Kontemplasi, Transformasi dan Kolaborasi Sosial

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (13)

0
60
Strategi Budaya Batak: Kontemplasi, Transformasi dan Kolaborasi Sosial; dengan meta-narative nilai-nilai luhur Batak. Ilustrasi The Batak Institute - Meta AI.
Lama Membaca: 4 menit

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (13)

Saatnya Hita Batak bangun bersama secara masif, melanjutkan apa yang telah dilakukan Hatopan Kristen Batak, Jong Bataks Bond dan lainnya, untuk mencegah orang asing (jahat) leluasa mendistorsi, memanipulasi dan memalsukan narasi nilai-nilai luhur Batak, yang pada gilirannya telah membunuh karakter Batak. Dengan menyalakan api narasi kontemplasi dan transformasi secara kolaboratif yang mungkin terasa panas membakar (menyepuh) sekaligus bercahaya sebagai pelita yang tak kunjung padam, menerangi jalan moral kehidupan baru.

Persis seperti dikatakan oleh E. L. Mascall, dari Gereja Kristus, Oxford, 5 Oktober 1960, dalam pengantar buku F. Temple Kingston (1961), mengutip M. Maritain yang mengatakan bahwa aktivitas utama iblis adalah melakukan di jalannya, yang bukan cara yang baik, apa yang tidak dilakukan oleh orang baik karena mereka sedang tidur.[1] Saatnya bangun dari tidur panjang dengan sikap menghalau iblis, tidak hanya sebagai pemeriksaan dan koreksi yang tajam atas gerakan disinformasi dan distorsi narasi pemalsuan nilai luhur Batak tersebut, melainkan lebih mengutamakan sikap dan tindak gerakan kolaborasi sosial yang luar biasa dalam narasi baru filsafat, sastra, seni, adat-budaya, sains, dan sebagainya, sebagai esai yang bermanfaat dan memuaskan (a salutary and astringent essay) dalam penerapan nilai-nilai asketis budaya luhur Batak yang berkepercayaan, (kini) sesuai keyakinan agama masing-masing.

Temple Kingston mengatakan para eksistensialis dengan mengikuti metode fenomenologis menunjukkan bahwa konsep rasional berada di jalan yang lebih rendah dari pengetahuan, lebih rendah daripada pengalaman inderawi, karena melalui pengalaman inderawilah diri menemukan indeks eksistensial dari dunia alami. Kelemahan eksistensialis non-Kristen adalah bahwa mereka mengakui pengalaman inderawi sebagai satu-satunya pemeriksaan terhadap konsep rasional. Di sisi lain, eksistensialis Kristen mengejar metode ketiga dan utama untuk pengetahuan yaitu kontemplasi. Mereka menegaskan bahwa hanya melalui perenungan seseorang memperoleh pendekatan yang sehat terhadap keberadaan dan eksistensi dan seseorang mulai memiliki pengetahuan yang valid tentang dunia ini. Absennya kontemplasi dalam filsafat sejak zaman Descartes-lah yang menandai kelemahan esensial dari semua epistemologi modern.[2]

Aristoteles (384-322 sM) menyebut, salah satu jalur garis kehidupan yang menonjol adalah kehidupan kontemplasi dalam kodratnya sebagai manusia yang di dalam dirinya ada Prinsip Ilahi. Menurutnya, bentuk kehidupan yang paling tinggi dan paling memuaskan bagi manusia adalah ”kehidupan kontemplatif”. Kontemplasi itu melahirkan karya agung dalam skala besar. Keunggulan suatu kepemilikan dan suatu karya tidaklah sama: sebagai suatu benda paling berharga dan paling bernilai, misalnya emas; tetapi karena perenungan terhadap objek seperti itu sebagai sebuah karya yang agung dan indah, menjadikannya lebih mengagumkan dan agung. Jadi keunggulan sebuah karya adalah Magnificence (keindahan dan kemegahan) dalam skala besar.[3]

Aristoteles mengatakan, kerja intelektual, yang cocok untuk kontemplasi, dianggap unggul dalam kesungguhan, dan tidak bertujuan untuk Akhir (End) di luar dirinya, dan memiliki Kenikmatan sendiri yang membantu meningkatkan Kerja (Karya); dan jika atribut Kecukupan Diri (Self-Sufficiency), dan kapasitas istirahat, dan tidak lelah (sejauh kompatibel dengan kelemahan sifat manusia), dan semua atribut lain dari Kebahagiaan tertinggi (highest Happiness), jelas milik Pekerjaan  (Karya), ini pasti Kebahagiaan yang sempurna, jika mencapai durasi hidup yang lengkap; kondisi mana yang ditambahkan karena tidak ada poin Kebahagiaan yang tidak lengkap.
Kehidupan seperti itu akan lebih tinggi daripada kodrat manusia belaka (biasa), karena manusia yang hidup demikian, tidak hanya sejauh dia adalah manusia, tetapi sejauh dalam dirinya ada Prinsip ilahi: dan sebanding dengan Prinsip ini dia mengungguli jenis keunggulan lainnya. Oleh karena itu, jika intelek murni, dibandingkan dengan kodrad manusia adalah ilahi, maka demikian pula kehidupan yang sesuai dengannya akan menjadi ilahi dibandingkan dengan kehidupan manusia biasa.[4]

Salah satu sumbangan terbesar Gabriel Marcel untuk filsafat, di zaman ketika penyalahgunaan akal budi telah membuat dunia tampak begitu terpotong-potong dan kering, adalah presentasinya tentang kebenaran bahwa dunia dan kehidupan itu sendiri masih penuh misteri. Dalam membuka misteri kehidupan, dia telah menemukan kembali kontemplasi, sebuah metode yang sebenarnya telah hilang dalam filsafat sejak abad keenam belas. Epistemologi telah menjadi masalah yang paling mendesak dari filsafat modern justru karena cara empiris dan rasional yang diakui para filsuf pada dasarnya tidak memadai untuk pekerjaan yang ada di tangan. Marcel dengan jelas menunjukkan bahwa hanya melalui kontemplasi kita dapat mencapai pemahaman yang valid tentang realitas.[5]

Innocentius M. Bockenski (1961) dalam Contemporary European Philosophy (Filsafat Eropa Kontemporer), menegaskan betapa pentingnya berpikir strategis secara filosofis dalam kerangka agama dan filsafat. “Karena jika sains dan kebijaksanaan terbatas pada aspek teknis dan praktisnya, orang hanya perlu tahu bagaimana melakukan ini atau itu. Tetapi pertanyaan mengapa muncul sebelum pertanyaan bagaimana, dan jawabannya pada akhirnya dapat ditemukan baik dalam agama maupun filsafat. Juga tidak cukup menjawab bahwa akal sehat manusia sudah cukup, karena sejarah sering menunjukkan apa yang disebut akal sehat tidak lebih dari sisa spekulasi filosofis sebelumnya. Sebagai hewan yang rasional, manusia tidak memiliki pilihan untuk menggunakan nalar, sehingga jika ia tidak menggunakannya secara sadar dan filosofis ia akan menggunakannya secara tidak sadar dan dangkal.”[6]

Itulah pandangan para filsuf tentang sikap, interpretasi dan kontemplasi terhadap eksistensi dan realitas serta pentingnya berpikir filosofis. Lebih khusus perihal kontemplasi, dalam KBBI diartikan, n renungan dan sebagainya dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh; berkontemplasi, v merenung dan berpikir dengan sepenuh perhatian.[7] Secara etimologi, kata kontemplasi berasal dari kata Latin contemplatio, dari kata templum, sebidang tanah yang dikuduskan untuk digunakan sebagai tempat penolong, atau bangunan untuk peribadahan. Dalam kehidupan intelek, kontemplasi mengacu pada pemikiran mendalam tentang sesuatu; dalam kehidupan religius kontemplasi adalah sejenis penglihatan atau penglihatan batin, transenden dari intelek, difasilitasi melalui praktik-praktik seperti doa atau meditasi. Dalam agama Kristen Timur, kontemplasi (theoria) secara harfiah berarti melihat Tuhan atau memiliki Visi Tuhan. Keadaan memandang Tuhan, atau kesatuan dengan Tuhan, dikenal sebagai theoria. Dalam agama Kristen, kontemplasi mengacu pada pikiran tanpa konten yang diarahkan pada kesadaran akan Tuhan sebagai realitas yang hidup. Dalam tradisi Islam, dikatakan bahwa Muhammad akan pergi ke padang gurun, mendaki gunung yang dikenal sebagai Gunung Hira, dan mengasingkan diri dari dunia. Saat di gunung, dia akan merenungkan kehidupan dan maknanya.[8]

 

Sebelumnya 12 || Bersambung 14

Advertisement

Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

 

Footnotes:

 

[1] Kingston, F. Temple, 1961: p.viii.

[2] Kingston, F. Temple, 1961: p.194-195.

[3] Aristotle (384-322 sM), 1911, The Ethics of Aristotle. Introduction by J. A. Smith, M.A.; Translated by D. P. Chase. London: J. M. Dent & Sons Ltd.; New York: E. P. Dutton & Co. Inc., p. xxiii, 6, 81-82.

[4] Aristotle (384-322 sM), 1911, The Ethics of Aristotle, p. 251

[5] Kingston, F. Temple, 1961: p.203.

[6] Bockenski, Innocentius M., 1961: Contemporary European Philosophy; Translated from the German by Donald Nicholl and Karl Aschenbrenner, Third Printing; Berkeley and Los Angeles: University of California Press, p.vii.

[7] KBBI, 2008: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Departemen Pendidikan Nasional; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, h.728-729.

[8] Contemplation; https://en.wikipedia.org/wiki/Contemplation.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments