Sutradara Spesialis Cinta
Nia Dinata
[SELEBRITI] Nia Dinata, sineas yang banyak berkarya dengan tema cinta dan bersifat personal, alias berkaitan dengan dirinya. Tapi tema cinta dalam karyanya bukan hanya cinta melankolis, tapi juga cinta pada pekerjaan, cinta antar etnis, cinta sesama jenis dan cinta lainnya.
Mendengar nama Nia Dinata, ingatan kita pasti langsung tertuju pada sederet judul film, seperti Ca Bau Kan, Arisan, dan Berbagi Suami. Ia memang seorang sutradara yang telah berhasil membesut film-film berkualitas seperti disebut di atas dan berbagai film ternama lainya yang berhasil menyedot jutaan penonton. Tidak hanya meramaikan industri perfilman Tanah Air, Nia juga dikenal sebagai sutradara yang mampu membawa nama Indonesia ke forum internasional melalui berbagai festival film.
Ketertarikan Nia pada film memang sudah terlihat sejak kecil. Sejak masa kanak-kanak, wanita kelahiran Jakarta, 4 Maret 1970 ini sudah gemar nonton film. Ia adalah penggemar berat salah satu film legendaris Hollywood, Gone With The Wind yang dibintangi aktor kawakan Clark Gable. Karena minatnya yang besar pada dunia film, maka pada tahun 1993 Nia terbang ke Amerika Serikat untuk mendalami ilmu tentang perfilman di Sekolah Film Program NYU Tisch School of Art.
Setelah merampungkan pendidikannya, Nia mulai membangun karirnya sebagai seorang sineas wanita dengan membuat video klip dan film iklan. Pada awal tahun 2000, perempuan bernama asli Nurkurniati Aisyah Dewi ini kemudian mendirikan perusahaan film independen, Kalyana Shira Film. Debutnya sebagai sutradara dimulai dengan menyutradarai film Ca Bau Kan pada tahun 2002 yang diangkat dari novel dengan judul sama karya novelis Remy Sylado. Film bersetting tahun 1930-an, menceritakan kisah tokoh pejuang berkebangsaan Tionghoa. Film Ca Bau Kan ini berhasil menyabet sejumlah penghargaan dari berbagai festival film internasional.
Pada tahun 2004, Nia menyutradarai film Arisan yang berkisah tentang gaya hidup kaum perkotaan. Arisan mencetak sukses di pasaran. Hal itu pun diakui sejumlah kritikus film yang mengapresiasi karya cucu pahlawan Otto Iskandardinata itu. Film yang juga mengangkat kisah cinta sejenis ini berhasil mendapat banyak penghargaan, termasuk dari Festival Film Indonesia dan MTV Movie Awards. Sejak saat itu, nama Nia Dinata sebagai sutradara wanita Indonesia kelas wahid tak dapat diperdebatkan lagi.
Nia mengaku semua film yang dibuatnya bersifat personal, ada kaitan dengan dirinya. Dalam membuat film, ia juga selalu melakukan riset dan treatment visual. Selain itu, setiap film diperlakukan sama. Tidak ada yang diistimewakan. Demi kesempurnaan setiap filmnya, Nia pun jeli dalam memilih para aktor dan aktris yang akan bermain. Nama besar dan pesona fisik bukanlah jaminan, untuk mendapatkan orang-orang yang memang berkualitas secara akting dan karakternya, Nia melakukan casting ketat terhadap calon pemainnya.
Kebanyakan film-film hasil karya Nia memang bertemakan cinta. Namun dengan kemampuannya, Nia mampu menyuguhkan nuansa baru di dunia film meski masih mengandalkan cerita cinta. Tema cinta oleh Nia tak dikemas dalam nuansa drama melankolis semata. Misalnya dalam film Ca Bau Kan yang mengisahkan cinta antar etnis, cinta pada pekerjaan dalam Janji Joni, dan cinta sesama jenis dalam film Arisan.
Cinta itu memang bagian dari kehidupan, itu kata Nia. Maka tak heran film-filmnya banyak membicarakan mengenai slice of life.
Ibu dua anak itu juga menghentak masyarakat lewat film Berbagi Suami. Film yang dibintangi penyanyi Jajang C. Noer itu mengangkat isu poligami yang sensitif dan terkesan tabu untuk dibicarakan pada saat itu. Lewat Berbagi Suami, Nia berusaha membuka wawasan masyarakat Indonesia bahwa poligami merupakan realita yang sudah tak lagi harus ditabukan. Namun demikian bukan berarti ia setuju praktek poligami. Tentang hal itu, ia dengan tegas mengatakan, “Saya tetap anti (poligami)”.
Di tahun 2009, sumbangannya pada perkembangan industri film Indonesia juga diwujudkan dalam pembuatan film animasi karya anak bangsa pertama, berjudul Meraih Mimpi. Meraih mimpi hadir bukan hanya sekadar mengisi kekosongan film animasi buatan dalam negeri yang sudah sejak lama didominasi Hollywood, namun juga turut mengangkat isu kesetaraan gender.
Dipilihnya perempuan sebagai tokoh utama bukan tanpa alasan, menurut Nia sangat sedikit film yang mengangkat perempuan menjadi tokoh sentral. “Kita mengerjakan dengan wanita sebagai tokoh sentral karena visi yang sama dan film tokoh perempuan terakhir adalah film ‘Petualangan Sherina’ yang mengangkat perempuan menjadi pahlawannya,” jelasnya dengan gamblang seperti dikutip dari situs indonesiaselebriti.com. eti | muli, red