Menabuh Gamelan di Negeri Seberang

Poedijono
 
0
452
Poedijono
Poedijono | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Poedijono menghadirkan gamelan di Australia. Berkat kesungguhannya mengenalkan budaya Jawa, ia dianugerahi gelar kehormatan.

Pementasan bertema Shadow lo life yang mengambil lakon Ramayana baru saja usai di Great Hall National Gallery Victoria, Melbourne, Australia, beberapa waktu lalu. Seorang pria setengah baya berlari kecil mengejar seseorang yang baru saja menuntaskan pementasan itu. “Saya tidak menyangka gamelan bisa menghasilkan suara berbeda-beda, kadang bisa sangat keras dan juga bisa sangat lembut, saya sungguh terpikat,” kata pria itu, tampak terkesan dengan pertunjukan yang baru saja ditontonnya.

Yang ia sapa, Poedijono, seorang maestro gamelan asal Wonogiri yang telah 38 tahun bermukim di Melbourne, Australia. Matanya berbinar-binar mendengar lontaran pujian dari salah seorang penonton itu. Apalagi pementasan epos Ramayana yang menggabungkan unsur sendratari, wayang kulit, gamelan Jawa, dan gamelan Bali itu berhasil membius sekitar 700 warga Australia yang rela duduk lesehan.

Berlabuh di Melbourne

Tahun 1969, Poedijono sempat ikut serta dalam rombongan grup tari dan wayang pimpinan Tjokrowasito untuk tur selama empat bulan dan tampil di 35 universitas di Amerika Serikat. Meskipun ia hanya mendapat bagian selama 15 menit men-dalang, bagi pria kelahiran 23 September 1940, perjalanan singkatnya ini menjadi salah satu titik balik kariemya.

Berkat perjalanan ke negeri Paman Sam itu, ia mendapat tawaran untuk mengajar di University of California Los Angeles (UCLA) selama lima tahun. Lulusan Konservatori Karawitan Solo itu pun menyanggupi dan menandatangani kontrak. Tahun 1972, datang tawaran lain dari seorang profesor dari Monash University. Di sana, Poedijono juga diminta mengajar gamelan. Gara-gara tawaran itu, ia batal mengajar di UCLA.

“Amerika terlalu jauh, saya pikir Australia pilihan yang tepat bagi keluarga saya, tidak terlalu jauh dari Indonesia,” ujar pria yang sempat menari di Candi Prambanan untuk Sendratari Ramayana dari tahun 1960 sampai 1963 ini.

Ketika ia dikontrak untuk mengajar gamelan selama tiga bulan, Melbourne tidak memiliki satu pun gamelan. Dia harus meminjam gamelan dari Canberra. Kemudian Poedijono berupaya untuk mendatangkan gamelan dari Indonesia ke Monash. Setelah satu tahun menanti, tepatnya tahun 1973 datanglah gamelan untuk Monash. “Setelah lima tahun saya mengajar di Melbourne, beberapa universitas mulai tertarik membeli gamelan. Beberapa universitas di Adelaide hingga di New South Wales meminta saya untuk membantu membelikan gamelan.”

Tercatat sudah ada 28 set gamelan yang ia bawa ke Australia. Maka tak heran apabila ia sempat kewalahan mengajar gamelan di berbagai tempat hingga ke negara bagian lainnya.

Dia juga masih aktif mem-berikan pelatihan gamelan di Konsulat Republik Indonesia di Melbourne setiap hari Senin. Tercatat selama satu tahun ia bisa mengajarkan gamelan pada seribu orang. Paling tidak selama sepuluh tahun sudah 12.000 orang yang-mengenal gamelan.

Advertisement

Tata krama

Di Australia, Poedijono mengaku tak sulit mengenalkan sajian gamelan. Menurutnya, musik-musik di luar Australia pasti menarik minat. Apalagi Melbourne adalah kota multietnik.

Meski begitu, ia sempat disergap rasa takut karena merasa sendirian mengusung kesenian Jawa ketika pertama kali hijrah ke Australia. Saat itu baru ada grup kesenian dari India atau Thailand. Ia lalu mengembangkan gamelan dengan menggunakan orang-orang Australiapada tiap pementasan dan malah mendapat sambutan luar biasa. “Ketika saya mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar, saya percaya gamelan saya akan hidup,” ungkapnya optimistis.

Poedijono percaya gamelan tidak sekadar membunyikan alat. Untuk itu dia juga memasukkan tata krama Jawa ke dalamnya. Tata krama Jawa memang sulit diterima, tetapi tetap harus diperkenalkan. Para pemain gamelan harus berdoa dulu sebelum bermain, memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar bisa menyenangkan hati orang lain. Tidak gampang lho membuat orang senang,” katanya.

Temyata beberapa muridnya mengikuti saran sang guru dan selalu membawa bunga untuk sesaji setiap minggu serta berdoa sebelum memulai pertunjukan atau sekadar latihan.

Keluarga dalang

Poedijono terlahir dari keluarga dalang. Ayah, kakek, serta kakek buyutnya adalah dalang yang disegani di Wonogori. “Hampir tiap malam, saya selalu ikut ayah mendalang, bahkan suatu ketika saya pernah tertidur di pangkuan ayah yang sedang mendalang.”

Usia enam tahun, Poedijono kecil sudah mahir bermain gong. Ada alasan tersendiri mengapa ia memilih gong di antara beragamnya instrumen pada gamelan. “Berhubung jalur sesaji selalu dekat dengan letak gong, saya sangat betah bermain gong. Karena saya diam-diam suka mencicipi sedikit sesaji itu,” ungkapnya sambil terkekeh geli.

Anak dalang itu lantas bertumbuh di masa yang sulit ketika Indonesia masih diterjang berbagai pergolakan politik. Kesempatan untuk menge-nyam pendidikan pun sering kali tersendat dan terhambat.

Tahun 1948 misalnya, pemberontakan PK1 di Madiun meletus. Guru Poedijono menjadi salah satu korban meninggal. Oleh karena itulah, ia sempat tidak sekolah dan lebih banyak berkesenian. Nyatanya dengan gamelan, Poedijono berkesempatan melihat dunia dan membina pertemanan dari berbagai kalangan.

Suatu kali ada sebuah gereja Katolik yang memintanya mengiringi misa mereka dengan gamelan. “Saya terima tawaran mereka dan tak diduga gereja tersebut penuh,” tuturnya.

Baru-baru ini ia diundang mengajar gamelan di Abu Dhabi. Poedijono mengaku terkesan dengan antusiasme 500 warga Arab yang menyambangi ivorkshop-nya meski hanya berlangsung dua jam itu.

Atas dedikasinya ini pada 2003 ia mendapat penghargaan Medal of the Order of Australia (OAM) dari pemerintah Australia. Poedijono dianggap telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan masyarakat di negara tersebut. “Saya hanya tahu saya diusulkan oleh seorang kawan. Selain itu, keikutsertaan saya ini harus disokong paling tidak dari tujuh organisasi, profesor, guru, dan komunitas. Tiba-tiba saja saya mendapat surat dari gubernur jenderal bahwa saya akan mendapat penghargaan ini,” kenangnya.

Pada 2007 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tak ketinggalan menganugerahkan bintang Satya Lencana dalam bidang kebudayaan kepada Poedijono. Tentu, bukan penghargaan yang diincar kakek 70 tahun itu. “Saya selalu ingat pesan ayah, bahwa gamelan itu tidak membuatmu kaya, tapi bisa membahagiakan hati orang banyak,” kenangnya. (M-4) e-ti

Sumber: Media Indonesia, Jumat, 3 Desember 2010 | Penulis: Adeste Adipriyanti

Data Singkat
Poedijono, Seniman Gamelan, dalang / Menabuh Gamelan di Negeri Seberang | Wiki-tokoh | Seniman, jawa, gamelan, dalang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini