Pendampingan Pertanian Organik

Indro Surono
 
0
459
Indro Surono
Indro Surono | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Meningkatkan pendapatan petani bukan perkara mudah. Apalagi petani Indonesia dengan lahan sempit dan masalah tak adanya jaminan harga jual komoditas. Petani juga menghadapi buruknya infrastruktur dasar dan ketersediaan sarana produksi, menurunnya kualitas lingkungan dan kesuburan tanah, serta rendahnya tingkat pendidikan.

Meski tidak mudah, Indro Surono mampu melakukannya. Setidaknya sampai kini dia memainkan peranan penting dalam peningkatan pendapatan 7.500 petani, dengan lahan sekitar 20.000 hektar, melalui pendampingan pengembangan pertanian organik, khususnya dalam hal sertifikasi.

Proyeknya tersebar mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur. Komoditas pertanian yang dikembangkan Indro pun beragam, mulai dari beras, kopi, kakao, gula aren, singkong, hingga mete. Produk pertanian organiknya juga diekspor ke berbagai negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Karena keterlibatan Indro pula, pendapatan petani di daerah tersebut umumnya naik dibandingkan dengan mereka yang menanam komoditas pertanian nonorganik.

“Saya hanya melakukan pendampingan tentang bagaimana caranya agar produk pertanian organik mereka bisa mendapatkan sertifikasi organik,” kata Indro merendah.

“Nyawa” mata rantai

Produk pertanian organik butuh sertifikat. Jaminan sertifikat organik sangat vital. Tanpa ada jaminan tersebut, konsumen tak percaya bahwa produk pertanian yang akan mereka konsumsi benar-benar produk organik.

Bagi produsen dan pengusaha yang bergerak di bidang perdagangan komoditas ataupun produk pangan organik, sertifikat organik merupakan “nyawa” dari sistem mata rantai perdagangan. Tanpa adanya sertifikat, produk organik tak laku dijual dengan standar harga organik. Padahal kini pertanian organik semakin berkembang di Indonesia.

“Permintaan produk organik Indonesia di pasar global, khususnya produk perkebunan dan hasil hutan nonkayu, terus meningkat,” kata Indro.

Permintaan produk organik di pasar domestik juga terus tumbuh, terutama untuk produk segar, seperti sayuran, buah, dan beras. Semakin banyak ditemui gerai, pasar swalayan, dan restoran yang menjual produk organik di kota-kota besar.

Advertisement

Meski permintaan tinggi, masih banyak produk organik di pasar tak dijamin atau disertifikasi, alias hanya dilabel secara sepihak oleh pemasarnya. Dengan demikian, banyak pihak yang mempertanyakan keorganikan produk itu.

Di sisi lain, konsumen belum cukup mengerti akan pentingnya penjaminan organik ini. Tanpa tahu persis, konsumen pula yang bakal dirugikan. Adapun petani sangat paham bahwa dengan membudidayakan komoditas pertanian organik, bisa melipatgandakan pendapatan. Mereka juga tahu perlunya sertifikasi produk pertanian organik. Sayangnya, petani tidak tahu dari mana memulainya, sementara pemerintah belum fokus menggarap pertanian organik.

Prihatin revolusi hijau

Kedekatan Indro pada pertanian organik berawal tahun 1996. Saat itu dia bersama beberapa teman dari Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, dan Universitas Parahyangan mendirikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pertanian yang kini bernama ELSPPAT Institute for Sustainable Agriculture and Rural Livelihood.

Pengalaman langsung Indro dimulai dengan proyek percontohan pertanian organik bersama beberapa petani muda pascakrisis ekonomi tahun 1997 di Desa Palasari, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat. Pada proyek itu ditanam beraneka sayuran dengan sistem tumpang sari dan rotasi untuk meminimalkan serangan hama dan penyakit, serta mengoptimalkan hasil.

Tanah diolah secara minimal dan asupan pertanian, seperti pupuk dan pestisida, dibuat sendiri. Bersama petani, ia juga belajar membenihkan sayuran untuk mengurangi ketergantungan terhadap benih komersial. Hasil sayuran organik itu dijual kepada konsumen di sekitar Bogor, dengan sistem pesan-antar.

Dari sinilah muncul keprihatinan Indro terhadap dampak revolusi hijau yang merusak lingkungan, menguruskan tanah, mereduksi keragaman hayati, dan kedaulatan petani. Lalu, pencarian akan pertanian alternatif pun dia mulai.

Pertanian organik dianggap sebagai salah satu solusi bagi revolusi hijau karena mengajarkan petani untuk membenihkan sendiri benih pertanian, membuat sendiri pupuk dan pestisida alami, serta menghargai kearifan dan budaya lokal dalam pertanian.

Selain itu, petani menghasilkan produk yang aman bagi konsumen, menyehatkan tanah, dan menjaga keanekaragaman hayati. Proyek ini terus berkembang.

Tahun 2000 Indro berkesempatan mengikuti kursus pertanian organik selama sebulan di pusat pengembangan organik Yayasan Bina Sarana Bakti yang didirikan biarawan Katolik, Agatho Elsener.

Setahun kemudian, bersama beberapa LSM, ia merintis pembentukan lembaga penjaminan pertanian organik di Indonesia, hingga didirikannya perkumpulan BIOCert, lembaga sertifikasi organik nasional pertama di Indonesia, pada 2002.

Bersama lembaga sertifikasi organik di Asia, BIOCert membentuk Certification Alliance (Cert-All). Ini kolaborasi regional untuk bertukar sistem dan layanan sertifikasi organik. Dengan kolaborasi ini, hasil inspeksi dan sertifikasi BIOCert akan diterima pasar Asia.

Tahun 2005 Indro direkrut Institute for Marketecology, lembaga sertifikasi internasional asal Swiss, sebagai inspektur di Indonesia.

Tantangan lain pengembangan organik, bagi Indro, adalah masih beragamnya pemahaman mengenai pertanian organik, kualitas produk yang belum baik, dan kendala teknis lain, seperti keterbatasan asupan organik. Selain itu, juga ada kendala lain, yaitu yang terkait dengan permodalan dan pembiayaan sertifikasi yang cukup mahal. e-ti

Sumber: Kompas, Rabu, 19 Agustus 2009 “Indro, Pendampingan Pertanian Organik” | Hermas E Prabowo

Data Singkat
Indro Surono, ELSPPAT Institute for Sustainable Agriculture and Rural Livelihood, 1996-kini / Pendampingan Pertanian Organik | Wiki-tokoh | pertanian, organik, sertifikat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini