Irit Memainkan Nada

Benny Likumahuwa
 
0
156
Benny Likumahuwa
Benny Likumahuwa | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Peraih penghargaan The Most Dedicated Indonesian Jazz Artists dari Java Jazz Festival ini memiliki ciri khas memainkan nada yang terkesan “irit” lewat alat musik tiup yang dimainkannya seperti klarinet, saksofon, dan trombon. Ia sempat ikut “terseret” arus bergabung dengan kelompok musik rock namun kembali ke dunia yang membesarkan namanya. Di usia senja, ia masih rutin berbagi ilmu dengan memberikan les privat dan mengajar di sekolah musik serta menjadi session player atau freelance di beberapa band. 

Musisi berdarah Ambon kelahiran Kediri, Jawa Timur, 18 Juni 1946 ini sejak kecil sudah akrab dengan dunia musik. Seperti kebanyakan orang Ambon, musik tak dapat dipisahkan dari keseharian hidup. Demikian halnya dengan keluarga Likumahuwa. Kedua orangtua Benny selalu memutar lagu-lagu jazz dan hal ini dirasakannya amat mempengaruhi jiwa bermusiknya. Terutama peran ibundanya yang pandai memainkan gitar sambil menyanyi. Dari ibunya pula, Benny belajar banyak hal tentang musik. Selain dirinya, salah satu adiknya bernama Utha Likumahuwa juga berkarir sebagai musisi.

Saat beranjak remaja, Benny mulai semakin mendalami musik dengan mempelajari not balok secara otodidak. Saat usianya baru menginjak belasan tahun, ia sudah membentuk sebuah grup band yang mengusung musik Amerika Latin di Ambon. Awalnya, Benny memainkan Bongo, baru kemudian ia beralih menjadi pemain bass. Benny mulai tertarik pada musik jazz setelah menyaksikan film The Benny Goodman Story. Sejak saat itu, ia mulai mempelajari berbagai alat musik yang kerap mewarnai alunan musik jazz seperti klarinet, saksofon, dan trombon. Alat musik tiup dipilihnya karena nada yang dipilih saat memainkan sebuah lagu cenderung tidak begitu banyak.

Pemilihan nada yang digunakan saat memainkan sebuah lagu yang terkesan ‘irit’ itu di kemudian hari menjadi ciri khas Benny. Meski bermain dengan sedikit nada, Benny Likumahuwa nyatanya mampu menyuguhkan permainan menawan. Hal itu pun diamini Benny. Menurutnya, improvisasi tidak harus ramai atau mengobral nada, yang penting, melodi yang disuguhkan enak dinikmati. Hal ini mengingatkan pencinta musik pada permainan piano Count Bassie yang biasanya sangat pelit dengan nada.

Perjalanan karirnya sebagai musisi profesional dimulai sejak tahun 1966. Kala itu Benny bergabung dengan Cresendo Band dari Bandung. Benny juga sempat bergabung dengan The Jazz Raiders, setelah itu ia masuk menjadi anggota Jack Lesmana Combo. Setelah Jack Lesmana meninggal dunia, Benny bersama Abadi Soesman dan Candra Darusman membentuk Trio ABC yang merupakan inisial nama personilnya. Di tahun 1980, ia berkolaborasi bersama Ireng Maulana All Star sembari bermain secara freelance dengan kelompok jazz lainnya.

Dalam perjalanan karirnya, Benny tidak hanya berkecimpung di dunia musik jazz. Ia juga memainkan musik rock dan pop. Pengalaman ini pula yang membedakan Benny dengan musisi jazz lainnya. Bahkan kiprahnya di jalur musik rock, bukan hanya sekadar ikut-ikutan tetapi juga memberikan pengaruh kuat.

Sekitar tahun 70-an, Benny pernah bergabung dengan grup band rock legendaris, The Rollies. Masuknya Benny mampu membawa warna baru bahkan menjadi motor dalam grup band yang digawangi almarhum Gito Rollies tersebut. Sejak kehadiran Benny, musik The Rollies tidak lagi condong pada The Hollies, Rolling Stones ataupun The Beatles. Bersama The Rollies, Benny sempat rekaman untuk Polygram di Singapura serta tur keliling Indonesia.

Pada tahun 1972, The Rollies mencoba peruntungannya di Bangkok. Sesampai di sana, personel The Rollies, kecuali Benny, tidak betah karena kerasnya kompetisi. Mereka memutuskan pulang ke Jakarta sedangkan Benny lebih memilih untuk melanjutkan karirnya di Bangkok. Di ibukota negara Thailand itu, ia bermain dalam berbagai band di klub-klub malam. Kemudian ia membentuk The Augersindo dan tampil di berbagai negara di Asia seperti Laos. Benny bahkan pernah menghibur tentara Amerika Serikat di Vietnam.

Di Bangkok, ia bertemu dan berkenalan dengan musisi jazz kenamaan, Bill Saragih yang biasa disapanya dengan panggilan Om Bill. Bill sudah lebih dulu tinggal di Bangkok dan bermain musik di Bamboo Bar Hotel Oriental. Setelah semakin akrab, keduanya sering ber-jamsession. Bill kemudian mengajak Benny ke Australia. Tanpa berpikir panjang, Benny langsung mengiyakan ajakan seniornya itu namun terlebih dahulu singgah ke Jakarta.

Sepanjang karirnya di blantika musik jazz, Benny sudah melanglang buana ke beberapa negara untuk mengikuti berbagai festival, antara lain The Singapore Jazz Festival tahun 1986, The Jakarta Jazz Festival tahun 1988, The North Sea Jazz Festival di Belanda tahun 1990, The Asean Jazz Festival di Kuala Lumpur tahun 1992, dan Malaysia Jazz Festival pada tahun 1994.

Begitu ia mendarat di Jakarta, setelah tiga tahun tinggal di Bangkok, teman-teman The Rollies mengajaknya kembali bergabung. Kebetulan suasana kehidupan musik di Indonesia saat itu cukup bagus. Bayaran yang diterimanya dua kali lebih besar dari yang di luar negeri. Tawaran yang menarik itu membuat Benny membatalkan rencananya menyusul Bill Saragih ke Australia. Padahal, semua surat untuk tinggal di Australia sudah selesai diurus. “Semuanya masih saya simpan. Buat kenang-kenangan,” tutur Benny.

Advertisement

Meskipun ikut “terseret” arus bergabung dengan kelompok musik yang memainkan musik rock, Benny tetap menyempatkan diri memainkan jazz. Karena bagi Benny, dunianya tetap jazz. “Sejak usia sebelas tahun saya sudah memainkan jazz. Jadi, ada sesuatu yang hilang kalau saya tidak memainkan jazz dalam tempo lama,” kata lulusan SMA perkapalan ini. Memasuki tahun delapan puluhan, Benny praktis meninggalkan musik rock dan kembali menekuni jazz meski sesekali masih tampil bersama The Rollies. Benny berpendapat bahwa memainkan musik rock ada jenuhnya, sedangkan jazz membuatnya nyaman.

Sepanjang karirnya di blantika musik jazz, Benny sudah melanglang buana ke beberapa negara untuk mengikuti berbagai festival, antara lain The Singapore Jazz Festival tahun 1986, The Jakarta Jazz Festival tahun 1988, The North Sea Jazz Festival di Belanda tahun 1990, The Asean Jazz Festival di Kuala Lumpur tahun 1992, dan Malaysia Jazz Festival pada tahun 1994.

Pada tahun 1996, ia membentuk Benny Likumahuwa Big Band yang bermain di Jakarta, Surabaya dan Bali. Kemudian rekaman untuk ketiga kalinya pada tahun 1999 di The Lion Studio-S’pore untuk Sangaji Music Co. Sedangkan di tahun 1997, Benny sempat berpartisipasi di sejumlah ajang yakni The International Dixie Land Festival di Dresden Jerman, The North Sea Jazz Festival, dan The Hage Netherland.

Pada tahun 2002, Benny sempat membuat album musik gospel. Dua tahun kemudian, ia kembali berpartisipasi di Bali International Jazz Festival dan Pattaya Music Festival di Thailand. Selanjutnya pada 2005, untuk keempat kalinya, Benny kembali rekaman di The Lion Studio-S’pore untuk Sangaji Music Co bersama Ireng Maulana All Stars.

Komitmennya pada dunia jazz juga layak mendapat acungan jempol. Selain kerap didaulat menjadi pembicara mengenai musik jazz di berbagai seminar dan radio, ia juga menyempatkan diri melatih sejumlah orang yang berminat pada musik jazz. Pada tahun 1994, Benny membantu sekelompok tuna netra asal Bandung memainkan musik jazz. Sayang, kelompok yang diberi nama Sparkle dan sempat tampil di JakJaz 1995 itu, di kemudian hari tidak lagi memainkan jazz. Yang tak kalah membanggakan adalah keberhasilannya mengorbitkan Syaharani, penyanyi jazz terkenal yang karirnya melejit setelah tampil dalam pergelaran Big Band pimpinan Benny Likumahuwa di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta tahun 1995.

Meski usianya sudah tidak muda lagi, Benny masih tampil sebagai session player atau freelance di beberapa band. Ia juga masih aktif memberikan les privat dan mengajar di sekolah musik. Menjadi pengajar sudah dirintis Benny sejak tahun 1965 di daerah Cilaki, Bandung. Di jalur pendidikan formal, pengagum Mile Davis ini pernah menjadi kepala Institut Musik Indonesia (IMI) pada 2001. Ia juga pernah menjadi kepala sekolah musik Gladiresik Music Lab yang didirikannya tahun 2006 bersama Donny Suhendra, Gilang Ramadhan, Krisna Prameswara, dan Annette Frambach. Benny juga mengabdikan dirinya di sekolah musik Farabi yang dikelola Dwiki Dharmawan dan istrinya, lta Purnamasari.

Pengalamannya selama puluhan tahun mengajar membuat Benny sudah tak ingat lagi berapa orang yang pernah ia ajari ilmu meniup saksofon, trombone, trompet, flute, dan membetot bass. Dua anak Benny yang pernah bergabung dalam Jack Lesmana Combo juga menjadi pembetot bas profesional. Salah satunya Barry Likumahuwa, yang disebut-sebut sebagai salah satu bassis terbaik di Tanah Air. Anak bungsu Benny itu menjadi session player untuk beberapa musisi kenamaan seperti Glen Fredly, Ello, Marcel, Dewi Sandra, Andien, dan Agnes Monica. Pada 7 Februari 2009, Benny dan Barry menggelar sebuah konser bertajuk Jazz Concert Continously yang sekaligus mengisahkan perjalanan karir musik seorang Benny Likumahuwa.

Sementara di jalur pendidikan informal, juga tak terhitung murid yang sudah menimba ilmu padanya. Peraih penghargaan The Most Dedicated Indonesian Jazz Artists dari Java Jazz Festival ini menuturkan, setiap harinya sekitar empat sampai lima orang meneleponnya hingga berjam-jam layaknya kursus untuk menanyakan beberapa hal tentang musik. Mereka bukan hanya berasal dari Jakarta tapi juga dari berbagai kota lain seperti Surabaya, Lampung, hingga Banjarmasin.

Melihat antusiasme dari para generasi muda yang ingin mempelajari musik terutama jazz membangkitkan perasaan gembira dalam diri Benny. Walaupun menurut Benny mereka masih di pelataran dan belum tahu betul apa itu jazz, baginya hal itu tak jadi masalah. Murid-murid itulah yang disebutnya makin kaya. Menurut dia, semakin dibagi, ilmunya akan semakin berkembang. eti | muli, red

Data Singkat
Benny Likumahuwa, Musisi Jazz / Irit Memainkan Nada | Direktori | jazz, Musisi jazz, IMI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini