Pelindung ‘Nona’ Manado

Hetty Antje Geru
 
0
328
Hetty Antje Geru
Hetty Antje Geru | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Hatinya teriris setiap kali mendengar berita tentang perdagangan anak dan perempuan. Tak cukup dengan membatin, kepiluan itu ia “letupkan” lewat kampanye dan advokasi antiperdagangan manusia.

Itulah sosok Hetty Antje Geru, aktivis anti-trafficking di Sulawesi Utara. Konsistensi perjuangannya melawan perdagangan “nona-nona” Manado selama 10 tahun terakhir mengundang respek berbagai pihak.

Jajaran Kepolisian Daerah Sulut di bawah kepemimpinan Brigadir Jenderal (Pol) Carlo Tewu bisa dia yakinkan untuk mendukung perjuangannya. Mengusung program polisi anti-trafficking, aparat setempat semakin gencar meringkus otak dan pelaku penjualan gadis belia antarpulau lewat Manado.

Pada Juli 2010, misalnya, aparat keamanan “mengevakuasi” 23 perempuan usia belasan tahun yang hendak dipekerjakan di tempat hiburan malam di Jayapura, Papua. Seorang polisi yang membekingi upaya itu pun ditangkap.

Perjuangan Hetty disambut antusias sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk bersinergi mendirikan rumah (shelter) bagi korban perdagangan manusia. Di tempat ini terdapat belasan perempuan belia yang belum siap kembali bermasyarakat karena trauma pada praktik perdagangan manusia.

Sejak awal melakoni perjuangan itu, Hetty mematok tekad untuk “memperbaiki rahim” perempuan Manado dan sekitarnya. Ia menilai, rahim perempuan yang digunakan sebagai tempat melahirkan generasi yang baik dan bermutu harus dipelihara sebaik-baiknya.

Saat menjadi Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Pemprov Sulut pada 2000-2005, perjuangan Hetty ibarat menghadapi gulungan bola salju. Kian dilawan, gulungan itu semakin membesar, bahkan menggunung. “Ini fenomena perbudakan pada zaman modern.”

Di Sulut, perdagangan anak dan perempuan telah menjadi persoalan sosial yang krusial dan serius. Ia memperkirakan, ribuan “nona” asal Manado dan sekitarnya berada di tangan sindikat penjahat trafficking di sejumlah kota. Mereka kesulitan pulang kampung karena terbelit jaring eksploitasi.

Sebagai Ketua Tim Pengelola Pusat Kajian dan Gender untuk Kesetaraan dan Keadilan Universitas Sam Ratulangi, Hetty paham modus operandi sindikat perdagangan perempuan.

Tak sedikit orangtua kehilangan anak gadisnya karena termakan bujuk rayu germo yang turun ke desa mencari mangsa. Ada juga yang menjerat korban di rumah sakit.

Advertisement

“Modus operandi germo berjenjang dari pelosok desa sampai korban dibawa ke Manado untuk ‘dikapalkan’ antarpulau,” katanya.

Di rumah sakit, acap kali germo membujuk gadis-gadis belia dengan iming-iming memperoleh penggantian biaya pengobatan orangtuanya jika ia mau berangkat. Diimingi pekerjaan dengan gaji di atas Rp 1 juta, para perempuan itu diboyong ke sejumlah kota di Papua, Maluku, dan Kalimantan.

Apakah fenomena ini berkaitan dengan kemiskinan dan kemunduran ekonomi Sulut? Hetty menyatakan tidak. Pada 1950-an, saat era pemberontakan Permesta, situasi paceklik pun tak mendorong naluri perdagangan perempuan.

Hetty tak menampik jika di daerahnya perdagangan perempuan marak dibandingkan daerah lain di Tanah Air. Itu bisa jadi karena pandangan subyektif bahwa gadis Manado supel, ramah, dan akrab kepada siapa pun. Apalagi gadis Manado umumnya berkulit kuning, jadilah mereka incaran germo.

“Bunaken-Boulevard-Bibir”

Dalam Forum Kawasan Timur Indonesia (KTI) V di Ambon, Maluku, awal November lalu, ia sempat mengilustrasikan harmonisnya keindahan alam Sulut dengan perempuan Manado dan sekitarnya. Disertai permohonan maaf, ia menyebut harmoni itu sebagai “3B”, singkatan dari Bunaken, Boulevard, Bibir.

“Kalau sempat jalan-jalan ke Manado, silakan artikan sendiri,” ujarnya.

Sejak tahun 2000, hampir setiap pekan Hetty tampil di berbagai forum untuk mengampanyekan antiperdagangan manusia. Tak heran, nama dan kiprahnya dikenal hingga ke pelosok kampung di Minahasa.

Kesempatan menjadi birokrat di Pemprov Sulut tak disia-siakan untuk melancarkan misinya. Saat menjadi Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan, ia memelopori pembuatan peraturan daerah (perda) mengenai perdagangan perempuan dan anak yang menjadi acuan petugas.

Perda yang terdiri dari 12 bab dan 26 pasal itu mendahului perundangan nasional mengenai perdagangan perempuan dan anak. Regulasi nasional seputar hal itu baru terbit tiga tahun kemudian lewat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Padahal, pada 1984 Indonesia telah meratifikasi konvensi perempuan internasional mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Terbitnya perda itu membuat harkat dan citra perempuan Sulut terangkat. Sebab, sebelumnya masyarakat dan aparat bersikap permisif. Ketika para gadis dibawa ke luar daerah, germo berdalih mereka adalah pencari kerja. Maka, kasusnya sulit dituntut secara hukum.

Hetty mengakui, tak mudah membuat perda itu. Ia mendapat banyak tantangan, terutama dari lelaki yang memandang perdagangan perempuan sebagai ranah pribadi. “Saya bilang ini kejahatan komunal yang harus diperangi!”

Tantangan juga muncul dari kalangan perempuan karena ia ngotot mencantumkan pasal mengenai perempuan yang bekerja ke luar kota harus seizin suami atau keluarga. Izin itu harus dilegitimasi kepala kelurahan atau pejabat polisi setingkat kepolisian sektor.

Pasal itu dianggap diskriminatif. Namun, Hetty terus membangun penyadaran mengenai substansi persoalannya. Akhirnya mereka sepakat, trafficking harus dicegah dan diperangi bersama-sama.

“Kembalikan harkat nona-nona Manado,” ujarnya tegas. e-ti

Sumber: Kompas, 25 November 2010 | Penulis: Jean Rizal Layuck

Data Singkat
Hetty Antje Geru, Ketua Tim Pengelola Pusat Kajian Gender untuk Kesetaraan dan Keadilan FISIP Unsr… / Pelindung ‘Nona’ Manado | Wiki-tokoh | Dosen, peneliti, sosiolog, anti perdagangan manusia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini