Jalan Menuju Swasembada, Hentikan Impor Beras

 
0
24
Majalah Berita Indonesia Edisi 94
Majalah Berita Indonesia Edisi 94 - Jalan Menuju Swasembada, Hentikan Impor Beras

VISI BERITA (Mencari Pimpinan KPK Setengah Malaikat, April 2015) – Indonesia mencari orang yang extraordinary, luar biasa, setengah malaikat, untuk memimpin KPK. Orang berintegritas moral tinggi, bersih, jujur, cakap, berani, tegas, dan memiliki reputasi yang baik; Berkomitmen memberantas korupsi, bergaya hidup sederhana (bersahaja), tidak memiliki cacat di masa lalu, sudah selesai dengan kepentingan diri sendiri, dan berani (siap) mati (berkorban) demi bangsa dan negara. Negarawan setengah malaikat!

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 94 | Basic HTML

Salah satu aspirasi rakyat pada gerakan reformasi 1998 adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Aspirasi itu direspon Pemerintah dan MPR/DPR dengan menetapkan Tap MPR dan beberapa UU tentang pemberantasan korupsi, di antaranya UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK dibentuk untuk memberantas korupsi yang sudah semakin sistematis, merajalela, dan telah memelaratkan rakyat, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal mana Kepolisian dan Kejaksaan terbukti tidak sanggup memberantasnya secara optimal. Maka, kepada KPK diberikan kewenangan (kekuasaan) yang luar biasa (extraordinary measures) untuk menegakkan hukum pemberantasan kejahatan korupsi yang luar biasa itu.

Pemberian kewenangan luar biasa kepada KPK yang nyaris tanpa pengawasan (independen) itu, tentu mengharuskan persyaratan layak tidaknya seseorang menjadi Pimpinan (Komisioner) KPK juga mesti luar biasa. Hal ini untuk mencegah terjadinya abuse of power dan abuse of institution oleh oknum Pimpinan KPK itu. Yang jika terjadi, tidak hanya akan justru menghambat upaya pemberantasan korupsi (kepentingan umum) melainkan juga berpotensi merampas hak-hak asasi manusia (individu).

Kejadian yang menimpa KPK Jilid II dan (terutama) KPK Jilid III sangat berharga dijadikan sebagai pembelajaran. Jangan lagi ada Pimpinan KPK yang terpaksa diberhentikan (sementara) karena tersangkut pelanggaran hukum (kini dan masa lalu) dan pelanggaran etika-moral. Seperti yang dialami Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, dan Chandra Hamzah (KPK Jilid II); serta yang baru saja dialami Abraham Samad dan Bambang Widjojanto (KPK Jilid III). Cacat masa lalu dan pelanggaran kode etik KPK telah menjerumuskan mereka ke dalam lembah ‘kriminalisasi’ yang memaksa Presiden memberhentikan sementara mereka dan mengeluarkan Perpu guna mengangkat Pelaksana Tugas menggantikannya.

Apalagi kesalahan (jika terbukti benar) Abraham Samad (Ketua KPK), yang diduga telah melakukan abuse of power dan abuse of institution untuk kepentingan politik pribadinya. Bagi seorang yang dipercaya menjabat Ketua KPK, tentu hal ini adalah kejahatan luar biasa, yang amat sangat tidak patut.

Secara internal, Pimpinan KPK terdahulu (Jilid I) sesungguhnya sudah sangat menyadari hal ini. Sehingga mereka mengeluarkan Keputusan Pimpinan KPK No. Kep-06/P.KPK/02/2004 Tentang Kode Etik Pimpinan KPK. Kode Etik KPK itu diawali dengan kalimat (kesadaran) bahwa kewenangan luar biasa yang dimiliki oleh pimpinan KPK mengalir dari kewenangan KPK dan kewenangan yang melekat dalam jabatannya selaku pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam UU No.30 Tahun 2002.

Sehingga mereka membuat Kode Etik Pimpinan KPK sebagai norma yang harus dilakukan oleh Pimpinan KPK dalam menjalani kehidupan pribadinya, dan dalam mengelola organisasi KPK. Kode Etik itu mengatur rinci perihal asas dan nilai-nilai dasar pribadi (basic individual values) yang mesti dianut Pimpinan KPK, dan sanksi yang akan dikenakan kepada yang melanggarnya.

Tapi, sangat disesalkan, tampaknya KPK Jilid II, terutama Jilid III, tidak mematuhinya lagi. Sehingga KPK terjerumus dan terjerembab ke lembah terlemah.

Advertisement

Di mana letak kesalahannya? Tentu banyak faktor. Tapi kali ini kita memfokuskan pada faktor awal, yakni proses seleksi dan pemilihan kelima pimpinan KPK itu. Bayangkan, seorang yang tiga kali ‘melamar’ layaknya pencari kerja terpilih jadi Ketua KPK, tanpa pernah teruji dalam jabatan publik, hanya karena seorang penggiat antikorupsi. Seorang ‘pembenci’ koruptor terpilih juga jadi Wakil Ketua KPK. Mereka kemudian diserahi wewenang menegakkan keadilan. Bagaimana keadilan bisa ditegakkan dengan kebencian?

Bagaimana Pemerintah (Pansel) dan DPR masih bisa terkesima mendengar teriakan populer seperti itu? Bukankah korupsi (kejahatan luar biasa) mestinya diberantas oleh penegak hukum luar biasa yang mumpuni menegakkan hukum yang berkeadilan, tanpa kebencian?

Seorang awam bisa saja menyatakan diri sebagai pembenci koruptor, tapi seorang penegak hukum (apalagi Pimpinan KPK) mestinya paham bahwa menghukum tersangka korupsi itu bukanlah dengan dalil kebencian, melainkan dalil hukum yang berkeadilan.

Maka kita berharap, Pansel dan DPR yang akan menyeleksi dan memilih Pimpinan KPK Jilid IV nanti kiranya bisa memilih orang-orang luar biasa, setengah malaikat, yang mumpuni dalam menegakkan hukum pemberantasan korupsi. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 94

Iklan

Salam Redaksi

Visi Berita

Visi Tokoh

Berita Terdepan

Berita Utama

Berita Politik

Berita Ekuin

Lapsus

Berita Tokoh

Lentera

Berita Khas

Berita Perempuan

Berita Kesehatan

Berita Humaniora

Berita Budaya

Berita Hiburan

Berita Buku

Berita Iptek

Berita Lingkungan

Berita Publik

Berita Kota

Berita Wisata

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini