Dinista Melahap Manusia dan Binatang Hidup-hidup

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (3)

0
84
Sangkakala Holy War: Steven Runciman, sejarawan Perang Salib yang paling terkenal dan paling berpengaruh pada abad ke-20, dengan kecewa mengutuk seluruh Perang Suci dan Perang Salib sebagai ‘satu tindakan intoleransi panjang dalam nama Tuhan yang merupakan dosa terhadap Roh Kudus’. Tyerman, Christopher, 2004: Fighting for Christendom, Holy War and The Crusades, p.14. Foto: Ilustrasi Hita Batak.
Lama Membaca: 4 menit

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (3)

Alasan Nommensen untuk mendesak kolonial Belanda mengerahkan militer dan segera menganeksasi Tanah Batak Merdeka antara lain untuk melindungi para misionaris yang terancam dibunuh dan dimakan serta untuk mendahului misi Islam dan Katolik. Alasan ini sesungguhnya sangat sumir, bahkan menyesatkan, karena dari catatan sejarah kronologis misi di Tanah Batak sebelum Belanda menganeksasi Silindung, para misionaris, termasuk Nommensen, sudah berhasil mengabarkan Injil di kawasan itu.

Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

Demikian pula di hampir semua tempat, antara lain: Gustav Pilgram di Balige, Johannes Warneck di Nainggolan Samosir, Puse di Palipi, Willhelm Herling di Doloksanggul, juga di Uluan, semuanya membuka pos misi itu sebelum daerah itu dikuasai Belanda. Adalah kenyataan di banyak tempat di Tanah Batak Merdeka, para misionaris selalu lebih dulu membuka pos misi atas permintaan Raja-raja setempat yang kemudian setelah itu disusul aneksasi kolonial Belanda. Hampir di semua Bius dan Huta, Raja-raja menyambut para misionaris dan memang diwarnai dengan dialog dan perdebatan khas Batak.

Kisah Puse di Pangururan sangat penting sebagai salah suatu pembuka pikiran dari ketersesatan informasi tentang sikap SSM atas misi. Pada November 1896, Puse melanjutkan perjalanan sampai ke Pangururan, yang dinarasikan oleh Coolsma, tanah genting, di kaki Gunung Pasuk-Bukit; Di hutan belakang gunung itu, sekarang Raja Singa Mangaraja berada. Püse disambut dan diterima oleh penduduk Pangururan dengan antusiasme yang tulus. Para kepala suku menyatakan diri mereka bersedia menerima dan melindunginya sebagai misionaris mereka, asalkan ia bersedia menemui SSM untuk memperoleh izin. Pertanyaannya, tulis Coolsma, adalah: bagaimana cara mendapatkan izin Singa Mangaraja? Timbul keraguan kuat apakah izin itu akan pernah diberikan.[1]  Puse menghindar untuk tidak menemui SSM. Dalam kata lain: Misionaris Menolak Menemui SSM. Kendati para Raja Huta sudah menyarankannya untuk bertemu dengan SSM setelah para raja menyambutnya dengan tulus dan hangat.

Jan Willem Gunning (1914) dalam Hedendaagsche zending in onze Oost mengakui: “Penyambutannya sangat ramah dan keinginan untuk belajar sangat besar di mana-mana, bahkan di kalangan yang terhormat. Banyak yang sekaligus membuang berhala-berhala mereka, dan bahkan di antara para kepala suku yang lebih tua ada yang bergabung dengan para misionaris.” Walaupun kemudian dilanjutkan dengan informasi menyesatkan dan penistaan: “Si Singamangaraja, yang melarikan diri pada tahun 1878, melihat semuanya dengan penyesalan dan kembali mengumpulkan parajuritnya. Segala macam rumor beredar. Dikatakan bahwa dia sedang mendekat dengan pasukan raksasa yang melahap manusia dan binatang hidup-hidup.”[2]

Bayangkan, Si Singamangaraja dan pasukannya disebut melahap manusia dan binatang hidup-hidup. Penistaan dan pemutarbalikan fakta sejarah terus dilakukan kolonial Belanda dan jaringannya. Salah satu contoh lagi, Ph.C.A.J. Quanjer, (1933) dalam Land en Volk van Nederlandsch-Indië, menarasikan begini: “The Rheinische Missionsgesellschaft (Rijnsche Zending) di Barmen, yang memulai aktivitasnya pada bulan Oktober 1861, memiliki jasa besar untuk Kristenisasi Batak. Kesulitan besar dihadapi oleh tindakan pendeta-raja Batak Si Singa Maharaja (1883), yang meletakkan dua misi di Danau Toba menjadi abu dan membakar Gereja Sipoholon. Sejak saat itu Pemerintah turun tangan.”[3]

Pernyataan seperti ini sangat masif (hal di atas hanya sebagai contoh). Perlu digarisbawahi, pemutarbalikan fakta sejarahnya, antara lain: “Sejak saat itu Pemerintah turun tangan.” Sangat disayangkan, apabila orang Batak pun, terutama para pendeta, ikut-ikutan menarasikan hal yang sama. Padahal faktanya tidak demikian. Faktanya, berbagai pos misi telah dibuka sebelum penjajah mengerahkan pasukan militer dan menganeksasi Tanah Batak. Namun Nommensen dan misionaris lainnya kemudian memilih mendorong kolonial Belanda menganeksasi Tanah Batak yang dipandang menjadi kekuatan paling ampuh untuk mempermudah pengkristenan orang-orang Batak. Dengan pilihan ini, Nommensen pun di mata orang Batak yang sudah dikristenkan maupun orang Batak lainnya, menjadi lebih berwibawa dan berkuasa, dimana dia sering bertindak seolah sebagai Residen.[4] Sehingga saat itu, dia tidak hanya dihormati tetapi juga sangat ditakuti orang Batak.

J.W. Gunning (1912) dalam De Invloed der Zending op Maatschappelijke Toestanden  menarasikan alasan misionaris mendesak kolonial Belanda menjajah Tanah Batak Merdeka, demikian: “Ketika misionaris Rheinische Missionsgesellschaft memulai pekerjaan mereka di Tanah Batak Sumatera yang saat itu masih merdeka pada tahun 1861, mereka menemukan kondisi di sana yang tidak jauh berbeda dengan yang ada di Papua. Transisi massa, oleh karena itu, tidak terjadi di sana sampai Pemerintah turun tangan dan mengakhiri pertempuran terus-menerus. Namun, tindakan Pemerintah ini telah sangat difasilitasi oleh pekerjaan para misionaris sebelumnya. Mereka telah mengumpulkan di sekitar mereka sekelompok kecil orang beriman, yang, di tengah-tengah penganiayaan yang sering kali bersifat sangat parah yang mereka alami dari rekan-rekan kafir mereka, tetap setia pada pengakuan Kristen mereka, dan menghiasinya dengan cara hidup yang saleh. Justru merekalah yang membangkitkan keinginan untuk kondisi yang lebih baik di kalangan yang lebih luas, dan Pemerintah memenuhi keinginan itu.”[5]

Walaupun pilihan misionaris tersebut mempunyai konsekuensi dalam proses penginjilan di Tanah Batak. Banyak orang Batak mendaftar untuk dibabtis menjadi Kristen karena ketakutan dan berharap mendapat perlindungan dari misionaris, terutama Nommensen. Dinista dan ketakutan sebelum dibabtis! Sebagaimana dikemukakan Nommensen sendiri bahwa: “sudah banyak yang mendaftar mau menjadi Kristen, kian hari kian banyak, namun berapa di antaranya yang bersungguh-sungguh hanya akan diketahui di kemudian hari. Banyak yang datang karena mereka kira kami akan membantu mereka sebagai penengah dalam perkara pengadilan.”[6] Suatu proses pengkristen yang sarat kepentingan praktis duniawi, yang secara konstan berlangsung dalam siklus waktu perjalanan Kristen Batak pada tahun-tahun berikutnya, bahkan berdampak hingga hari ini.

Dalam kaitan sikap para misionaris RMG, terutama Nommensen tersebut, maka tidak berlebihan saat H. Kluin (1924) dalam bukunya Het Geestesleven der Natuurvolken memberi catatan (Aanteekeningen), mencela (mengoreksi) Rijnsche Zending di Tanah Batak karena mengikuti metode yang ditantang (menyinggung dan menyimpang). “Setiap orang kafir dianggap sebagai anggota, yang hanya agak dapat diterima, mengandalkannya dengan penebalan lapisan tipis Kristen yang mengerikan yang telah dioleskan padanya, ketika dia pernah dikendalikan dengan baik ke dalam kandang domba. Mereka tidak berada di bawah ilusi bahwa pembaptisan, apalagi selama satu tahun atau lebih pendidikan, akan tiba-tiba mengubah orang Batak menjadi orang Barat yang kecokelatan.”[7]

Para misionaris sering menista budaya dan kepercayaan leluhur Batak, di mana Si Singamangaraja sebagai personifikasinya, serta dituduh memusuhi misi Kristen bersekongkol dengan tentara Stambul (Turki), Aceh dan Minang untuk mengislamkan Tanah Batak merdeka.[8] Sebuah narasi ala cendekiawan korup (Freemasonry korup), sadar atau tidak.

Advertisement

Bersambung || Sebelunnya.

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy, Jilid 3 Bab 11.3.1. Hlm. 1937-1940.

 

Footnotes:

[1] Coolsma, S., 1901: bl.420..

[2] Gunning, Jan Willem, J.H.Zn E I. (Compiler), 1914: bl.190.

[3] Quanjer, Ph.C.A.J., 1933: Land en Volk van Nederlandsch-Indië; Zutphen: WJ. Thieme & Cie, b.266.

[4] Coolsma, S., 1901, bl.348.

[5] Gunning, J.W., 1912: De Invloed der Zending op Maatschappelijke Toestanden. De Protestantsche Zending, Een reeks Monographieën, Serie I No. 9. Baarn: Hollandia-Drukkeri, b.26-27 (390-391).

[6] BRMG (12) 1878: 381.

[7] Kluin, H., 1924 Het Geestesleven der Natuurvolken, bl.225.

[8] BRMG Desember 1878 (12), p. 361-381.

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments