Antara Intelijen dan Perundang-undangan
Edwin Pamimpin Situmorang
[DIREKTORI] Selama 35 tahun mengabdi di Kejaksaan, Edwin Pamimpin Situmorang banyak berkiprah di dua bidang, intelijen dan perundang-undangan. Setelah mengemban belasan jabatan dan ditugaskan di berbagai daerah, karir Ketua Panitia Nasional Jubileum 150 tahun HKBP (2009-2011) ini memuncak sebagai Jaksa Agung Muda Intelijen (2010-2012).
Edwin Pamimpin Situmorang lahir di sebuah kota kecil bernama Laguboti, Toba Samosir pada 6 Oktober 1952. Ia anak kesembilan dari sepuluh bersaudara, ayahnya seorang pengusaha percetakan dan penerbit buku. Itulah sebabnya, Edwin sejak kecil sudah akrab dengan dunia buku. Edwin yang juga hobi bernyanyi ini bahkan sudah mahir membaca saat masuk ke bangku SD. “Orang masuk SD masih belajar huruf A, B, saya sudah bisa membaca,” cerita Edwin kepada tokohindonesia.com.
Ada kisah menarik mengenai nama Edwin yang kemudian menjadi nama panggilannya. Orang tuanya sebenarnya memberi ia nama, Pamimpin Perluhutan Situmorang. Sejak kecil ia sudah biasa dipanggil, Pimpin. Nama panggilannya kemudian berubah lagi menjadi Eppin.
Saat ia SMA di Bandung, Eppin kemudian digantinya menjadi Edfin agar kedengaran lebih keren. Pada saat mau ujian SMA, ia menuliskan nama Edfin Pamimpin. Namun saat menerima ijazah, huruf ‘f’ berubah menjadi ‘w’. Sejak saat itu, namanyapun berubah dan ia akrab dipanggil dengan nama, Edwin.
Bicara soal nama pemberian orang tuanya, Edwin mengaku sempat kesal. Namanya itu menjadi bahan ejekan oleh teman-temannya. “Pamimpin apa kau,” kata Edwin mengenang olokan teman-temannya itu. Namun belakangan, ia menyadari bahwa nama itu menjadi berkat dan patut ia syukuri. Dengan nama itu, ia mengaku menjadi mudah diingat dan dikenal di lingkungan kerja, baik saat bertugas ke daerah-daerah pelosok maupun saat tugas pendidikan. “Mana Pamimpin itu,” kira-kira begitu orang bila mencarinya.
Prinsip-prinsip hidup itulah yang mengawal perjalanan karirnya selama ini. Bahkan ia telah mengukir sejumlah prestasi yang membanggakan. Dalam usia yang masih muda, empat puluh tahun, ia sudah diangkat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) pertama di Makale, Tanah Toraja, Sulawesi Selatan tahun 1993.
Doa orang tuanya itu membuat Edwin semakin termotivasi untuk rajin belajar. Namun sayang, ayahanda tercinta meninggal saat Edwin masih duduk di bangku SMP. Kepergian ayahnya itu membuat Edwin kehilangan gairah belajar dan mulai terpengaruh pergaulan nakal teman-temannya. “Saya tidak bisa menerima. Saya mulai cenderung malas-malasan sekolah. Terus terpengaruh sama teman-teman lingkungan juga,” katanya.
Di balik nama pemberian sang ayah itu pula, ada titipan doa dan harapan. Orangtuanya berharap, Edwin kelak bisa menjadi pemimpin atau menjadi pejabat tinggi negara. “Saya sudah pedagang, saya pingin anak saya ini menjadi pejabat tinggi,” ujar Edwin menirukan perkataan ayahnya.
Melihat hal itu, sang ibu yang gigih membesarkan dia dan saudara-saudaranya sebagai single parent, tidak tinggal diam. Ibunya mengirim Edwin ke Bandung, Jawa Barat, untuk melanjutkan studi ke SMA. Di Kota Kembang ini, Edwin tumbuh dewasa dan mulai bangkit merajut masa depannya. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Padjajaran yang berhasil dirampungkannya pada tahun 1977.
Setelah mengantongi ijazah sarjana, ia langsung mengikuti tes masuk kejaksaan. Ia diterima dan dikukuhkan dengan SK pengangkatan tertanggal 1 Januari 1978. Sejak itulah, Edwin dengan setia meniti karirnya mulai dari bawah. Sepanjang karirnya, Edwin lebih banyak menghabiskan masa tugas di Indonesia bagian Timur.
Selama bekerja di Korps Adhyaksa, Edwin bekerja dengan sepenuh hati. Edwin menyadari bahwa semua yang telah diraihnya merupakan anugerah Tuhan. “Karena kasih Tuhanlah kita bisa mencapai apapun. Tanpa restu dari Tuhan, tidak ada itu semua,” kata Edwin yang menjadi jemaat HKBP Cinere Jakarta Selatan ini.
Edwin yang pernah menjabat sebagai Kajati Provinsi Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan ini selalu berusaha memegang teguh prinsip yaitu tidak diskriminatif, konsisten, tuntas, dan tegas. Ia meyakini dengan prinsip tersebut, hukum yang berkeadilan dapat dijalankan.
Edwin juga menekankan pentingnya integritas. Menurut Edwin, memelihara integritas tergantung pada sejauh mana seseorang membangun hubungan dengan Sang Pencipta. Tatkala seseorang jauh dari Tuhannya, integritas orang itu akan lemah. “Hanya dekat dengan Tuhan, kita bisa memiliki integritas. Kalau kita jauh dari Tuhan maka integritas bisa runtuh,” kata Edwin yang sudah menciptakan lagu berjudul Tombus Namangarantoi ini.
Menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan penting dilakukan agar bisa menolak godaan-godaan. “Ketika kita bekerja, ada godaan-godaan yang bisa menjerumuskan, bisa membuat kita melakukan hal-hal yang salah,” ujarnya. Dengan dekat pada Tuhan, seseorang bisa tahu ‘Suara Tuhan’. “Dialah yang menjaga integritas kita itu. Moral kita akan mampu membedakan mana yang jelek dan mana yang tidak,” kata pemilik ayat emas Yesaya 41:13 ini.
Prinsip-prinsip hidup itulah yang mengawal perjalanan karirnya selama ini. Bahkan ia telah mengukir sejumlah prestasi yang membanggakan. Dalam usia yang masih muda, empat puluh tahun, ia sudah diangkat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) pertama di Makale, Tanah Toraja, Sulawesi Selatan tahun 1993. Setelah itu menjadi Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Irian Jaya tahun 1995.
Ia kemudian dipromosikan menjadi Wakajati Sulawesi Utara tahun 1998 di era Jaksa Agung Andi Ghalib. Saat itu, Kejaksaan Agung memasang target dan memerintahkan seluruh Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri dan cabang kejaksaan negeri seluruh Indonesia menuntaskan penanganan kasus korupsi dengan pola 8-3-1. Dengan pola itu, dalam setahun, Kejati harus bisa mengungkap delapan kasus, Kejari tiga kasus, dan cabang kejaksaan negeri, satu kasus.
Edwin yang saat itu menjabat sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan pada tahun 1996 berhasil menyelesaikan target 100 persen di saat kejaksaan yang lainnya baru menyelesaikan target 30 persen. Edwin berhasil menyelesaikan kasus korupsi yang ditanganinya termasuk di jajaran Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri Sumatera Selatan. Padahal pada saat yang bersamaan, ia juga diberikan tugas mengawasi dan mengendalikan Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi untuk lebih giat menyelesaikan berbagai kasus.
Kemudian pada tahun 1999, ia kembali ke Jakarta mengikuti pendidikan di Lemhannas angkatan XXXII. Ia satu angkatan dengan Djoko Suyanto dan Jaksa Agung Basrief Arief (Jaksa Agung 2010-2014). Setelah menyelesaikan pendidikan di Lemhannas, ia diangkat menjadi Asisten Umum Jaksa Agung Marzuki Darusman pasa tahun 2000. Satu tahun kemudian, ia diangkat menjadi Kajati Kalimantan Barat dalam usia 48 tahun.
Setelah menjabat satu setengah tahun di Kalimantan Barat, ia ditugaskan ke Kejaksaan Agung sebagai Direktur Ekonomi dan Keuangan yang saat itu Jamintelnya dijabat Basrief Arief. Posisinya itu terbilang strategis karena merupakan salah satu pintu masuk informasi-informasi kasus korupsi. Di kursi ini, Edwin menjabat cukup lama, dua setengah tahun.
Kemudian dari tahun 2005-2007, Edwin dipercaya menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. Di bawah pimpinannya, Kejati Sumatera Selatan berhasil mengungkap 28 kasus korupsi yang menyeret orang pemerintah, swasta, dan badan usaha milik negara yang diproses sampai ke pengadilan. Kejati Sumatera Selatan juga sempat menangani dugaan korupsi DPRD Musi Banyuasin Rp 5,4 miliar periode 2002-2003, korupsi penjualan besi tua Pertamina Rp 1,36 miliar, korupsi program pelayanan angkutan domestik haji tahun 2003-2005 Kanwil Departemen Agama Sumatera Selatan Rp 1,06 miliar, dan dugaan korupsi Wali Kota Prabumulih Rachman Djalil untuk proyek pengadaan tanah Rp 3 miliar dan anggaran transportasi PON Rp 207,75 juta.
Dalam upaya memberantas korupsi, Edwin lebih mengedepankan aspek pencegahan. Ia lebih banyak melakukan pendekatan sosial kepada masyarakat. Diantaranya memprakarsai lahirnya organisasi Gerakan Moral Masyarakat Sumatera Selatan Anti Korupsi. Gerakan ini beranggotakan LSM, perguruan tinggi, lembaga bantuan hukum dan ia sendiri sebagai ketuanya. Ia membuat program pendidikan dan melakukan sosialisasi besar-besaran anti korupsi ke sekolah-sekolah, instansi pemerintah dan tempat publik.
Gerakan ini juga membuat slogan anti korupsi dan perlengkapan seragam dinas dengan pin anti korupsi. Upaya itu kemudian dilanjutkan dengan membangun komunikasi dengan tokoh lintas agama, masjid, gereja, dan vihara yang ada di Sumatera Selatan. Salah satu kerjasama yang dibentuk adalah menyerukan semua lembaga keagamaan agar dalam setiap ibadah bersama, dibawakan khotbah bertemakan anti korupsi.
Meski sosialisasi ini sempat diterima masyarakat Sumatera Selatan, namun program yang dicanangkan tidak bertahan lama. Sepeninggal Edwin, ketika ditarik ke Kejaksaan Agung menjadi Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, progam tersebut tidak lagi berlanjut. Padahal menurutnya, program ini sangat bagus untuk jangka panjang jika dilakukan secara kontinu dalam membendung meluasnya praktik korupsi.
Bagi Edwin, mencegah korupsi dengan pendekatan sosial sangatlah penting meski pada saat tertentu, tindakan represif juga diperlukan sebagai shock therapy. “Penegakan hukum represif tidak bisa memberantas kejahatan. Yang represif itu bisa (dijadikan) sekadar shock therapy, namun harus bersinergi dengan langkah-langkah preventif,” tegasnya. Ia mengatakan, korupsi tidak bisa dicegah secara instan. Pencegahan harus terus dilakukan kendati hasilnya tidak bisa dirasakan langsung secara nyata. Apalagi di tengah euforia reformasi, masyarakat sangat berharap agar masalah korupsi bisa segera diatasi.
Meski lebih mengedepankan tindakan preventif, Edwin tidak segan-segan bertindak tegas dan represif. Saat menjabat sebagai Kajati di Sumatera Selatan misalnya, Edwin mengambil kebijakan bahwa setiap tersangka harus langsung ditahan. Berbeda dengan saat ini, dimana seorang tersangka bisa bebas berkeliaran. “Dulu itu saya instruksikan kepada seluruh kejaksaan negeri. Kalau sudah dijadikan tersangka, harus ditahan. Itu semacam shock therapy. Biar orang mikir-mikir,” tandas Edwin. Dengan cara seperti itu, menurutnya, tim jaksa dapat bekerja lebih cepat menangani kasus agar tidak sempat berleha-leha (masuk angin).
Selain mencanangkan program untuk mengedukasi masyarakat Palembang dalam pencegahan korupsi, Edwin juga sangat menghargai kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Ketika bertugas di Bumi Laskar Wang Kito, ia membidani lahirnya paguyuban organisasi kemasyarakatan dari berbagai etnis yang ada di Sumatera Selatan. Seperti perkumpulan Tionghoa, KSS Sulawesi Selatan, Masyarakat Batak, Ikatan Jawa dan yang lainnya. Paguyuban ini menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahim antar suku sehingga bila ada benturan-benturan atau konflik antar etnis, masalah bisa diselesaikan bersama secara kekeluargaan.
Untuk mempererat kebersamaan lintas etnis ini, Edwin mengadakan lomba menyanyi antar paguyuban. Peserta wajib menyanyikan lagu berjudul “Bang Toyib” dengan bahasa daerah masing-masing. “Bayangkan saja, satu lagu dinyanyikan dengan 50 bahasa, waktu itu berlangsung dalam dua malam. Ada bahasa Batak, China, Papua, Ambon, Jawa, Makassar dan segala macam. Itu jadi rame,” ujar Edwin tersenyum. Belakangan, ia menyayangkan tidak mengundang pihak MURI untuk mencatatkan rekor tersebut.
Setelah menunaikan tugas di Kejati Sumatera Selatan, Edwin dipercaya menjabat sebagai Sekretaris Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (2007). Kemudian menjadi Deputi Menko Polhukam Bidang Koordinasi Hukum dan HAM pada tahun 2008 selama 10 bulan. Pada tahun yang sama pula, ia dipercaya menjadi Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Setelah menjabat selama hampir dua tahun, ia diangkat menjadi Jaksa Agung Muda Intelijen 2010-2012.
“Itulah pengabdian saya, yang 35 tahun di bulan Desember 2012. Sebagai Jamintel, pengabdian saya yang terakhir, karena saya akan mencapai usia 60 di akhir tahun 2012. Dan sebagai pegawai negeri, itu sudah akan masuk purna tugas. Meskipun di kejaksaan sebenarnya usia pensiunnya 62 tahun, tapi untuk struktural, kita hanya sampai 60 tahun,” kata suami dari R.L. Astuty Pasaribu dan ayah dari empat anak ini.
Edwin mengaku, persinggungannya dengan dunia hukum merupakan hal yang jauh dari bayangannya sebab ia tidak pernah bercita-cita menjadi jaksa. “Itu serba kebetulan, saya SMA jurusan IPS, sosialkan? Dan kemudian saya ikut tes di Unpad. Pilihan saya dua, ekonomi dan hukum. Dan kemudian saya diterima di hukum. Itulah sebenarnya,” kata Edwin.
Di sisi lain, Edwin menyadari bahwa bidang hukum merupakan bidang yang sesuai dengan talentanya. Sejak SMP ia sudah tertarik dengan pendidikan kewarganegaraan. Sehingga dalam perjalanan hidupnya, ia bisa memahami dan menerima, mengapa ia akhirnya masuk Fakultas Hukum. “Kalau saya ingat-ingat waktu saya SMP, saya paling suka pelajaran kewarganegaraan. Guru saya itu, bisa saya lawan berdebat soal kewarganegaraan. Jadi kita suka diskusi,” ujar Edwin mengenang.
Indahnya Kerukunan Umat Beragama
Di sela-sela kesibukannya sebagai Jaksa Agung Muda Intelijen, Edwin dipercaya menjadi Ketua Panitia Nasional Jubileum 150 tahun HKBP (2009-2011). Saat melakukan kunjungan ke berbagai daerah mempersiapkan perayaan Jubileum, Edwin bersama tim melakukan berbagai kegiatan sosial dan pengobatan gratis di beberapa daerah. Dalam setiap kunjungan, ia tidak lupa menyelipkan pesan tentang perlunya menjaga kerukunan dan mensyukuri kemerdekaan untuk hidup di Indonesia.
“Kita harus bersyukur hidup di Indonesia. Karena kita begitu majemuk dan kalau semua bertanggung jawab bagaimana memelihara kerukunan ini, maka negara kita ini sangat indah,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Jaksa Indonesia (2009-2012) ini.
Edwin menambahkan bahwa kerukunan bisa terjaga kalau masing-masing pemeluk agama mau mengedepankan kewajiban daripada (menuntut) haknya. Baginya tidak masalah, apakah sebuah kelompok dikatakan mayoritas atau minoritas. Tapi yang penting bagaimana agar masyarakat itu selalu mampu mendahulukan kewajiban untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Namun jika sebaliknya selalu menuntut hak, itulah yang menurutnya menjadi pemicu terjadinya ketegangan yang sering berakhir dengan kericuhan. Itu yang saya serukan dan minta kepada mereka,” kata Edwin yang sukses memimpin pelaksanaan perayaan puncak Jubileum 150 Tahun HKBP yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Minggu, 4 Des 2011.
Meskipun masih ada ancaman terhadap kerukunan umat beragama, ia mengatakan, orang tidak bisa serta merta menyalahkan negara karena tidak hadir untuk melindungi warganya. Atau ketika warga negara tidak rukun, lalu menyalahkan pihak yang lain. Menurutnya, permasalahan yang terjadi harus bisa dilihat secara utuh kemudian melakukan introspeksi dan pembenahan. Ia berkeyakinan jika semua warga memiliki cara pandang yang demikian, tidak mustahil kerukunan akan terus berjalan.
Edwin mengisahkan rasa takjubnya dalam berbagai kegiatan Jubileum yang dipimpinnya. Ia melihat indahnya kemajemukan saat mengadakan pengobatan-pengobatan gratis di berbagai kota di Sumatera Utara, Pematang Siantar, Doloksanggul, dan Tarutung yang diikuti puluhan ribu orang dari berbagai elemen masyarakat. Tidak hanya umat Kristani, tapi juga dihadiri pemeluk agama lain.
Begitu juga dengan tenaga-tenaga medis yang menjadi sukarelawan yang hampir separuhnya merupakan umat Islam. “Tenaga-tenaga dokter, perawat itu, bayangkan, itu empat puluh persen, perawatnya itu memakai jilbab. Dokternyapun begitu, yang datang secara sukarela mendaftarkan diri, berpartisipasi. Inikan, betapa indahnya kerukunan itu,” kata Edwin takjub.
Yang paling membuat hatinya semakin terenyuh adalah saat salah satu koran ternama di Sumatera Utara mempublikasikan kegiatan sosial pengobatan gratis di Doloksanggul, Ibu Kota Kabupaten Humbang Hasundutan. Seseorang bernama Muslim yang kakinya cacat, rela datang jauh-jauh dari tempat tinggalnya di Rantau Parapat hanya untuk berobat. Edwin tidak habis pikir bagaimana pria itu harus berjuang dari satu rute ke rute lain agar bisa sampai ke tujuan.
“Saya nggak mengerti bagaimana dengan kaki seperti itu, dia bisa berjuang sampai ke Doloksanggul. Dan saya tidak tahu berapa kali bersambung dia. Karena yang dari sana itu, tidak ada sekali rute jalan ke Doloksanggul. Itu dari Rantau Parapat pindah dulu baru nyambung kemana, dengan kaki hanya tinggal satu,” kata Edwin sembari mengutip judul pemberitaan koran tersebut, ‘Setelah 20 Tahun Hilang Di Doloksanggul Saya Temukan Kaki Saya’.
Edwin juga melihat keindahan keberagaman Indonesia dalam perayaan ibadah raya di Medan. Saat melakukan pawai keliling menuju tempat ibadah, Edwin menyaksikan umat beragama lainnya turut memeriahkan ibadah raya tersebut. Di situ dia melihat papan-papan nama dari organisasi agama Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Buddha dan Konghucu turut memeriahkan perayaan. Kan bagaimana indahnya itu, di perayaan orang HKBP, saudara-saudara kita yang beragama lain ikut berpartisipasi,” ujar Sekretaris Jenderal Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGTPK) tahun 2000 ini.
Hal serupa juga ia saksikan saat perayaan ibadah raya di Surabaya. Pengamanan justru datang dari Pemuda Banser, NU dan Muhammadiyah. Ibadah semakin syahdu kala orkes gambus qasidah dari IAIN Sunan Ampel Surabaya turut memberikan hiburan saat perayaan. “Menyanyi di situ. Itu kan, luar biasa. Makanya saya bilang begini, bagaikan pelangi beraneka warna tapi indah dan aman. Karena itu saya serukan kepada seluruh masyarakat HKBP, agar di setiap langit dimana gereja HKBP berada, harus ada pelangi beraneka warna tapi indah. Dan dari sana kita tebarkan pelangi yang indah itu di seluruh langit pelosok nusantara,” kata Edwin bersemangat. Bio TokohIndonesia.com | hotsan-atur