
[PAHLAWAN] Sebagai seorang prajurit yang sangat anti ideologi komunis, PKI menjadikannya salah satu sasaran penculikan dan pembunuhan dalam Gerakan 30 September 1965.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Gerakan 30 September 1965-nya, menculik dan membunuh petinggi-petinggi TNI yang tidak setuju dengan ideologi mereka. Penculikan dan pembunuhan itu dilakukan tidak hanya terhadap pimpinan TNI pusat tetapi juga terhadap pimpinan TNI di beberapa daerah. Demikian halnya terhadap pimpinan TNI di Jawa Tengah. Katamso yang ketika itu memangku jabatan sebagai Komandan Resort Militer Korem 072, Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Diponegoro, dikenal sebagai seorang perwira yang sangat anti ideologi komunis.
Setelah mengetahui gerak-gerik Partai Komunis Indonesia saat itu, ia mulai membina Resimen Mahasiswa dengan memberi latihan-latihan militer agar kelak dapat dipakai menghadapi ancaman PKI, khususnya di daerah Solo. Pembinaan mahasiswa tersebut menambah kebencian PKI terhadapnya sehinggga menjadikannya sebagai salah satu target penculikan dan pembunuhan gerakan tersebut.
Katamso, putra bangsa kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923, ini sejak masa mudanya telah menyerahkan diri menjadi seorang tentara yang siap membela keutuhan bangsa dan negaranya dari setiap ancaman bangsa lain maupun dari anak-anak bangsa ini sendiri. Selepas menamatkan pendidikan umumnya di Sekolah Menengah, dia langsung mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta
Kehidupan menjadi seorang tentara dijalaninya tanpa terputus-putus hingga akhir hidupnya. Sepanjang perjalanan hidupnya, berbagai ancaman dan gangguan seperti pemberontakan anak-anak bangsa ini sendiri maupun usaha penjajahan kembali oleh bangsa lain telah banyak digagalkannya secara cemerlang bersama para pejuang lainnya.
Setamat dari pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta), dia mengawali tugasnya menjadi Shodanco Peta di Solo. Ketika kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan, sebagaimana pada umumnya anggota Peta, dia juga ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Demikian juga ketika TKR berkembang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dia tetap sebagai tentara.
Di era TNI, Katamso memulai tugasnya sebagai Komandan Kompi di Klaten. Tidak lama kemudian, ia menjadi Komandan Kompi Batalyon 28 Divisi IV. Kerajaan Belanda yang tidak rela melepaskan begitu saja Indonesia sebagai bekas koloninya dengan segala cara berusaha untuk merebut kembali. Tidak berhasil menipu dengan cara diplomasi, pasukan Belanda pun melakukan unjuk kekuatan senjata. Peristiwa yang lebih dikenal dengan Agresi Militer I & II Belanda, ini menyalakan kembali perang antara pasukan Belanda dan pasukan pembela kemerdekaan. Pada peristiwa ini, pasukan yang dipimpin Katamso sering terlibat pertempuran langsung dengan pasukan Belanda, khususnya saat Agresi Militer Belanda II.
Tatkala pengakuan kedaulatan telah diperoleh Indonesia, di berbagai daerah malah timbul pemberontakan. Maka ketika di Jawa Tengah timbul pemberontakan yang disebut Pemberontakan Batalyon 426, Katamso diserahi tugas untuk turut menumpas pemberontakan tersebut. Tugasnya tersebut berhasil dengan baik.
Demikian juga ketika terjadi pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1958, Katamso ditugaskan menjadi Komandan Batalyon “A” Komando Operasi 17 Agustus. Operasi yang ketika itu dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani juga berhasil dengan baik.
Walaupun pemberontakan PRRI/Permesta telah berhasil diatasi, namun pengawasan yang ekstra serius guna mengantisipasi akan tumbuhnya kembali pemberontakan tersebut masih dianggap perlu. Maka Katamso sebagai prajurit yang berpengalaman langsung dalam pemberantasan pemberontakan kemudian diserahi tugas sebagai Kepala Staf Resimen Team Pertempuran (RTP) II Diponegoro dan berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Dari Kepala Staf RTP, dia dipindahkan lagi menjadi Kepala Staf Resimen Riau Daratan Komando Daerah Militer (Kodam) III/17 Agustus.
Setelah keamanan di Sumatera dianggap telah pulih kembali, pria yang terkenal giat di bidang kemasyarakatan dan mengembangkan pendidikan ini pun ditarik ke Jakarta dan ditugaskan memegang jabatan Komando Pendidikan dan Latihan (Koplat) merangkap Komandan Pusat Pendidikan Infanteri (Pusdikif) di Bandung. Kemudian pada tahun 1963, dari Jakarta dia dipindahkan lagi ke Jawa Tengah untuk memangku jabatan Komandan Resort Militer Korem 072 Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Diponegoro, yang berkedudukan di Yogyakarta.
Katamso yang sangat anti ideologi komunis ini, begitu bertugas sebagai Danrem Korem 072 Kodam VII/Diponegoro, telah mengetahui kegiatan PKI di Jawa Tengah, khususnya di daerah Solo. Maka untuk menghadapi kegiatan PKI tersebut, Katamso yang masih berpangkat Kolonel ketika itu melakukan pembinaan terhadap Resimen Mahasiswa. Pembinaan yang diberikan berupa latihan-latihan militer itu direncanakan dapat dipergunakan menghadapi ancaman PKI. Namun pembinaan-pembinaan yang dilakukannya itu akhirnya semakin menambah kebencian PKI terhadapnya.
Pada 30 September 1965 malam atau tepatnya 1 Oktober 1965 dini hari, PKI melancarkan pemberontakan yang disebut Gerakan 30 September PKI (G-30/S-PKI). Sebagaimana yang terjadi di Jakarta, aksi PKI ini dilakukan juga di Jawa Tengah. Kolonel Katamso diculik oleh gerombolan PKI, kemudian dibawa ke Kentungan, di sebelah utara Yogyakarta, lalu dibunuh. Dua puluh hari lebih setelah peristiwa tersebut tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1965, barulah mayatnya ditemukan.
Dia gugur karena mempertahankan kesucian Dasar dan Falsafah Negara, Pancasila, yang coba hendak diselewengkan komunis. Untuk menghormati jasa-jasanya, Katamso dinobatkan sebagai Pahlawan Revolusi sesuai dengan SK Presiden RI No.118/KOTI/1965, tanggal 19 Oktober 1965. Demikian juga pangkatnya dinaikkan satu tingkat dari Kolonel menjadi Brigadir Jenderal (anumerta) dan jasadnya dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta. e-ti