Pariwisata di Tangan Birokrat Wirausaha
Sapta Nirwandar
[DIREKTORI] Sapta dinilai banyak kalangan bukan sekadar seorang birokrat, tapi juga memiliki jiwa wirausaha yang tinggi. Selain itu dia juga dikenal sebagai sosok yang mampu memberikan solusi dan tak kenal menyerah.
“Tunggu sebentar ya, Pak ‘dokter’ masih ada tamu,” kata Yeni Suryani, stafnya, ketika Bisnis datang siang itu di kantornya. Tak lama kemudian pintu kerjanya terbuka. Sapta Nirwandar, Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, muncul mengantar tamunya keluar.
‘Dokter’ memang julukan yang diberikan oleh para staf, kolega, termasuk kalangan pers yang akrab dengannya. Soalnya doktor jebolan Universitas Paris IX – Dauphine ini, tak ubahnya seperti dokter spesialis yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit mulai dari penyakit rohani hingga persoalan ruwet dalam mengurus negara.
Mantan Menbudpar I Gede Ardika mengakui Sapta memiliki kemampuan menganalisis permasalahan secara cepat, punya kepribadian kuat, mudah beradaptasi dan memiliki keteguhan dan kemauan untuk mengerjakan pekerjaan secara lugas, tuntas dan cepat.
Tak heran di usia yang relatif muda, sebagai seorang pegawai negri sipil kariernya melesat hingga menjadi orang nomor dua di Depbudpar. Keistimewaan pria kelahiran Tanjung Karang, Lampung, 52 tahun lalu ini adalah, di manapun dia berada maka lingkungannya dengan cepat bisa melihat karya-karyanya.
Karier dari suami Sri Kuntari Baiquni ini dibangun seusai menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi di Universitas Padjadjaran Bandung pada 1978. Tamat kuliah, alumnus SMA VI jurusan paspal di Yogyakarta ini sempat berkarier di perbankan asing dengan gaji yang memadai sebelum memilih jadi PNS di Badan Tenaga Atom Nasional (Batan).
“Saya memang bertekad meneruskan kuliah di luar negeri, karena itu pilih jadi PNS agar bisa mendapat bea siswa,” kata sulung dari tujuh bersaudara ini.
Keputusan itulah akhirnya mengantar Sapta ke jenjang karier sebagai pejabat tinggi negara. Belum genap dua tahun bekerja dia mendapat bea siswa ke Prancis pada 1982.
Mula-mula dia belajar administrasi negara di Institut International D’administration Publique (IIAP) dan meraih diploma. Sapta mendapat bea siswa lagi guna meneruskan kuliah pascasarjananya di Universitas Paris I-Sorbone. Dia memang tak mau pulang ke Tanah Air sebelum mengantongi gelar doktor kecuali untuk menikahi Sri Kuntari pada Maret 1983.
Begitu studi S-3 hampir selesai dan masih tersisa waktu 16 bulan lagi, Sapta melanjutkan sekolah ke Ecole Nationale d’Administration (ENA), suatu pendidikan tinggi administrasi negara yang eksklusif di Prancis dan banyak mencetak pemimpin di negara itu. Sebut saja mantan Presiden Prancis Valery Giscard d’Estaing dan mantan Perdana Menteri Laurent Fabius.
Sapta termasuk mahasiswa dengan prestasi tinggi di lembaga pendidikan birokrasi yang terpandang di Prancis itu. Dia masuk peringkat tiga dari 100 orang mahasiswa seangkatannya.
Selama di Prancis, dia menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Paris dan merangkap sebagai ketua PPI Prancis. Bapak tiga anak ini juga aktif menjadi pembina pramuka di lingkungan putra-putri Indonesia di Paris.
Soal pramuka, Sapta remaja sudah berpengalaman menjadi kontingen Indonesia ke Jambore ke-13 sedunia yang berlangsung di Jepang pada 1971. Di negeri itu bersama pramuka penggalang lainnya dari mancanegara, dia tinggal di beberapa kota selama satu bulan.
Seolah sosok yang tak pernah kehabisan energi dan inovasi, selama menjadi ketua PPI Prancis banyak yang dilakukannya termasuk membuat paket tur ke luar negeri dan melakukan berbagai macam kegiatan lainnya untuk anggota PPI.
Padahal saat itu anaknya masih kecil dan istrinya Sri Kuntari juga tengah kuliah S-2 bidang dokumentasi di Saclay, selatan Prancis.
Perjalanan kariernya ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tak lepas dari andil Sawono Kusumaatmadja, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara 1988-1993.
Singkat cerita ketika Sarwono bertemu dengan Menteri PAN Prancis yang juga mantan kepala Ecole National d’Administration (ENA) dia menanyakan Sapta Nirwandar, satu-satunya mahasiswa Indonesia di ENA.
Pulang ke Tanah Air, Sarwono mencari keberadaan Sapta yang kembali ke Batan seusai meraih gelar doktornya dengan disertasi mengenai Perusahaan Negara dan Pembangunan Indonesia. Sapta akhirnya membantu Sarwono di kantor Menneg PAN lalu berlanjut ke Bapedal sebagai eselon II A saat Sarwono menjadi Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal.
Ilmu dan kecakapan yang dimiliki menggiringnya kembali ke kantor Menneg PAN saat dipimpin oleh T.B. Silalahi sebagai Asmen bidang kelembagaan. Ketika Sarwono memimpin dan membidani Departemen Kelautan dan Perikanan, Sapta mendampinginya sebagai Sekretaris Jenderal DKP. Barulah di era pemerintahan Presiden Megawati, Sapta hijrah ke Budpar dan menjadi Sekretaris Kementerian dan Pariwisata pada medio November 2001 hingga sekarang sebagai Sekjen Budpar.
Jiwa wirausaha
Sapta dinilai banyak kalangan bukan sekadar seorang birokrat tapi juga memiliki jiwa wirausaha yang tinggi. Sebenarnya hal itu sudah tertanam sejak kecil. Anak Walikota Lampung di era 1970-an ini memilih merantau dan pilihan hidup itulah yang menempanya untuk berwirausaha.
Di Bandung, misalnya, sambil kuliah dia menjadi event organizer untuk acara pentas seni di kampusnya. Ia bercerita pernah mendatangkan Rendra, Silvia Saartje dan grup band ternama lainnya seperti AKA Band, Bani Adam pimpinan Farid Harja (alm). “Padahal ketika itu sulit mendatangkan para seniman besar seperti mereka,” ujarnya.
Dikenal suka tantangan, selalu energik, berfikir kreatif dan inovatif mengantarnya jadi ketua pemuda masjid dan ketua karang taruna di Bandung. Untuk menopang hidupnya sebagai perantau, dia membuat berbagai macam kebutuhan mahasiswa seperti jaket, kaos sampai ke sepatu. Karena itu setiap kali pulang ke Lampung, Sapta selalu membawakan emaknya oleh-oleh kripik Bandung, dari hasil bisnisnya itu.
Ketua angkatan 1974 Unpad ini ketika masih kuliah sudah memiliki dua mobil angkot dan toko pemasok jaket untuk almamater dan toko sepatu. Jiwa wiraswasta dan entertainment-nya yang kuat terbawa sampai sekarang sehingga dia dijuluki birokrat wirausaha.
Itulah sebabnya lelaki yang hobi olahraga tenis ini, terus mengampanyekan agar para birokrat memiliki jiwa wirausaha untuk kepentingan negara. “Makanya inti dari Inpres sebenarnya adalah semua menteri harus menjadi tenaga marketing bagi pariwisata.”
Di bidang lain dia juga menjadi tim pengadaan perumahan anggota Korpri/PNS. Bersama timnya Sapta memanfaatkan tabungan Baperum PNS untuk membangun 1.800 rumah di Tangerang.
Pria religius ini juga mengamalkan ilmu pengetahuannya dengan menjadi anggota tim penguji S-3 di ITB, IPB dan Universitas Indonesia untuk mata pelajaran organisasi dan SDM.
Buku-buku yang melibatkan pemikirannya a.l. Indonesia, the most varied destination anywhere, Ekspedisi kapal Samudraraksa Borobudur, Jalur Kayu Manis, Richest Reefs Indonesia. Di bidang film dia juga berkiprah lewat Serambi yang menceritakan peristiwa tsunami di Aceh.
Jangan tanya soal biaya kepada Sapta karena dengan enteng dia akan menjawab bahwa nomor satu adalah niat baik dan ikhlas. Setelah itu, katanya, pertolongan Tuhan akan datang. (hilda.sabri@bisnis.co.id/lahyanto.nadie@bisnis.co.id)
Oleh Hilda Sabri Sulistyo & Lahyanto Nadie, Bisnis Indonesia, 12 Februari 2006
***
Tinggalkan Mona, meeting only no action!
World Tourism Organization (WTO) memprediksi pada 2020 ada 1,5 miliar wisatawan menjelajah mancanegara. Pariwisata berkembang di negara-negara maju menjadi industri penggerak ekonomi.
Bagaimana nasib Indonesia? Untuk menjawab itu, Bisnis mewawancarai Sapta Nirwandar, Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Berikut petikannya:
Jasa pariwisata melibatkan multisektor, tapi kordinasi antarinstansi pemerintah dan swasta sangat lemah. Bagaimana cara mengatasinya?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhir Desember 2005 mengeluarkan Inpres Nomor 16 Tahun 2005 tentang kebijakan pembangunan kebudayaan dan pariwisata. Instruksi ini ditujukan kepada Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, kepala lembaga pemerintah nondepartemen, kepala kepolisian RI, gubernur, bupati dan walikota. Intinya, agar mereka berperan aktif mengembangkan pariwisata nasional.
Jadi konkretnya bagaimana?
Presiden menginstruksikan untuk meningkatkan pelayanan publik dalam bentuk jasa atau kemudahan bagi wisatawan mancanegara dan domestik.
Semua pihak diminta untuk mengambil langkah nyata untuk mengoptimalkan pembangunan kebudayaan dan pariwisata nasional sehingga dapat menyejahterakan masyarakat, membuka lapangan kerja dan memberantas kemiskinan.
Setelah implementasi inpres apakah Anda optimistis pariwisata kita maju, mengingat selama ini dipandang sebelah mata?
Kita harus optimistis karena 10% dari aktivitas industri di dunia ini adalah industri pariwisata dengan kemampuannya menyerap tenaga kerja. Pariwisata juga berfungsi mengentaskan kemiskinan.
Negara-negara tetangga kita sudah meraih kunjungan di atas 10 juta wisman masak kita masih berkutat di empat juta? WTO melihat meskipun ada bencana alam, wabah penyakit seperti SARS dan flu burung serta ancaman terorisme, pariwisata tetap tumbuh.
Lewat inpres itu presiden sudah mengingatkan para menterinya bahwa pariwisata ini penting bagi perekonomian.
Jadi Depbudpar kini sedang mempersiapkan langkah nyata agar pariwisata bisa bersinergi dengan sektor lain menjadi comprehensive integrated planning di masing-masing instansi itu. Inpres ini jadi modal untuk mengintegrasikan perencanaan dan pelaksanaan di bidang pariwisata.
Program apa yang segera dilakukan?
Kami akan melakukan koordinasi dengan semua eselon I di instansi pemerintah yang berhubungan dengan jasa pariwisata. Hal yang mendesak adalah mengintegrasikan aksesibilitas antara penerbangan dan destinasi wisata baik di tingkat nasional maupun regional. Kepala pemerintahan di daerah diminta membenahi akses infrastruktur di wilayahnya.
Untuk pemasaran kita gandeng swasta menggarap secara intensif ke pasar China, India dan Asean dengan melibatkan airlines yang ada.
Dalam marketing belum ada sinergi yang baik dengan industri pariwisata. Bagaimana mengatasinya?
Dalam pembagiannya kalau pemasaran yang sifatnya destinasi atau image kan tanggung jawab pemerintah, sementara kalau produk adalah tanggung jawab swasta. Bagaimana mengombinasikan pemasaran image dan produk inilah yang harus dibahas bersama. Untuk meningkatkan pelayanan misalnya kita bisa fokus soal kebersihan dari tujuh butir Sapta Pesona. Ini harus dikampanyekan bersama seperti halnya ketika China dan Korea mau menjadi tuan rumah Olympiade. Mereka buat gerakan kebersihan WC.
Kita juga harus lakukan gerakan lingkungan sehingga bisa memerangi sampah. Pokoknya semua bentuk pelayanan publik harus baik mulai dari wisatawan datang hingga kembali ke tanah airnya. Ini masalah klasik tapi nggak pernah bisa dilaksanakan. Kini semua sektor harus bisa melakukan action plan dan tinggalkan Mona yaitu meeting only no action. Pewawancara: Hilda Sabri Sulistyo & Lahyanto Nadie. TI