Puskesmas Matematika

Siti Fauzanah
 
0
1061
Siti Fauzanah
Siti Fauzanah | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Pasien Siti Fauzanah ialah mereka yang kurang memahami pelajaran matematika sehingga perlu rawat inap. Hasilnya menang olimpiade.

Rumsah berdinding papan berwarna putih di dalam gang kecil Kampung Ngempo Lor, Kelurahan Parakan Wetan, Kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, lengang Sabtu (4/12/2010) sore.

Pintu depan rumah itu terbuka sebagian sehingga air hujan merembes masuk membasahi sebagian lantai plester berwarna kehitaman. Rumah sederhana itu dikontrak Siti Fauzanah, warga setempat sejak sekitar 1973.

Selain dijadikan tempat tinggal, rumah itu berfungsi sebagai puskesmas matematika. Siti Fauzanah yang akrab disapa Bu Yan itu kini merawaf 16 anak asuh. Kata Bu Yan, anak-anak tersebut menderita sakif parah karena kurang memahami pelajaran matematika sehingga harus menjalani rawat inap dan mendapat pengobatan intensif.

Mereka anak keluarga miskin yang tidak mampu menyelesaikan sekolah di tingkat dasar. Bu Yan-lah yang kemudian memperjuangkan pendidikan mereka.

“Awalnya mereka masih bodoh, kucel, lusuh, dan bau. Beberapa ada yang menderita penyakit kulit di tangan dan kaki. Saya terima saja mereka apa adanya. Soalnya kalau hanya memilih anak-anak yang sudah jadi atau pintar, namanya bukan lagi berobat di puskesmas matematika,” ujar Bu Yan.

Meski bukan orang kaya, terbukti Bu Yan sanggup memperjuangkan anak-anak putus sekolah. Setiap periode, anak-anak yang datang ke tempat itu silih berganti. Mereka datang dari pelosok desa yang tersebar di wilayah Kabupaten Temanggung. Ada dari Tuksari, Nggo-rukem, Bokol, Ngadirejo, Jumo, Temanggung; dan sekitar Parakan.

Kata Bu Yan, dia tahu betul rasanya jadi anak miskin yang sulit sekolah. Saat masih kecil, anak pertama dari 12 bersaudara pasangan Ismail Cokro Miharjo (alm) dan Siti Aswad, 85, terpaksa menjadi pembantu dari satu tempat ke tempat lainnya.

“Saya terima jadi pembantu siapa pun yang membutuhkan asalkan mereka membiayai sekolah saya. Saya ikut orang sejak 1960 di Magelang. Waktu itu saya disekolahkan di SR Cokro Grabag,” ujarnya.

Sekitar 1963, ia pindah ke Demak, juga ikut orang. Ketika itu ada yang bersedia menyeko-lahkannya di SMPN 1 Demak. Lalu 3,5 tahun kemudian, ia pindah lagi mengabdi pada sebuah keluarga yang sanggup menyekolahkannya di SMA 1 Magelang.

Advertisement

Bu Yan lantas melanjutkan pendidikan di Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PG-SLP) Magelang hingga 1968. Setelahnya, ia menjadi guru hingga sekarang.

Dilarang pacaran

Karier mengajar Bu Yan dimulai di SMPN Banjar Negara selama tiga tahun. Setelah itu, Bu Yan mulai mengajar di SMP Negeri 1 Parakan pada tahun yang sama ia mengontrak rumah di gang kecil tersebut. Saat itulah dia mendirikan puskesmas matematika untuk menerima pasien yang akan ia perjuangkan sampai tingkat pendidikan tinggi.

Menjadi pasien Bu Yan harus taat sejumlah syarat. Antara lain harus langsung pulang ke rumah usai pulang sekolah untuk belajar dan tidak boleh ke mana-mana lagi, serta tidak boleh pacaran sebelum menyelesaikan sekolah hingga ke perguruan tinggi dan mendapat pekerjaan.

“Hal yang paling menyedihkan bagi saya adalah jika ada orang lain yang mengganggu anak saya sehingga mereka kepincut untuk pacaran. Saya tidak mau belajar mereka terganggu. Kalau sudah begini, langsung saya turun tangan untuk menyelesaikan,” kata perempuan lajang itu.

Bu Yan juga menjaga ketat anak-anaknya agar tidak terkontaminasi oleh dunia luar. Karena itu, ia melarang anak-anak menonton televisi. Alasannya, anak-anak terkadang mudah terpengaruh dan meniru perilaku, gaya hidup, dan model pakaian dari sinetron dan film yang dilihat dari televisi.

Dia juga tidak mengizinkan anak-anak asuhnya memiliki telepon seluler, kecuali mereka yang sekolah di luar kota. “Agarsaya bisa memantau kondisi anak serta perkembangan pendidikannya saat berada jauh dari saya,” terang Bu Yan.

Obat jalan

Selain mengurus anak asuh, puskesmas matematika ini juga menerima anak-anak yang hendak berobat jalan saja, atau hanya les di sore hari. Terhadap mereka, Bu Yan menarik biaya les. Biaya itu digunakan untuk kebutuhan makan anak-anak yang rawat inap di puskesmas-nya.

Saat Media Indonesia berkunjung ke puskesmas matematika sore itu, puluhan anak asyik menghadapi buku-buku sembari mengerjakan soal-soal matematika. Mereka ialah siswa SD, SMP, dan SMA. Bu Yan tampak berkeliling dari satu meja ke meja lainnya memantau aktivitas anak didiknya.

Jam les anak-anak itu dibuat tiga sif, pukul 14.00-20.00 WIB. Tiap tingkat belajar selama 2 jam. Pada Minggu, anak-anak belajar pukul 07.00-21.00. Soalnya saat hari libur itu, beberapa anak didik Bu Yan yang kuliah di luar kota pulang sehingga bisa membantu mengajari anak-anak pelajaran matematika.

Upaya keras mereka terganjar sempurna. Sejumlah anak di tempat itu meraih penghargaan olimpiade untuk bidang matematika, baik di tingkat lokal,provinsi, nasional, dan internasional.

“Setelah mendapat penghargaan itu, barulah ada sekolah dan perguruan tinggi negeri v.nu1, menerima .in.ik-.uuk saya yang miskin ini untuk men,idi siswa dengan membebaskan seluruh biaya sekolah, ujar Bu Yan.

Bantuan tanpa syarat

Seusai digunakan belajar, saat malam hari tiba, bangku dan meja untuk belajar itu disusun berderet untuk tempat tidur. Ada beberapa anak tidur di lantai hanya beralaskan tikar dan kasur tipis.

Untuk mencukupi kebutuhan pangan anak-anak dan uang kos, perempuan yang telah memasuki masa pensiun sejak 2007 itu mengajar sebagai guru bantu di SMPN 1 Parakan.

Karena kerap kekurangan dana, pada sore hari Bu Yan memberi les menjahit dan menyulam pada kaum ibu di lingkungannya. “Kalau dulu, bayaran dari mengajar njahil baju dan menyulam sebesar Rp2.000 sekali kursus. Itu sama besar dengan jumlah gaji yang saya terima dari pekerjaan pokok saya mengajar di SMPN 1 Parakan. Uang yang saya terima dari memberi les ibu-ibu itu langsung saya belokkan jadi nasi bungkus untuk makan anak-anak di rumah. Begitu setiap hari.”

Meski kerap kesulitan karena membiayai belasan anak, perempuan tua ini tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah dan pihak lain. Bahkan ia pernah menolak bantuan dari pihak lain karena syarat yang diajukan dari si calon pemberi bantuan memberatkan anak didiknya. Dia lebih rela bersusah payah sendiri, yang penting anak-anak miskin itu tidak menjadi kuli atau pembantu.

“Kalau dibiarkan saja, anak-anak yang miskin dan putus sekolah itu pasti hanya akan menjadi kuli atau pembantu. Makanya saya ambil mereka untuk hidup bersama saya di rumah kontrakan seadanya begini. Yang penting mereka bisa sekolah,” tegas perempuan 63 tahun itu.

Upayanya membuahkan hasil. Semua anak asuh Bu Yan berhasil meraih penghargaan olimpiade matematika baik di tingkat kabupaten, provinsi, nasional, dan internasional yang mulai diikuti sejak 2003.

Semua anak didiknya yang rawat inap, 16 orang, berhasil diterima di perguruan tinggi negeri. Antara lain di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan Institut Teknologi Bandung. Bahkan seorang anaknya telah menyelesaikan program S-2 dan saat ini menjadi dosen di UGM.

“Dulu mereka anak-anak yang kehilangan harapan belajar karena keluarga mereka tidak mampu. Tapi setelah didorong terus, mereka akhirnya lolos olimpiade dan dapat beasiswa belajar sehingga bisa berhasil seperti ini. Rasa senang saya bukan kepalang. Bagi saya, mereka sudah seperti anak-anak kandung saya sendiri,” tuturnya. (M-4) e-ti

Sumber: Media Indonesia, 8 Desember 2010 | Penulis: Tosiani

Data Singkat
Siti Fauzanah, Guru, Pendiri Puskesmas Matematika / Puskesmas Matematika | Wiki-tokoh | Guru, pendiri, matematika, puskesmas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini