Pematung Monumen dan Diorama Sejarah
Edhi Sunarso
[DIREKTORI] Edhi Sunarso, pematung beberapa monumen dan diorama sejarah yang tersebar di beberapa kota Indonesia. Di antaranya patung Monumen Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan Diorama Sejarah Monumen Nasional di Jakarta. Karena karya-karyanya yang luar biasa, maka negara telah menganggapnya berjasa besar terhadap bangsa dan negara dalam meningkatkan, memajukan, dan membina kebudayaan nasional, sehingga pada 12 Agustus 2003 dianugrahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma.
“Selamat datang di Jakarta”, begitulah Tugu Selamat Datang menyambut kita setiap melintas dari bundaran HI dimana tugu tersebut berdiri. Begitu juga setiap kita melintas di prapatan Pancoran, kita sering dengan refleks menoleh ke atas, seakan-akan dalam hati bertanya, “masihkah Monumen Dirgantara ada diatas sana?” Begitulah respon kita dan mungkin respon semua orang dalam mengagumi hasil karya manusia yang selalu mengundang decak kagum tersebut. Namun mungkin hanya sedikit diantara kita yang mengetahui siapa orang yang sangat ahli membuat patung-patung tersebut.
Seni memang suatu hal yang berlaku dan bernilai universal. Tidak ada seorangpun yang tidak menyukai seni. Dan sebaliknya, tidak banyak orang yang mempunyai keahlian dan bakat seni. Dan hanya beberapa orang pula diantara orang-orang yang mempunyai bakat dan keahlian itu yang berhasil mencatatkan sejarah secara monumental karena jasanya yang cukup besar dalam meningkatkan dan membina kebudayaan nasional.
Anak dari Somo Sarjdono, ini telah menghasilkan karya-karya yang akan menjadi simbol peringatan bersejarah di negeri ini, yaitu Monumen Pembebasan Irian Barat di Jakarta, Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya di Jakarta, Monumen Selamat Datang di Jakarta, Monumen Dirgantara di Jakarta, Monumen Tugu Muda di Semarang, Monumen Jenderal Ahmad Yani di Bandung, Monumen Jenderal Gatot Subroto di Surakarta, Monumen Pahlawan Samudera Yos Sudarso di Surabaya, Monumen Panglima Besar Sudirman di Cilangkap (Mabes TNI), Jakarta, Monumen Panglima Besar Sudirman di Moseum PETA di Bogor, Monumen Yos Sudarso di Biak, Irian barat, Monumen Pahlawan Tak Di Kenal di Digul Papua, Monumen Sultan Thaha Syafudin di Jambi. Disamping Monumen-monumen tersebut, dia juga berkarya dalam bentuk diorama yaitu, Diorama Sejarah Monumen Nasional di Jakarta, Diorama Sejarah Museum Lubang Buaya di Jakarta, Diorama Sejarah Museum Pancasila Sakti Lubang Buaya di Jakarta, Diorama Sejarah Museum ABRI Satria Mandala di Jakarta, Diorama Sejarah Museum Purbawisesa di Jakarta, Diorama Sejarah Museum Jogya Kembali di Yogyakarta, Diorama Sejarah Museum Keprajuritan Nasional, (TMII) di Jakarta, Diorama Sejarah Museum Perhubungan (TMII) di Jakarta, Diorama Sejarah Museum Tugu Pahlawan 10 November Surabaya di Surabaya, Diorama Sejara Museum Beteng Vredeburgh di Yogyakarta.
Sang Pematung kelahiran Salatiga, 2 Juli 1932 ini mempunyai keahlian yang mumpuni, tidaklah diperolehnya begitu saja tanpa disengaja. Namun, disamping sudah merupakan bakatnya sejak kecil, dia juga selalu belajar dan berlatih sendiri, termasuk ketika di kamp TRI. LOG. Bandung selama menjadi tawanan perang Tentara Kerajaan Belanda (KNIL) pada tahun 1946 sampai 1949. Disamping itu, dia juga merupakan lulusan ASRI, Yogyakarta tahun 1955 dan lulusan Kelabhawa Visva Bharati University Shantin Ketan India pada tahun 1957.
Disamping sebagai pematung, ayah dari 4 orang anak yaitu: Rosa Arus Sagara, Titiana, Irawani, Satya Sunarso, dan Sari Prasetyo Angkasa, buah perkawinannya dengan Kustiah ini juga aktif sebagai Dosen Pasca Sarjana (S2) Insitut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Di dunia pendidikan, sejak tahun 1958-1959 dia sudah aktif sebagai staf pengajar pada Akademi Kesenian Surakarta di Surakarta, kemudian pada tahun 1959-1967 mengajar pada Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI Yogyakarta sebagai Ketua Jurusan Seni Patung. Pada tahun 1967-1981 sebagai tenaga pengajar pada Institut Kejuruan Ilmu Pendidikan Negeri (IKIP) Yogyakarta, dan pada tahun 1968-1984 sebagai pengajar merangkap asisten Ketua Bidang Akademik STSRI/ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, dan sebagai pengajar pada Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan sebagai Sekretaris Senat Instiut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Pria anggota Korps Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai mantan Pejuang Pasukan Samber Nyawa Divisi I, Bataliyon III, Resimen V Siliwangi ini beberapa kali mengadakan pameran baik di dalam maupun di luar negeri. Pada tahun 1956, dia sudah mengadakan Pameran Tunggal di Santiniketan, India. Pada tahun 1957 dia juga mengadakan Pameran Tunggal di tempat yang sama dan mengikuti Pameran Nasional ALL India di India. Sedangkan pada tahun 1959, dia mengadakan Pameran Bersama Istri di Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1987, bersama But Mohtar, G.Sidharta, Rita Widagdo, mereka mengadakan Pameran Berempat.
Disamping tanda kehormatan bintang Budaya Parama Dharma yang baru saja diterima, dia juga telah memiliki beberapa Tanda Penghargaan antar lain, Lomba seni Patung Internasional di Inggris The Unknoun Political Prosoner pada tahun 1953, Medali Emas dari Pemerintah India untuk Karya Seni Patung Terbaik pada tahun 1956-1957, Piagam Seni dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1984, dan Piagam Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk Karya Monumental pada tahun 1996. e-ti