Menggugah untuk Peduli Tari
Irawati Kusumorasri
[WIKI-TOKOH] Irawati Kusumorasri merupakan sosok seniman wanita yang peduli terhadap seni tari Jawa dan belasan karya tari telah dihasilkannya. Dalam misi kebudayaan, ia juga kerap berkunjung ke berbagai negara. Memiliki banyak pengalaman dalam dunia tari, lewat sanggar tari Semarak Chandra Kirana Art Center yang didirikannya, ia berbagi ilmu untuk menjaga kelestarian kesenian khususnya tari Jawa dan seni lainnya. Sebab baginya, memiliki pengetahuan dan meneruskannya kepada orang lain, merupakan sebuah tanggung jawab yang harus dilakukan.
Misinya membentuk sanggar tari tak sekadar menjadikan anak-anak penari, tetapi memengaruhi banyak orang mencintai kesenian. “Saya ingin mereka mau memelihara kesenian sesuai dengan bidang masing-masing.” Maka, demi mewujudkan impiannya melahirkan generasi penerus pelestari kesenian, Ira merekrut anak-anak dan remaja belajar seni tari dan kesenian lainnya di sanggar. Meski biaya kursusnya murah, tak banyak orangtua yang membawa anaknya bergabung.
Kesenian tak akan hidup jika tidak dipentaskan dan didukung masyarakatnya. Maka, harus ada pelaku seni yang menggelar pementasan, termasuk memublikasikannya. Dengan terus dipentaskan, kesenian akan mendapat tempat di hati masyarakat, sehingga bisa lestari.
Berangkat dari pemahaman itulah, Irawati Kusumorasri selama 13 tahun terakhir membagikan ilmu tarinya kepada anak-anak di Kota Solo, Jawa Tengah, dan sekitarnya lewat sanggar tari Semarak Chandra Kirana Art Center. Hingga kini, sudah sekitar 1.000 anak yang pernah belajar di sanggarnya.
Pada saat didirikan tahun 1998, Semarak Chandra Kirana Art Center hanya wadah pembelajaran seni tari Jawa. Dalam perkembangannya, sanggar ini memberikan pelatihan beragam seni tradisi seperti karawitan, membatik, serta melukis wayang dan topeng. “Dengan sanggar tari ini saya tak mengambil untung. Ini sanggar paling murah, biayanya Rp 20.000 per bulan,” kata Ira, panggilannya.
Misinya membentuk sanggar tari tak sekadar menjadikan anak-anak penari, tetapi memengaruhi banyak orang mencintai kesenian. “Saya ingin mereka mau memelihara kesenian sesuai dengan bidang masing-masing.” Maka, demi mewujudkan impiannya melahirkan generasi penerus pelestari kesenian, Ira merekrut anak-anak dan remaja belajar seni tari dan kesenian lainnya di sanggar. Meski biaya kursusnya murah, tak banyak orangtua yang membawa anaknya bergabung.
Kalaupun ada anak yang mau belajar menari Jawa, mayoritas datang dari keluarga tak mampu. Ira lalu menerapkan sistem “subsidi” di sanggar. Mereka yang kurang mampu mendapat keringanan biaya kursus, bahkan digratiskan. Langkah ini diambilnya, agar anak-anak yang telah belajar tari tak berhenti. “Kebanyakan murid saya yang berasal dari keluarga tak mampu justru berbakat dan serius menggeluti seni. Saya sedih jika mereka sampai berhenti kursus hanya gara-gara biaya,” ujar Ira yang selama tiga tahun terakhir tak menaikkan tarif kursus, meski antara pemasukan dan kebutuhan operasional latihan tak seimbang.
Misinya membentuk sanggar tari tak sekadar menjadikan anak-anak penari, tetapi memengaruhi banyak orang mencintai kesenian. “Saya ingin mereka mau memelihara kesenian sesuai dengan bidang masing-masing.” Maka, demi mewujudkan impiannya melahirkan generasi penerus pelestari kesenian, Ira merekrut anak-anak dan remaja belajar seni tari dan kesenian lainnya di sanggar. Meski biaya kursusnya murah, tak banyak orangtua yang membawa anaknya bergabung.
Dominasi perempuan
Kini, murid di sanggarnya berjumlah sekitar 100 orang, dan 99 persen di antaranya perempuan. Sulit mendapatkan murid laki-laki yang mau belajar menari Jawa. Tari Jawa dipandang sebagai tari lembut, jadi jarang ada orangtua yang mau anak laki-lakinya kursus tari Jawa,” ujarnya.
Untuk melatih para murid di sanggar, Ira dibantu lima guru yang berasal dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Semangat Ira memelihara kesenian, terutama tari Jawa, mendapat dukungan teman-temannya. Jadilah sistem honor guru di sanggar pun diselesaikan secara kekeluargaan. “Hasil pembayaran dibagi lima, buat para guru. Uang itu lebih sebagai pengganti biaya transpor ketimbang honor. Ternyata mereka punya dedikasi tinggi dalam melatih anak-anak,” ujarnya.
Ira tak pernah mengambil uang dari pembayaran biaya kursus murid untuk dirinya. Hal yang sama dia lakukan saat anak-anak didik Semarak Chandra Kirana Art Center pentas dan menerima honor yang nilainya di bawah Rp 5 juta. Sesekali Ira mengambil uang hasil pentas, jika sanggar memperoleh tawaran dengan bayaran hingga belasan atau puluhan juta rupiah. Untuk kebutuhan sehari-hari, ia menggunakan uang hasil penjualan batik yang dia buat sendiri, dan gaji sebagai pengajar di Akademi Seni Mangkunegaran.
Sejak lima tahun
Ira adalah penari Jawa klasik di Pura Mangkunegaran, Solo. Dia belajar tari tradisi Jawa sejak berusia lima tahun. Bahkan sejak duduk di bangku SMP, ia sering tampil menari bagi turis yang berkunjung ke Pura Mangkunegaran. ” Sejak dulu saya punya uang saku dari hasil menari,” ujar Ira yang merasa Pendopo Pura Mangkunegaran adalah tempat menari yang paling berkesan sepanjang hidupnya.
Kemampuan menarinya semakin meningkat saat kuliah di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Demikian pula ketika ia bergabung dengan Badan Koordinasi Kesenian Tradisional (BKKT) UNS, hingga menguasai tari bedoyo. Ira lalu terlibat dalam berbagai misi kebudayaan ke banyak negara, seperti Jepang, Kamboja, dan Belanda.
“Kenyang” dengan berbagai pengalaman menari, Ira lalu berbagi ilmu sekaligus melestarikan seni Jawa lewat Semarak Chandra Kirana Art Center. “Murid awal sanggar ini adalah anak-anak teman saya. Jumlahnya ketika itu sekitar 25 anak.” Kini, setiap empat bulan ia merekrut calon murid lewat tes, melalui berbagai kegiatan bekerja sama dengan mal atau hotel. Cara ini efektif untuk menjaring lebih banyak murid sekaligus mempromosikan tari Jawa.
Pengalaman menari, membuat Ira pada 2006 dan 2007 dipercaya Kementerian Luar Negeri untuk melatih peserta Program IACS (Indonesia Art and Culture Scholarship) dari berbagai negara, untuk belajar seni budaya Jawa. “Walaupun dari berbagai negara, tetapi setelah dikenalkan dengan kesenian Jawa, mereka biasanya langsung jatuh cinta,” ujarnya.
Selain itu, awal Juli lalu Ira dipercaya menjadi Ketua Panitia Solo International Performing Arts (SIPA), yang berlangsung 1-3 Juli di Solo. Ia merekrut sekitar 100 mahasiswa untuk terlibat sebagai panitia. “Dengan terlibat di SIPA, mereka semakin mencintai kesenian,” ujarnya.
Sukses menggelar SIPA, Ira ingin menjadikan tari sebagai obyek wisata. Ia bertekad tetap melatih generasi penerus seni tradisi Jawa, dengan menggandeng lebih banyak anak—termasuk dari keluarga mampu untuk belajar tari. “Saya punya ilmu dan keterampilan menari. Berdosa jika semua itu saya bawa sampai mati tanpa meneruskannya kepada generasi muda,” kata Ira menambahkan. e-ti | hans
Diterbitkan pertama kali di Harian Kompas, Kamis, 21 Juli 2011 di bawah judul: “Misi Melestarikan Seni Tradisi Jawa” | Penulis: Regina Rukmorini & Sonya Hellen Sinombor