Seandainya Si Singamangaraja Menjadi Kristen

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (7)

0
41
Seandainya Si Singamangaraja menjadi seorang Kristen, ia akan menjadi orang suci (malim) yang hebat. Ilustrasi TokohIndonesia.com - Meta Ai
Lama Membaca: 4 menit

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (7)

Dengan penuh pertimbangan dan kedalaman suara hati, merujuk (komparasi) studi Friedrich Heiler (1986)[1] bahwa: Seandainya Si Singamangaraja menjadi seorang Kristen, ia akan menjadi orang suci (malim) yang hebat. Tuhan Yesus Kristus, yang begitu baik dan tulus akan menjadi hidupnya. Karena Si Singamangaraja adalah Raja Malim atau Raja Imam Batak (Priesterkoning der Bataks) yang memiliki karakter religiusitas di atas rata-rata orang Batak. Raja Imam legendaris yang dipanut orang Batak dan merupakan personifikasi Batak (singa ni uhum dohot adat), yang secara rohani, berinteraksi sangat dekat dengan Ilahi. Sayang sekali, Si Singamangaraja dijauhkan oleh para misionaris, khususnya Nommensen, dari Injil, yang tercederai (kelam) dengan pilihan perang sucinya dan kolaborasi dengan kekejaman kolonial.

Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

Setelah wafatnya Si Singamangaraja XII, J.H. Meerwaldt (1908) dalam De Laatste Singamangaradja, menyebut: “Seseorang hampir tidak bisa tidak menatap akhir tragis itu dengan melankolis di hati. Bagaimana kita akan bersuka­cita jika Singamangaraja akhirnya meletakkan kepalanya di pangkuanNya dan memeluk agama Kristen. Sayangnya, itu telah pergi darinya seperti Firaun Mesir pada saat eksodus umat Allah. Apakah Allah juga akan membangkitkan dia, agar dia menunjukkan kuasaNya kepadanya, dan agar namaNya diberitakan di seluruh bumi? Bisa saja, tapi saya tidak mau menghakimi. Namun, satu hal yang pasti bagi saya: semua ini hanya dilakukan di bawah bimbingan Tuhan dan, sebagaimana Firman Allah dalam Yesaya 55:8-9.[2]

Nama besar Tuhan juga dimuliakan pada Singamangaraja terakhir. Semua orang melihat bahwa siapa yang dapat melihat dan ingin melihat. Sampai akhir penentangannya hanya bekerja sama dalam membuka pintu-pintu baru bagi jalan kemenangan Injil di Tanah Batak. Dia terbunuh di benteng terakhirnya, yang sekarang juga terbuka untuk pekerjaan misionaris. ……… Tentunya kita memiliki penghiburan yang kuat sebagai balasannya, bahwa Tuhan kita lebih kuat dari semua benteng Setan, dan cukup kuat untuk membuat mereka jatuh seperti dalam sekejap mata. Namun pengetahuan tentang medan itu juga menasihati kita untuk mulai bekerja dengan segenap kesungguhan, agar benteng-benteng itu dapat diserbu, dan jiwa-jiwa manusia, yang terpaku dalam belenggu dosa, dapat dibebaskan dan dibawa ke kaki Yesus. Karena itu, janganlah seorang pun lambat dalam ketekunan, tetapi setiap orang bersemangat dalam roh!”[3]

Sebuah narasi religius yang memaknai perang Batak sebagai perang suci (perang yang adil) sebagai rancangan dan jalanNya Tuhan. Akan sangat jauh berbeda pemaknaannya, jika Yesaya 55:8-9 itu dipahami dalam paradigma Injil: Rancangan dan jalan pasifis anak domba di antara serigala; yang sama sekali tidak menolerir kekerasan dan perang atas nama dan kehendak Tuhan apa pun tujuan baiknya; Apalalagi untuk tujuan (kolaborasi) penjajahan (dunia kegelapan). Sebagaimana dinarasikan gamblang oleh Dr. Solf dalam Reichstag: “Kolonisieren ist Missionieren” umkehren in “Missionieren ist Kolonisieren” (“Kolonisasi adalah Misi” sebaliknya “Misi adalah Kolonisasi”.[4] Dalam konteks ini, mereka pandang, perlindungan terbaik bagi para misionaris adalah ketakutan orang-orang Batak terhadap kekerasan kolonial Belanda, seperti ketakutan orang-orang India terhadap kekerasan kolonial Inggris.[5]

Namun di sisi lain — selaras perspektif amsal klasik Batak “Suhar di bagasan roha, alai manghorhon tu na dengan” (Berlawanan dalam hati, tapi berdampak kebaikan) — itulah Jalan Salib Batak, Dinista Sebelum Dibabtis.

Jalan Salib Batak

Dinista sebelum dibaptis. Terekspresikan di nisan salib marmer makam Munson dan Lyman yang diukir oleh para misionaris (1913) dengan kata-kata yang sangat sensasional dalam bahasa Jerman:

1660 Jalan Salib Batak

“Di sini beristirahat sisa tulang-belulang dua misionaris Amerika, Munson dan Lyman, dibunuh dan dilahap pada tahun 1834”. (Tanpa bukti dan saksi mata terpercaya). Bagi orang Batak Kristen, Munson dan Lyman adalah gambaran Martir Kristus, yang pada masa tertentu telah dijadikan dan dirayakan pi­hak-pihak berkepentingan (baik politik kekuasaan maupun heroisme kristenisasi); ‘heiliger krieg dan penistaan berdampak baik’ dengan menempat­kan orang Batak pada posisi titik nadir peradaban manusia terendah sejagat: Kanibalis paling biadab! Orang Batak terpelongo, terhenyak dan membisu pasrah, kendati ternista sebelum dibaptis! Tapi, itulah Jalan Keselamatan atas kehendak Tuhan yang tidak terduga oleh siapa pun. Sebab Tuhan-lah yang memilih orang Batak sejak semula dengan lebih dulu mencurahkan darah Munson-Lyman sebagai Benih Penyaliban; JALAN SALIB, yang harus dipikul orang-orang Batak sendiri, sebelum mereka menerima Kabar Baik, di mana mereka lebih dulu ditempatkan pada posisi titik nadir kemanusiaan terendah, sebagai manusia terbiadab sejagat di mata manusia lain, termasuk di mata para misionaris; Di mana Tuhan memilih jalan-Nya sendiri pada waktu yang ditentukan-Nya: Mencurahkan Anugerah KESELAMATAN, bukan atas kehendak orang Batak sendiri atau kehendak siapa pun, baik itu misionaris, pendeta apalagi kompeni, melainkan semata-mata atas pilihan dan kehendak Debata Jahoba (Yahwe) sendiri.

Namun syukur, sepatutnya orang Batak berterimakasih dan memberi penghormatan, baik kepada kolonialis Belanda apalagi kepada misionaris, termasuk memberi gelar Ompu i sebagai penghormatan tertinggi sebagai Raja Imam Batak. Walaupun secara rohani para misionaris itu belum tentu mengharapkannya, karena perihal anugerah keselamatan itu, tak seorang pun berhak memegahkan diri dengan menerima penghormatan apalagi pengultusan, karena hal itu akan menjadi batu sandungan baginya.

Bagi orang Batak Kristen, selain berterimakasih, sayang sekali apabila tidak mengamininya dalam persekutuan Roh Kudus, yang teraplikasi dalam kecerdasan iman, karakter, cara berpikir, sikap dan tindak atau behaviour kerendahhatian dan kebersahajaan kasih Salib; Jalan Salib Batak Pilihan Allah. Horas tondi madingin, pir tondi matogu! Amen.

Advertisement

Bersambung || Sebelumnya

 

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy, Jilid 3 Bab 11.3.1. Hlm. 1947-1948.

 

Footnotes:

[1] Heiler, Friedrich, 1986: p.190.

[2] Yesaya 55: 8-9: 55:8 Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.

[3] Meerwaldt, J.H., 1908: De Laatste Singamangaradja; in de Rijnsche Zending; Tijdschrift, jrg. 39, 1908; Uitgegeven door de Vereeniging tot bevordering der belangen van het Rijnsche Zendinggenootschap te Barmen; Onder Redactie van J. H. Meerwaldt, C. J. H. Verweijs en P. Van Wijk Jr. Amsterdam: H. C. Thomsen, bl.130-131.

[4] Paczensky, Gert von, 1991 (2000): Verbrechen im Namen Christi Mission und Kolonialismus, München: Orbis Verlag. s.224.

[5] Paczensky, Gert von, 1991 (2000): s.224.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments