Relawan, Panggilan Hidup
Esthi Susanti
[WIKI-TOKOH] Ketika uang seakan menjadi “panglima”, maka kepedulian sebagian orang pada lingkungannya, apalagi mereka yang jauh dari kehidupannya, semakin luntur. Terutama di kota-kota besar, kepedulian dan empati pada mereka yang nasibnya kurang beruntung makin terkikis. Tak mengherankan bila menjadi relawan bukan hal yang diharapkan.
Maka, bukan hal mudah bagi Esthi Susanti untuk berkarya bagi sesama manusia. Bahkan, sampai usia 50 tahun, ia masih berada di persimpangan jalan. Haruskah meneruskan aktivitasnya sebagai relawan di lembaga swadaya masyarakat Hotline, atau menjalani kehidupan normal seperti umumnya orang lain.
Namun, anak kedua dari 10 bersaudara ini tak semata-mata mengikuti keinginan yang sebenarnya manusiawi itu. “Ternyata, saya memang mendapat tugas untuk terus menjadi relawan. Ini adalah sebuah panggilan,” ujarnya dalam suatu pembicaraan, awal Oktober lalu di Surabaya.
Ia pun kembali menjalani rutinitasnya dan didera kesibukan. Mengawali hari baru, Esthi bersama relawan Hotline membantu seorang pekerja seks yang akan melahirkan. Pekerja seks itu mulai mengeluarkan air ketuban, sedangkan uang yang dia miliki hanya Rp 70.000.
Operasi caesar supaya bayi lahir dengan kemungkinan bebas HIV/AIDS harus segera dilakukan, padahal saat itu telah lewat tengah malam. Semua pontang-panting, tetapi berkat koordinasi dengan para dokter, sang bayi lahir sehat melalui operasi caesar.
Pada pekan yang sama, seorang pekerja seks dengan virus HIV yang sudah menginfeksi jaringan otak menghitung hari mendekati ajal. Harapan terbesarnya adalah bertemu dengan keluarga. Para relawan Hotline berusaha memenuhi keinginan terakhir si pekerja seks dengan mencari keluarganya. Relawan menemukan mereka di Ponorogo.
Ketika semula keluarga menolak menemui si pasien, para relawan memberikan penjelasan secara persuasif. Keluarga si pasien akhirnya mau merawatnya sampai ajal menjemput pengidap HIV/AIDS itu. Rekonsiliasi terjadi dan si pasien menghadapi ajal dengan martabat.
Hotline
Pembelaan dan pendampingan terhadap pengidap HIV/ AIDS konsisten dilakukan Esthi sejak tahun 1992. Dia juga melakukan pendampingan dan perlindungan untuk perempuan miskin.
Esthi merintis karier aktivis ketika mengelola biro konsultasi via telepon di Surabaya bernama Hotline pada Harian Surya tahun 1989. Pekerjaan ini ditawarkan wartawan Kompas, Valens Doy (almarhum) dan Max Margono. Esthi lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai guru bimbingan dan konseling di SMA Petra 2 Surabaya.
Tahun 1991, USAID menawarkan penelitian epidemologi dan kerentanan HIV/AIDS di lokalisasi Dolly, Surabaya. Esthi menyetujuinya. Penelitian itu sekaligus bertujuan menyosialisasi penggunaan kondom.
Tanpa diduga, Hotline Surya dibekukan pada 2000 sehingga Esthi nyaris berhenti sebagai aktivis. Namun, ketika Kedutaan Australia, yang waktu itu mengucurkan dana, meminta Esthi melanjutkan pencegahan HIV/AIDS, kariernya sebagai aktivis semakin tegas. Hotline menjadi lembaga swadaya masyarakat sepenuhnya.
“Waktu itu saya juga berada di persimpangan, kalau memang harus berhenti, saya berhenti. Tetapi ternyata Tuhan mempunyai rencana,” katanya.
Memang tidak mudah karena sosialisasi penggunaan kondom tahun 2000 itu seperti menghadang tembok. Satu-satunya jalan untuk mengurangi para pekerja seks dari kerentanan penyakit HIV/AIDS adalah payung hukum, peraturan daerah. Pemerintah jelas menolak menyosialisasi penggunaan kondom karena khawatir dinilai melegalisasi pelacuran.
Usulan Esthi soal payung hukum itu baru diterima tahun 2004. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jatim diterbitkan. Perda itu menjadi percontohan dan diikuti 100 kabupaten/kota lain serta tujuh provinsi. Esthi pun mendapatkan penghargaan Surabaya Academy Award sebagai warga teladan.
“Penghargaan dan tulisan media semakin mengafirmasi pekerjaan saya sehingga bisa melewati setiap titik berhenti dan terus berjuang. Sekarang saya lebih menekankan efektivitas perda itu,” ujarnya.
Klinik sederhana
Pembaruan menjadi salah satu kunci dalam upaya pendampingan bagi pengidap HIV/AIDS. Dia menawarkan metode penyembuhan krisis mental orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan fotografi serta merajut. Metode penyembuhan melalui fotografi sudah dimulai dengan melibatkan dua fotografer profesional untuk mengajar beberapa ODHA.
“Untuk masalah psikologis, saya dan beberapa konselor langsung menangani pasien,” ujar Esthi.
Sementara kepedulian dia terhadap perempuan miskin didorong minimnya pengetahuan mereka untuk berobat. Persoalannya, banyak ibu rumah tangga miskin yang terkena infeksi saluran reproduksi, tetapi pengobatan mereka sering kali hanya menggunakan ramuan tradisional.
Oleh karena itu, mulai 2003, Hotline mendirikan klinik dengan laboratorium sederhana. Klinik ini membantu Hotline bekerja berdasarkan fakta lapangan.
“Memang tak mudah mempertahankan klinik yang juga merupakan perlindungan perempuan untuk tetap sehat,” ujarnya.
Bantuan dana hanya sampai tahun 2005 dan Esthi harus memikirkan berbagai cara untuk membiayai operasional klinik serta perlindungan untuk pengidap HIV/AIDS, seperti membuat kalender dengan karya foto dari ODHA.
“Kami berusaha bertahan, dan harus bisa,” ujarnya.
Sepanjang hidup, kata Esthi, yang lahir dari keluarga pedagang sepatu di Salatiga, adalah perlawanan. Dia terlahir di keluarga keturunan Tionghoa berstatus warga negara asing (WNA). Akibatnya, ia menghadapi diskriminasi untuk melanjutkan pendidikan selepas SMA. Biaya kuliah untuk WNA setidaknya Rp 1 juta, sedangkan untuk warga biasa (pribumi) hanya Rp 2.000–Rp 3.000. Dia juga harus mengurus sendiri izin sekolah dari Departemen Pendidikan di Jakarta.
Oleh karena selalu menjadi juara ketika SMA, ibunya mengizinkan Esthi melanjutkan sekolah di Universitas Satya Wacana, Salatiga, jurusan Bimbingan Konseling.
Semasa kuliah, salah satu aktivitasnya adalah mengikuti kelompok diskusi dan pers mahasiswa bersama Arief Budiman. Selepas kuliah, salah satu dosennya mengajak Esthi memperbaiki pendidikan di SMA Petra 2, Surabaya. Enam tahun dia menjadi guru Bimbingan dan Konseling, sebelum menjadi konselor dan Direktur Hotline Surya.
Perlawanan kembali dilakukan karena pilihannya menjadi aktivis ditentang keluarga yang semua memilih karier profesional. Dukungan baru mengalir setelah Esthi mendapatkan pengakuan masyarakat atas aktivitasnya yang konsisten. e-ti
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Maret 2010 | Penulis: Nina Susilo dan Fabiola Ponto