Pengamat Politik dan Militer

Ikrar Nusa Bhakti
 
0
1266
Ikrar Nusa Bhakti
Ikrar Nusa Bhakti | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Profesor Riset Dr. Ikrar Nusa Bhakti, pria kelahiran Jakarta, Minggu, 27 Oktober 1957 seorang pengamat politik dan militer yang mumpuni. Mantan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) itu menjadi narasumber pers tentang kajian peristiwa politik dan militer. Pengamatan, kajian, apresiasi dan kritiknya memiliki getaran yang bisa memengaruhi sikap-tindak para politisi, pejabat publik dan militer di Indonesia.

Siapa Ikrar Nusa Bhakti? Dia seorang anak bangsa yang masa kecilnya relatif amat sulit akibat tekanan politik. Maklum, ayahnya, Wahyu Utomo, alumnus Ponpes Tebuireng Jombang adalah seorang guru yang bergabung dengan Pemuda Rakyat, underbouw PKI. Ibunya, Hazmaini, pun pernah menjadi anggota DPR-GR mewakili Gerwani. Situasi dan tekanan politik ketika itu membuatnya sempat harus terpisah dengan kedua orang tuanya. Namun, dia beruntung masih bisa ikut pamannya seorang perwira TNI AU. Dia pun ikut berpindah-pindah dari tangsi ke tangsi mengikuti beberapa kali perpindahan tugas pamannya. Pernah  tinggal di Halim, lalu pindah ke Biak, Irian Jaya (Papua). Pada usia delapan tahun, Ikrar harus mengikuti pamannya pindah ke Biak. Di sana dia menjalani masa pertumbuhannya (1965-1969) di tengah sering terjadinya konflik antara pendatang dari Sulawesi dan tentara yang sebagian besar berasal dari Jawa dan Sunda, dengan penduduk asli (Papua).

Orang tuanya seorang guru yang tampaknya melek politik. Hal ini setidaknya tercermin dari pemberian nama kepada anak-anaknya yang semuanya punya makna ‘politik’. Nama Ikrar Nusa Bakti yang disandangkan padanya, sebenarnya penulisannya yang benar adalah Ikrar Nuswa Bakti. Kata Nuswa yang dibaca Nusa itu berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya pulau. Ikrar Nuswa Bakti berarti bersumpah untuk berbakti kepada nusa dan bangsa. Sedangkan kakak pertama diberi nama Indone Herwin Rosa, artinya Indonesia Merah. Kakak nomor duanya bernama Irwan Indone Unitama, berarti Indonesia Bersatu.

Orang tuanya seorang guru yang tampaknya melek politik. Hal ini setidaknya tercermin dari pemberian nama kepada anak-anaknya yang semuanya punya makna ‘politik’. Nama Ikrar Nusa Bakti yang disandangkan padanya, sebenarnya penulisannya yang benar adalah Ikrar Nuswa Bakti.  Kata Nuswa yang dibaca Nusa itu berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya pulau. Ikrar Nuswa Bakti berarti bersumpah untuk berbakti kepada nusa dan bangsa. Sedangkan kakak pertama diberi nama Indone Herwin Rosa, artinya Indonesia Merah. Kakak nomor duanya bernama Irwan Indone Unitama, berarti Indonesia Bersatu.

Di tengah sering berpindah-pindah, Ikrar menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Petang II Jakarta dan SMP Negeri 26 Jakarta. Saat itu, Ikrar kecil yang tinggal di lingkuangan TNI AU, begitu kagum setiap melihat para pilot yang tampil gagah dengan kacamata dan seragamnya. Dalam pikirannya, para pilot pesawat tempur itu pastilah orang-orang terpilih. Maka, semula dia bercita-cita menjadi pilot pesawat tempur. Tetapi niat itu berubah, ketika Ikrar tidak lagi ikut dengan pamannya, tetapi dengan kakaknya, saat dia menyelesaikan pendidikan SMA di Denpasar. Kakaknya bilang, Ikrar tidak cocok jadi pilot, karena badan kurus dan gigi jelek.

Setelah menyelesaikan pendidikan SMA di Denpasar, Ikrar kembali ke Jakarta untuk menemani ibunya yang kala itu semingu sekali wajib melapor ke Markas Polisi Militer Kodam V Jaya di Guntur, Jakarta Selatan. Karena belum pasti dia bisa melanjutkan sekolah, dia mengambil kursus Bon A dan Bon B sambil menemani ibunya. Suatu ketika, saat menemani ibunya melapor ke Markas Polisi Militer Kodam V Jaya di Guntur, mereka bertemu dengan ibu mertua Aidit, ibunya Bu Tanti Aidit. Ibu mertua Aidit itu bertanya: ‘Piye anakmu, piye sekolahe?’ Lalu, Ibu Hazmaini, ibunya Ikrar menjawab  betapa sulit membiayai sekolah anaknya. Ibu mertua Aidit kemudian menyarankan agar Ikrar coba masuk ke UI, karena biayanya murah. Biaya kuliah saat itu hanya Rp 30.000 per tahun.

Setelah mendapat saran itu, Ikrar dan ibunya itu bersemangat. Ikrar pun berangkat mengunjungi eyangnya di Madiun dan Ngawi, Jawa Timur memberitahu niatnya melanjutkan kuliah di UI. Selain memohon doa restu, juga sekaligus meminta tambahan biaya. Eyangnya yang religius mendukungnya seraya selalu mengingatkan untuk rajin berdoa, shalat dan menjalankan ibadah puasa. Dia pun diterima menjadi mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia.

Saat kuliah, Ikrar aktif dalam gerakan anti kemapanan. Ikut demonstrasi dan aktif di pers kampus. Dia juga ikut menerbitkan buletin Politika di Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia. Buletin tersebut dilarang beredar karena memuat tulisan tentang esensi dwifungsi ABRI yang diselewengkan penguasa Orde Baru. Dia pun sering mengedarkan buletin-buletin gelap. Pernah juga magang di tabloid Mutiara. Ketika menjadi wartawan kampus, dia jarang pulang ke rumah. Kendati aktif dalam berbagai kegiatan gerakan kemahasiswaan dan pers kampus, Ikrar selalu berusaha untuk meraih prestasi dalam setiap mata kuliah, sehingga dia memeroleh beasiswa. Dia pun terpilih menjadi mahasiswa teladan Universitas Indonesia. Dua orang dosen terkemuka FISIP UI dari dua jurusan berbeda yakni Juwono Soedarsono dari Hubungan Internasional dan Arbi Sanit dari Politik pun mengangkatnya menjadi asisten dosen. Sehingga, dialah satu-satunya orang yang pernah menjadi asisten dua dosen dari dua jurusan sekaligus. Semasa kuliah, dia sudah menunjukkan minatnya pada penelitian. Ketika itu, dia sudah mengadakan penelitian tentang kasus Papua.

Selepas meraih sarjana (S1) dari jurusan hubungan internasional FISIP Universitas Indonesia tahun 1983, Ikrar tidak tertarik menjadi diplomat. Dia lebih berminat menjadi dosen atau peneliti. Pilihannya itu pun didukung oleh orangtuanya. Maka, Ikrar memilih menjadi peneliti di LIPI selain juga masih tetap mengajar beberapa mata kuliah di almamaternya. Di LIPI dia diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada 1 Maret 1984. Di sana dia meniti karier hingga menjabat Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hingga mencapai Golongan kepangkatan IV/d Pembina Utama Madya (Peneliti Utama). Ikrar pun meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang Sejarah Politik dari School of Modern Asian Studies, Griffith University Brisbane, Australia, 1992. Kemudian dia dianugerahi gelar Profesor (Guru Besar) Riset.

Selain aktif meneliti dan mengajar, Ikrar juga terbilang produktif menulis. Opini dan kolom-kolomnya sering dimuat di berbagai media massa, baik mengenai sosial politik maupun bidang kemiliteran. Tulisan-tulisannya cukup mencerahkan dan mencerdaskan. Dia amat mendambakan bertumbuhnya demokrasi di Indonesia. Dia juga menuarakan tumbuhnya tentara yang profesional, proporsional dan tidak berpolitik. Bahkan beberapa kontribusi tulisannya telah diterbitkan dalam buku-buku: Tentara yang Gelisah; Tentara Mendamba Mitra, Bila ABRI Berbisnis, “…Bila ABRI Menghendaki, “Menata Negara, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru (Penerbit Mizan, Bandung); dan The Fall of Soeharto, Human Security in Asia. Selain itu, Ketua Harian Pengurus Pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) periode 2011-2015, ini juga aktif menulis di jurnal-jurnal ilmiah. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |

 

Advertisement
Data Singkat
Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset Politik LIPI / Pengamat Politik dan Militer | Direktori | Militer, Profesor, politik, pengamat, LIPI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini