Tuangkan Nasionalisme dalam Fashion
Ghea Panggabean
[DIREKTORI] Kecintaan desainer lulusan sekolah mode di London ini pada Indonesia menyatu sempurna dengan jiwa fashion dalam dirinya. Lewat ragam tekstil Indonesia, ia tekun memperkenalkan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Dia pula yang melakukan gebrakan baru di dunia fashion dengan mengeksplorasi kain lurik dan jumputan yang terkenal dengan keeksotisannya itu di tahun 80-an.
Di kalangan pecinta busana, nama Ghea Panggabean tentunya sudah tak asing lagi. Desainer kelahiran Rotterdam, Belanda, 1 Maret 1955 ini kerap menampilkan etnik khas indonesia dalam setiap rancangannya yang sudah diakui baik di dalam maupun luar negeri. Ghea, meski terlahir sebagai perempuan blasteran Sunda-Belanda, nyatanya amat mencintai kekayaan budaya Indonesia.
Putri tunggal pasangan Sutardi Sukarya dan Janne Jannie Horneman ini semasa kecil sempat menetap di Indonesia, kemudian pindah ke Eropa. Namun akhirnya Ghea memilih Indonesia sebagai sumber inspirasi hidup dan berkarya. Menurut Ghea, keputusan itu didasari kerinduan dan ketertarikannya pada keragaman budaya Indonesia, sesuatu yang tak ditemukannya di Eropa.
Masa kecil Ghea dilalui di banyak negara. Ia mengikuti tugas sang ayah, seorang pegawai pajak yang diangkat menjadi diplomat. Ia berkeliling dari Rotterdam, Yogyakarta, Jakarta, Bremen, Amsterdam, dan kembali ke Jakarta. Ayahnya seorang muslim, ibunya Kristen, keduanya saling menghormati. “Kami merayakan natal bersama, kami juga merayakan lebaran. Itulah sebabnya, ia mudah beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang dimasuki, sekaligus bisa menghormati perbedaan.
Sang ayah yang banyak hidup prihatin di masa penjajahan Belanda dan Jepang menekankan padanya tentang arti pendidikan. Setiap liburan tiba, ia “dipaksa” untuk mengeksplorasi keragaman budaya yang ada di setiap negara yang dikunjunginya. “Dulu kadang merasa bosan, Bapak selalu saja bercerita tentang sejarah, seni, arsitektur. Kata Bapak, budaya adalah identitas bangsa yang harus dibanggakan, tidak boleh luntur oleh apapun,” katanya. Ia juga ditanamkan untuk terus membaca. Buku adalah investasi terbaik yang kamu raih selain dari pendidikan,” ia mengutip pendapat ayahnya.
Ghea mengenyam pendidikan dasar di Jerman Barat dan pendidikan menengah di Rotterdam. Ia sempat kembali ke Tanah Air dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Tarakanita dan melanjutkan ke perguruan tinggi Trisakti untuk mengambil seni rupa namun hanya setahun.
Beruntung, pada tahun 1976, Ghea mulai menemukan dunianya setelah berkesempatan untuk melanjutkan kuliah di Lucie Clayton College of Dress making Fashion Design dan lulus dua tahun kemudian. Tahun 1979, ia meneruskan studinya di bidang tata busana di Chelsea Academy of Fashion, London, Inggris.
Sepulangnya dari Inggris, Ghea mulai merintis karirnya sebagai desainer. “Kalau desainer mau bikin brand image, harus ada karakter dan ciri khas. Karena saya orang Indonesia, saya pengen punya ciri khas Indonesia, tapi bukan berarti saya mau jadi desainer tradisional,” tutur Ghea seperti dikutip dari situs okezone.com.
Oleh sebab itu, khasanah kekayaan budaya dan tekstil Indonesia yang beragam digali dan direpresentasikannya dalam karya busana modern. Selama tiga dekade berkarya, wanita yang pernah kuliah di Stamford Secretarial & Management College Singapore ini berkeliling menjelajah Indonesia demi menggali kekayaan budaya di tiap pelosoknya. Hingga kemudian ia melakukan gebrakan baru di dunia fashion dengan mengeksplorasi kain lurik dan jumputan yang terkenal dengan keeksotisannya itu di tahun 80-an.
Kini dengan sentuhan tangan kreatif Ghea Panggabean, kain jumputan yakni kain tradisional motif ikat-celup (tie dye) bisa hadir lebih menarik dan modern. Bahkan karya inovatif itu mendapat apresiasi berupa Aparel Award sebagai Indonesia’s Best Ready to Wear Designers 1987.
Kekayaan imajinasi Ghea juga dituangkannya dalam rancangan busana muslim. Pada Juli 2011, Ghea Panggabean ambil bagian dalam peragaan busana muslim yang digelar Islamic Fashion Festival (IFF) dengan bertema “Eastern Treasures”, di Hotel Mandarin Oriental Hyde Park, London, Inggris. Tak disangka, meski umat muslim Inggris terbilang kaum minoritas, busana muslim rancangan Ghea ternyata amat diminati. Yang lebih membanggakan, para peminat itu datang dari wanita kalangan atas, salah satunya Putri Charlotte Casiraghi dari Monako.
Kain jumputan hasil kreasi Ghea tidak hanya tampil pada fabrics asli, namun juga dalam bentuk print, lantaran menurutnya untuk membuat kain jumputan membutuhkan waktu yang lama. Namun, untuk menyerupai antik, ia kemudian membuatnya dalam bentuk print. Atau bisa juga di atas bahan yang sedang menjadi tren seperti stretch, organza, atau sutera.
Konsistensi mantan konsultan Pasaraya ini untuk terus menggali kekayaan tekstil Indonesia pada akhirnya menghantarkannya keliling berbagai kota di Indonesia dan dunia. Bersama sejumlah desainer lokal, Ghea sering diajak dalam perjalanan promosi kebudayaan oleh pemerintah. Ia juga pernah mendapat kesempatan dari Departemen Perindustrian untuk berkunjung ke perajin tekstil di Padang.
Misi tersebut membawa pesan kreatif agar para perajin lebih melek mode, warna, dan rancangan busana. Meski tetap memperhatikan pakem tradisional agar tidak kehilangan identitasnya, namun pakem tersebut dibuat lebih fleksibel agar mudah diterima lebih banyak kalangan.
Keinginan Ghea untuk mempopulerkan kekayaan fashion tradisional Indonesia sempat berbenturan dengan tren belanja metropolitan yakni saat merek Eropa menjadi primadona yang kelasnya seakan berada jauh di atas produk dalam negeri. Walaupun demikian, dengan penuh kesabaran, ia terus mengkreasikan kain-kain tradisional sebagai busana “ethnic ready to wear deluxe”. Selain itu, ia rutin hadir dalam fashion show di kota-kota besar Eropa untuk melihat kecenderungan busana yang akan menjadi trend di tahun berikutnya.
Melihat perkembangan dunia mode di Indonesia saat ini yang berkorelasi dengan kekayaan tekstil, tak ayal disambutnya dengan penuh sukacita. “Industri kecil dan handicraft begitu berkembang. Saya terkaget- kaget, begitu bangga. Masing-masing ingin meningkatkan citra dari hasil budaya Indonesia dalam tekstil atau kerajinan tangan,” ujar istri Baringin Panggabean ini.
Kekayaan imajinasi Ghea juga dituangkannya dalam rancangan busana muslim. Pada Juli 2011, Ghea Panggabean ambil bagian dalam peragaan busana muslim yang digelar Islamic Fashion Festival (IFF) dengan bertema “Eastern Treasures”, di Hotel Mandarin Oriental Hyde Park, London, Inggris. Tak disangka, meski umat muslim Inggris terbilang kaum minoritas, busana muslim rancangan Ghea ternyata amat diminati. Yang lebih membanggakan, para peminat itu datang dari wanita kalangan atas, salah satunya Putri Charlotte Casiraghi dari Monako.
Dalam acara yang digelar di tiga kota, Kuala Lumpur, Monte Carlo dan London itu, Ghea Panggabean menampilkan 12 rancangan busana muslimnya yang bertema Enchanting Heritage. Seperti dikutip dari situs Antara News, Ghea mengaku bahwa sejak awal dibentuknya komite The Islamic Fashion Festival tahun 2008 lalu, ia sudah diajak untuk berpartisipasi oleh ketua panitia penyelenggara dan pendiri IFF Raja Rezza Shah.
“Bagi saya sebagai disainer merupakan suatu tantangan waktu diajak pertama kali menampilkan busana Muslim dalam Islamic Fashion Festival,” ujar Ghea Panggabean yang ingin agar Islamic clothing bisa membuat wanita yang mengenakannya tampil cantik dan dan fashionable. Menurut Ghea, sejak saat itu, ia selalu berusaha membuat rancangan busana kaftan yang dapat digunakan oleh wanita yang mengenakan busana Muslim.
Karir cemerlang ditambah kehidupan keluarga yang bahagia, membuat hidupnya nyaris sempurna. Senyum ibu tiga anak yakni Janna Sukasan, Amanda Sukasah, serta si bungsu Igor Panggabean ini semakin sumringah mengingat kerja kerasnya selalu mendapat dukungan dari orang-orang terkasih. Janna dan Amanda, dua putri kembarnya bahkan tak hanya memberi dorongan moril tapi juga langsung bertindak sebagai rekan kerja yang hebat.
Bersama dua putri cantiknya itu, cakrawala pikiran Ghea tentang mode yang tengah digandrungi kaum muda semakin kaya. Bergaul dengan generasi yang jauh di bawahnya tak membuat desainer yang dikenal periang ini menemui hambatan yang berarti. “Usia terus bertambah, tapi saya tidak pernah merasa tua,” ujar peraih 10th Best of ASEAN Designers Award di Singapura ini sambil memeluk kedua putrinya. eti | muli, red