Majalah Berita Indonesia Edisi 33
Majalah Berita Indonesia Edisi 33 - Krisis Konstitusi

VISI BERITA (Krisis Konstitusi, 15 Maret 2007) – Empat kali amandemen UUD 1945 merupakan karya monumental MPR, khususnya Dr. Amien Rais, doktor ilmu politik lulusan universitas terkemuka di Amerika. Amien memimpin MPR hasil Pemilu 1999 untuk masa jabatan sampai 2004.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 33 | Basic HTML

Amien berhasil memimpin sidang-sidang umum dan tahunan MPR dari 1999 sampai 2002 untuk menyelesaikan empat amandemen UUD 1945 yang saat ini memicu kontroversi dan polemik. Sejumlah tokoh tua negeri ini, menolak amandemen yang mereka nilai membuat sistem ketatanegaraan amburadul.

Sedangkan Dewan Konstituante yang dihasilkan oleh Pemilu pertama tahun 1955, tidak berhasil menciptakan konstitusi baru setelah bersidang hampir lima tahun. Maka terjadilah krisis konstitusi yang mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Langkah tersebut diambil Bung Karno atas dukungan dari partai-partai besar dan TNI. Bung Karno membubarkan DK semudah membalikkan telapak tangan, dan menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 yang hanya disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945.

Bung Karno sendiri yang pernah memimpin PPKI, menyebut UUD 1945 sebagai “Undang-Undang Dasar kilat.” Ia pernah berjanji: “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan MPR yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna.” Namun janji tersebut tidak pernah dipenuhi oleh Bung Karno.

Sebenarnya, pada era Bung Karno krisis konstitusi terjadi berulangkali. Krisis pertama Oktober 1945, akibat lahirnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tahun 1945 yang menunjuk KNIP menjadi badan legislatif sebelum terbentuknya MPR dan DPR. Namun KNIP memanfaatkan posisinya untuk mengubah haluan pemerintahan dari presidensil ke parlementer. Maka diangkatlah Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri untuk memimpin pemerintahan. Preseden ini merupakan penyimpangan pertama terhadap UUD 1945. Maka terjadilah tumpang tindih kekuasaan antara Presiden, Wakil Presiden dan Perdana Menteri.

Krisis konstitusi kedua boleh dibilang paling krusial. Dari tahun 1949 sampai 1950, berlaku konstitusi RIS. Pada kurun waktu tersebut, kedaulatan negara berada di tangan Republik Indonesia Serikat. Sedangkan NKRI hanyalah salah satu negara bagian RIS, tetapi tetap memberlakukan UUD 1945. Untung RIS tidak berumur panjang, bubar setelah PBB mengakui kemerdekaan Indonesia, tahun 1950. Kedaulatan dikembalikan kepada NKRI yang mampu bertahan berkat dukungan kuat dari rakyat dan TNI. Sedangkan negara-negara bagian lainnya, seperti Dewan Federal Borneo, Negara Madura, Negara Jawa Barat, Negara Pasundan, Negara Sumatra Timur dan Negara Jawa Timur, membubarkan diri dan bergabung ke dalam NKRI.

Dari tahun 1950 sampai Pemilu 1955, terjadi krisis konstitusi yang ketiga. NKRI memberlakukan UUD Sementara yang sangat liberal. Pemerintahan beralih ke sistem parlementer, dipimpin oleh Perdana Menteri yang ditunjuk partai-partai yang berkoalisi. Pemerintah jatuh bangun, sehingga dari tahun 1950 sampai keluarnya Dekrit 5 Juli 1959, pemerintahan silih berganti dipimpin oleh tujuh PM. Kegagalan DK menciptakan UUD baru pengganti UUDS, memicu krisis konstitusi keempat.

Pasca dekrit, pemerintahan kembali ke sistem presidensil. Namun preseden tahun 1945, diulangi lagi oleh Bung Karno. Ia tidak pernah melaksanakan Pemilu untuk membentuk MPR dan DPR. Bung Karno, ketika memimpin kabinet 100 menteri, mengangkat PM dan para Waperdam untuk membantunya menjalankan roda pemerintahan. Tetapi ia tidak berupaya mengisi jabatan Wapres yang lowong karena ditinggalkan oleh Hatta yang mengundurkan diri. Maka terjadilah krisis konstitusi kelima, karena ia memerintahkan MPRS yang dibentuknya untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden seumur hidup.

Belajar dari sejarah dan praktik Bung Karno yang jatuh dari kekuasaan tahun 1966, Soeharto, kemudian dikukuhkan oleh MPRS sebagai Presiden tahun 1967, menggelar Pemilu tahun 1971. Pemilu berikutnya digelar setiap lima tahun, disusul sidang umum MPR untuk menerima pertanggungjawaban Presiden dan mengesahkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pak Harto membentengi UUD 1945 dengan ketetapan-ketetapan MPR, untuk melaksanakannya secara murni dan konsekuen. UUD 1945 masih dibentengi dengan Tap MPR Nomor IV tahun 1983 tentang referendum. Dengan demikian, UUD 1945 hanya bisa diubah melalui referendum, yaitu dengan menanyakan langsung kepada rakyat, apakah mereka setuju atau tidak.

Advertisement

Namun Pak Harto tak mampu membendung krisis konstitusi keenam yang memaksanya mengundurkan diri dari jabatan Presiden, 21 Mei 1998. Pak Harto digantikan oleh Wakil Presiden Prof. B.J. Habibie yang ditolak dengan sengit oleh berbagai kelompok dan mahasiswa.

Habibie sukses menyelenggarakan Pemilu yang demokratis, membentuk MPR yang menggelar amandemen pertama terhadap UUD ’45. Namun krisis konstitusi ketujuh terjadi karena MPR menolak pertanggungjawaban Habibie, maka ia terjungkal dari pencalonan presiden oleh MPR hasil Pemilu yang digagasnya sendiri.

Krisis konstitusi kedelapan terjadi ketika MPR menggelar sidang istimewa tahun 2001 untuk memecat Presiden KH Abdurahman Wahid lantaran mengeluarkan dekrit yang membubarkan MPR, DPR dan Partai Golkar.

Tahun lalu pernah muncul desakan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945 yang asli setelah empat kali diamandemen. Satu hal yang harus diakui bahwa UUD ’45 hasil amandemen sangat melekat dengan kesan tambal sulam. Presiden sendiri mengeluhkan adanya tumpang tindih wewenang lembaga-lembaga negara yang menimbulkan konflik antar-lembaga dan pemborosan keuangan negara. Kelompok yang berseberangan menganggap desakan tersebut dan usulan agar MPR menggelar amandemen kelima sebagai agenda terselubung untuk meniadakan empat amandemen sebelumnya. Kita hanya berharap bahwa polemik dan usulan amandemen kelima tidak sampai melahirkan krisis konstitusi kesembilan. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 33

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Khas

Lentera

Berita Ekonomi

Berita Newsmaker

Berita Tokoh

Berita Nasional

Berita Budaya

Berita Politik

Berita Daerah

Berita Hukum

Berita Hankam

Berita Mancanegara

Lintas Tajuk

Lintas Media

Berita Iptek

Berita Feature

Berita Olahraga

Berita Kesehatan

Berita Media

Berita Resensi

Banjir Buku Bisnis di Toko Buku – Hal. 66

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini