
[PAHLAWAN] Sugiono seorang prajurit pembela Pancasila yang menjadi korban kekejaman komunis. Ia kehilangan nyawanya karena memberikan latihan-latihan militer kepada mahasiswa untuk menghadapi kegiatan PKI.
Sugiono lahir di desa Gedaran, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, 12 Agustus 1926. Gunung Kidul sering dipandang sebagai daerah yang tertinggal karena minimnya sumber mata air di sana. Namun, hal itu tidak sedikitpun mempengaruhi Sugiono. Ia memiliki hasrat agar kehidupannya menjadi lebih baik dari sebelumnya sehingga ia giat belajar di sekolah. Setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, selanjutnya untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru, ia meneruskan studinya ke Sekolah Guru Pertama di Wonosari.
Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan pendidikannya, tentara Jepang sudah terlebih dahulu menduduki Tanah Air, sehingga ia terpaksa mengubur impiannya menjadi guru untuk kemudian mengikuti pendidikan ketentaraan di Pembela Tanah Air (PETA). Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya di PETA, Sugiono diangkat menjadi Budancho di Wonosari.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, ia turut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Yogyakarta. Awalnya ia bertugas sebagai Komandan Seksi, kemudian pada tahun 1947 diangkat menjadi ajudan Komandan Brigade 10 Letnan Kolonel Suharto.
Dalam Agresi Militer II, ia turut serta dalam serangan umum yang dilancarkan terhadap kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949. Peristiwa itu kemudian berhasil mengubah opini dunia internasional tentang kekuatan RI.
Sesudah pengakuan kedaulatan, Sugiono meneruskan pengabdiannya di bidang militer. Ia turut dalam Gerakan Operasi Militer (GOM) III untuk memadamkan pemberontakan KNIL di bawah pimpinan Andi Aziz di Sulawesi Selatan.
Sebagai seorang tentara, ia sering berpindah-pindah tempat. Jabatan pun beberapa kali mengalami pergantian. Pada bulan Juni 1965 karir militernya terus berkembang dengan pengangkatannya sebagai Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072 Komando Daerah Militer (Kodam) VII Diponegoro (sekarang Kodam IV/Diponegoro) yang berkedudukan di Yogyakarta. Saat itu jabatan Komandan Korem dipegang Kolonel Katamso.
Saat mengemban jabatan itu, situasi negara dalam keadaan krisis. Di pusat pemerintahan negara, terjadi perseteruan antara ABRI di bawah komando Angkatan Darat (AD) dengan PKI yang kemudian merambat sampai ke daerah. Akibat agitasi dan infiltrasi yang dilakukan oleh PKI, kekuatan partai politik lain seperti PNI dan NU menjadi berkurang. Partai-partai politik kecil pun mulai merapat ke AD.
Sementara itu, PKI berhasil memobilisasi petani dan buruh di daerah-daerah. Seperti Surakarta yang dijadikan daerah percobaan oleh partai berlambang palu arit yang sedang menyiapkan pemberontakan untuk merebut kekuasaan negara. Tak hanya itu, PKI juga mengajukan usulan untuk mempersenjatai sekitar 15 juta massa tani dan buruh yang sering disebut sebagai Angkatan ke-5. Tentu saja usulan tersebut ditentang sejumlah petinggi ABRI. Pasalnya, jika hal itu dilakukan akan memicu terjadi perang saudara yang berkepanjangan.
PKI berhasil mempengaruhi sejumlah tokoh ABRI, baik di daerah maupun di pusat pemerintahan. Seperti pembentukan “Dewan Revolusi” yang pendiriannya disiarkan melalui RRI di daerah Yogyakarta yang diketuai Mayor Muyono, Kepala Seksi Teritorial Korem 072/Yogyakarta.
Jabatan-jabatan pemerintahan mulai dari walikota sampai lurah, semuanya dikuasai oleh orang-orang PKI. Begitu halnya dengan aparat Hansip (Pertahanan Sipil). Untuk menghadapi kegiatan PKI tersebut, para perwira ABRI yang tergabung dalam Korem 072 membina Resimen Mahasiswa dengan cara memberikan latihan-latihan militer. Mahasiswa yang tergabung dalam sejumlah organisasi mahasiswa non-komunis, seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) melihat bahwa AD merupakan pihak yang dapat diajak bekerja sama dalam menghadapi tekanan PKI.
Tanggal 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Sugiyono kembali ke Yogyakarta setelah beberapa waktu bertugas di Pekalongan. Ia langsung menuju markas Korem 072 yang pada saat itu telah dikuasai militer pro-PKI. Akan tetapi hal itu tidak diketahui Sugiono. Sebagai salah satu tokoh ABRI yang diincar PKI, ia pun langsung ditangkap dan dibawa ke Kentungan yang terletak di sebelah utara Yogyakarta. Perwira itu kemudian dibunuh di tempat itu. Jenazahnya berhasil ditemukan pada tanggal 22 Oktober 1965 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Atas jasa-jasanya kepada negara pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel. Kol. Inf. TNI Aumerta Sugiono dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi berdasarkan SK Presiden RI No. 118/KOTI/1965, tgl 19 Okt 1965. e-ti