintu yang diterbitkan pada tahun 2002. Setahun kemudian, menyusul novel Atap yang juga masih merupakan lanjutan dari novel trilogi karya ibu satu anak itu. Koleksi karya sastra lulusan Wichita State University itu kian bertambah dengan diluncurkannya novel Biru dan Rojak.

Dari sekian banyak karyanya, hampir semua mengambil latar tempat di negara-negara dimana ia pernah menetap, seperti Amerika, Singapura, dan Indonesia. Alasannya sederhana saja, supaya ia dapat mendalami dan mendeskripsikan budaya setempat dengan begitu jelas.

Fira juga tak memungkiri novelnya sedikit terinspirasi dari kejadian yang pernah dialaminya, juga teman-temannya. Tapi, ada juga yang ia tangkap dari sekeliling, imajinasi, dan mimpi. Semua itu tercampur dalam proses kreatif. Tentunya hanya ia yang tahu mana pengalaman pribadinya dan temannya.

Tak jarang, wanita yang pernah menjadi presenter televisi di Amerika Serikat itu mendapatkan inspirasi dari hal-hal yang kecil yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Seperti novel Rojak yang terbit pada tahun 2004 yang bercerita tentang keragaman yang terdapat di Singapura. Mulai dari kehidupan rumah tangga pasangan suami istri yang berbeda budaya, kekerasan terhadap TKW asal Indonesia yang kerap menghiasi pemberitaan, media massa yang tak bisa netral, hingga keragaman etnis di Singapura.

Ketika menulis Rojak, Fira menempatkan dirinya sebagai penulis yang tidak memihak. Ia pun berusaha menampilkan Singapura yang netral. Uniknya, menurutnya, inspirasi menulis Rojak terbesit di benak Fira ketika ia tengah menyantap rojak (bahasa Indonesia: rujak) di Singapura. Melalui Rojak, Fira ingin memberikan informasi mengenai orang-orang peranakan di Singapura.

Dalam menulis, ia menunjukkan totalitasnya demi menghasilkan sebuah karya yang berkualitas. Dalam proses kreatif Rojak yang terbilang memakan waktu lama ini misalnya, tak tanggung-tanggung, demi melengkapi risetnya, Fira melakukan riset hingga menyambangi asosiasi peranakan di Singapura.

Dengan gaya penulisan yang khas dan penuh dengan pengandaian namun terkesan santai, Rojak pun hadir sebagai novel yang menarik untuk dibaca. Gaya penulisan seperti itulah yang menjadi ciri khas seorang Fira Basuki. Kenyataan ini muncul karena sejak kecil ia menyukai novel yang santai namun sarat akan makna serta pelajaran berharga.

Advertisement

Pemimpin Redaksi majalah Cosmopolitan ini tak ingin membuat novel yang sulit dicerna pembacanya atau harus sampai berulang kali membacanya karena sulit dimengerti, apalagi sampai membuat dahi orang berkerut, lalu pusing. Atau, bahkan malah stress ketika membacanya. Wanita yang sejak kecil menyukai pelajaran mengarang ini hanya ingin novelnya dibaca saja. Kalau tidak mendapatkan sesuatu, paling tidak bisa menghibur.

Seperti yang juga banyak dialami sejumlah penulis lain, karir Fira sebagai penulis tidak selalu berjalan mulus tanpa kendala. Ia beberapa kali pernah mengalami penolakan saat mengajukan tulisannya. Namun ia tetap gigih dengan terus mengasah kemampuannya. Dan yang terpenting baginya adalah menjadi seorang penulis berkarakter dengan tidak meniru gaya penulisan orang lain yang sudah ada. Tiap kali menulis ia juga tak pernah menargetkan hasil karyanya mendapat penghargaan.

Bagi Fira, semua profesi bila dijalankan dengan cinta dan kesungguhan pasti akan berbuah manis. Begitu pula dengan menjadi seorang penulis, menurutnya merupakan sebuah profesi yang cukup menjanjikan. Meskipun ia menilai penulis Indonesia belum mendapat apresiasi seperti di luar negeri. Ia juga sangat menyayangkan penerbit-penerbit Indonesia yang banyak menerjemahkan karya pengarang luar negeri termasuk dari Cina, Taiwan, Korea, dan negara-negara tetangga seperti Singapura.

Hal sebaliknya justru dialami penulis-penulis lokal, Fira beranggapan para penulis dalam negeri kurang mendapat kesempatan meskipun di negerinya sendiri. “Seperti saya sewaktu mau menerjemahkan “Jendela-Jendela” ke bahasa Inggris susah sekali untuk menerbitkannya, bahkan penerbit saya sendiri mengatakan tidak bisa dipasarkan,” kata Fira dengan nada kecewa.

Waktunya yang sebagian besar tersita di kantor tidak menghambat produktivitas Fira dalam menulis. Jika orang kebanyakan menghindari pekerjaan jika sedang stres, tidak demikian dengan perempuan kelahiran Surabaya 7 Juni 1972 ini. Setelah menghabiskan waktunya berjam-jam di kantor, namun sesampainya di rumah, ia masih kembali menulis. “Saya juga sedang mencoba memahami diri sendiri apakah saya memang kecanduan menulis seperti tuduhan banyak orang atau memang saya tidak bisa hidup tanpa menulis. Tapi saya dari kecil memang suka menulis sehingga hidup saya, waktu saya dalam hidup lebih banyak untuk menulis,” ujar Fira seperti ditulis di perspektifbaru.com.

Bagi ibu dari Syaza Calibria Galang ini, menulis bukan sekadar tanggung jawab profesi melainkan sebuah kebutuhan. Fira bahkan menempatkan menulis sederajat dengan kebutuhan biologis lain seperti makan, minum, bahkan bernapas. “Sehari saja nggak nulis aku bisa blingsatan,” kata mantan produser paruh waktu di Radio Singapore International itu.

Fira yang sejak kecil dididik dengan disiplin oleh kedua orangtuanya ini juga tidak menemui banyak hambatan saat harus menjalani profesi gandanya sebagai wartawan dan penulis. Sehingga tidak heran jika ia tak merasa kesulitan saat harus mengatur waktu di tengah jadwalnya yang padat. Ia juga tidak pernah bekerja berdasarkan mood melainkan didasari rasa tanggung jawab dan kecintaannya terhadap profesi.

Meskipun masih tergolong sebagai pendatang baru di dunia tulis menulis, Fira tak segan membagi ilmunya. Secara sukarela ia mendatangi sekolah mulai dari SMP, SMA, hingga Universitas untuk memberi semangat mereka menulis dan membaca. Menurut wanita yang menjalani pola hidup sehat dengan menjadi vegetarian ini, kebiasaan membaca dan menulis itu dapat membuat orang awet muda dan tidak mudah pikun. Fakta itu merupakan hasil penelitian di Amerika yang ia dapat ketika mengikuti seminar tingkat dunia di Singapura.

Ia juga tak merasa keberatan bila penulis saat ini dikategorikan sebagai selebritis, sehingga anak-anak tidak hanya mengidolakan penyanyi atau pemain film tetapi juga penulis. Justru bagi Fira, hal itu akan mendatangkan hal yang positif karena dengan begitu anak-anak akan terpacu untuk ikut berkarya.

Sebagai seorang penulis perempuan, Fira Basuki juga mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan kaum hawa. Dengan pengalaman dan sudut pandangnya, ia mampu merangkai kata-kata dalam memaparkan penderitaan serta ketidakadilan yang kerap kali harus diterima seorang perempuan.

Meskipun disibukkan dengan segudang kegiatan, Fira tidak melupakan kodratnya sebagai seorang ibu. Sebisa mungkin ia meluangkan waktunya bersama putri semata wayangnya, Syaza. “Jika waktu dia kecil kami senang berenang bersama, sekarang saya lebih suka fitness dan dia berenang,” tuturnya. Bakat menulis Fira rupanya juga menurun pada Syaza. Ibu dan anak ini menulis bersama berjudul Mandy and Mommy. Buku tersebut merupakan bentuk kepedulian Fira terhadap anak-anak penderita kanker. e-ti | muli

Data Singkat
Fira Basuki, Novelis, Pemred Majalah Cosmopolitan / Terlahir Sebagai Penulis | Direktori | Novelis, cerpen, penulis, sastra

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here