Arah Reformasi Penegakan Hukum

 
0
228
Arah Reformasi Penegakan Hukum
Romli Atmasasmita | © TokohIndonesia.com | juka

[OPINI] – Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM | Saat ini iklim penegakan hukum tengah dilanda eforia reformasi yang mengunggulkan transparansi dan akuntabilitas publik kepada masyarakat luas tanpa menghiraukan masalah etika dan sopan santun, baik secara personal maupun secara institusional.

Yang penting reformasi diterjemahkan sebagai “serba terbuka” yang memiliki konotasi berbeda dengan “transparansi” karena yang terakhir harus dilandaskan pada aturan hukum. Tanpa aturan hukum itulah yang dimaksudkan dengan “serba terbuka”.

Fenomena negatif ini melanda bukan hanya pada lapisan masyarakat luas yang konon sebagian besar belum melek hukum akan tetapi telah menjangkiti lapisan birokrasi yang sangat mengetahui aturan hukum yang berlaku dan kode etik kelembagaan yang dimilikinya dan seharusnya ditaati.

Akibat dari kondisi serba tidak jelas batas-batas mana yang “transparan” dan mana yang “serba terbuka” serta mana yang beretika dan tidak sopan dan tidak santun, maka kondisi riel penegakan hukum tengah mengalami anomi dan distorsi aturan hukum yang patut dan tidak patut serta disusul dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik dan lembaga pemerintah yang semakin rendah.

Polling terakhir dalam satu harian nasional terhadap KPK, lembaga yang sejak awal pembentukannya sampai dengan periode Antasari, dikagumi dan memiliki rating tingkat kepercayaan yang tinggi dibandingkan dengan dua institusi penegak hukum lain, kini telah merosot jauh sejajar dengan dua institusi penegak hukum lainnnya.

Sudah bukan rahasia umum bahwa, pertama-tama yang meminta BPK mengusut dugaan korupsi di dalam bail out Bank Century adalah institusi KPK, bukan kepolisian atau kejaksaan atau anggota DPR. Kini setelah pansus DPR RI menyampaikan rekomendasi dengan Opsi C kepada pemerintah, bahkan KPK seolah tidak bergerak atau tidak melalukan langkah-langkah hukum pro-justisia terhadap hasil rekomendasi tersebut dengan alasan bahan dari pansus “belum layak” dijadikan bukti untuk KPK.

Kemerosotan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK disebabkan salah satunya karena lembaga ini telah “dipasung” oleh kasus bibit-chandra yang diikuti oleh penunjukkan Plt pimpinan melalui Perpu, yang kemudian bahkan ditolak DPR RI. Penanganan kasus Century, merupakan penyebab ketiga yang memicu rendahnya kepercayaan publik terhadap KPK.

Sudah bukan rahasia umum bahwa, pertama-tama yang meminta BPK mengusut dugaan korupsi di dalam bail out Bank Century adalah institusi KPK, bukan kepolisian atau kejaksaan atau anggota DPR. Kini setelah pansus DPR RI menyampaikan rekomendasi dengan Opsi C kepada pemerintah, bahkan KPK seolah tidak bergerak atau tidak melalukan langkah-langkah hukum pro-justisia terhadap hasil rekomendasi tersebut dengan alasan bahan dari pansus “belum layak” dijadikan bukti untuk KPK.

Hal ini sangat disesalkan karena salah tugas KPK berdasarkan UU KPK dan UU Pemberantasan Korupsi Tahun 1999 adalah, menerima dan menidaklanjuti laporan masyarakat tentang dugaan korupsi yang dalam banyak kasus korupsi, KPK telah berhasil menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut dengan sigap. Apalagi terhadap suatu rekomendasi dari Pansus DPR yang dibentuk secara konstitusional seharusnya pimpinan KPK (sekalipun sisa empat orang) telah dapat menemukan dugaan bukti permulaan yang cukup untuk segera menindaklanjuti rekomendasi DPR RI secara pro-justisia.

Dilema penegakan hukum yang kini tengah dialami adalah disebabkan arus kuat tekanan publik dan pers telah mengalahkan ketahanan birokrasi dan penegak hukum di dalam meyakinkan masyarakat luas tentang keabsahan dan kebenaran langkah hukum yang telah dilakukannya dalam berbagai kasus terutama kasus korupsi.

Advertisement

Kondisi serba tidak percaya diri di dalam menangani perkara yang menarik perhatian masyarakat luas yang melanda penegak hukum merupakan pertanda buruk di dalam menjaga tegaknya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan di dalam suatu negara hukum. Hal ini disebabkan pada akhirnya lembaga penegak hukum hanya menjadi “perantara” keinginan publik untuk menghukum atau tidak menghukum seseorang yang diduga terlibat dalam perkara pidana.

(I)mparsialitas, (I)ntegritas, dan (A)kuntabilitas pejabat publik khususnya lembaga penegak hukum merupakan conditio sine qua non terhadap tinggi rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga dimaksud. IIA ini hanya dapat dengan tegak dijalankan jika tidak ada intervensi dari siapa pun dan dari lembaga mana pun, juga jika pimpinan lembaga penegak hukum dapat mengatasi intervensi tersebut.

Arah Reformasi Birokrasi

Melihat kondisi dilematis dalam penegakan hukum, kiranya patut kita pertanyakan mengenai arah reformasi birokrasi di dalam tubuh lembaga penegakan hukum saat ini. Di dalam menghadapi kondisi riel penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi dewasa ini, tampak pemerintah kehilangan arah reformasi di bidang penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi.

Pertanyaan ini mengandung implikasi: politik hukum apakah dan yang bagaimanakah yang hendak dijalankan pemerintah di dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.

Politik hukum pidana bertolak dari doktrin membedakan antara politik hukum mewujudkan keadilan retributif, keadilan distributif, keadilan komutatif atau keadilan restoratif. Model keadilan terakhir mengutamakan rekonsiliasi dan menghindarkan persengketaan yang lebih mendahulukan konflik antara para pihak yang berperkara atau antara lembaga penegak hukum sebagai wakil negara dengan warga negara.

Ataukah pemerintah memiliki komitmen sungguh-sungguh untuk menegakkan hukum versi ajaran Kelsen yang menafikan kepentingan moral dan kesusilaan dalam penegakan hukum, kecuali hanya semata-mata bersumber pada hukum yang lebih tinggi yang dijadikan dasar penegakan hukum. Jika ajaran ini yang akan diikuti maka konsekuensi logis bagi aparat penegak hukum adalah hanya melihat fakta hukum semata-mata sebagai suatu sistem norma (normative system) yang mengandalkan “aturan dan logika (rules and logic) –(Roger Cotterrell, 2003).

Jika pemerintah memiliki komtimen penegakan hukum berkiblat pada ajaran Roscou Pound, “pragmatic legal realism” yang menegaskan bahwa “law as a tool of social engineering” atau “hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat” (Mochtar Kusumaatmadja), maka apakah hukum yang berlaku saat ini sudah cukup memadai untuk membawa perubahan pandangan masyarakat ke arah yang lebih maju atau sesuai dengan nilai peradaban modern saat ini?

Jika komitmen politik hukum (penegakan hukum) pemerintah adalah agar hukum lebih mendekati kenyataan sosial atau hukum yang hidup dalam masyarakat (Eugen Erlich), maka apakah pemerintah telah dapat meyakinkan masyarakat luas tentang kebutuhan yang riel dan mendesak dari masyarakat Indonesia saat ini dalam berbagai kehidupan sosial ekonomi atau apakah pemerintah akan memelihara keragaman adat dan budaya setempat sebagai salah satu alternatif solusi dari tegaknya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam kehidupan masyarakat.

Sudah tentu jika kerangka teoritik hukum masih melekat pada para pengambil keputusan baik pemerintah dan badan legislatif, tampak masih banyak jalan menuju ke roma untuk solusi carut-marut pembentukan undang-undang dan penegakan hukum di tanah air tercinta ini.

Dewasa ini yang tampak mengemuka adalah komitmen pemerintah telah melepaskan diri dari kerangka teoritik hukum yang juga telah dianut dan diterapkan di negara maju sehingga mengakibatkan tidak jelas lagi, fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional abad ke 21 menghadapi era globalisasi.

Sudah tentu masyarakat luas, terutama mereka yang paham hukum, mendambakan adanya suatu sikap politik pemerintah di bidang pembentukan hukum dan penegakan hukum yang memiliki visi dan misi yang jelas disertai landasan pemikiran (teoritik dan praksis) di dalam berbagai bidang kehidupan, terutama perekonomian, perbankan, perdagangan dan penegakan hukum (pidana) yang dapat menegakkan kedaulatan hukum Negara RI.

Disharmonisasi dan konflik pembentukan hukum dan penegakan hukum yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat disebabkan tidak jelasnya arah politik hukum (pembentukan dan penegakan hukum) pemerintah ketika mulai menjalankan roda reformasi sejak tahun 1998 sampai saat ini.

Solusi dari kondisi tanpa arah, jelas baik dalam pembentukan hukum maupun dalam penegakan hukum, seharusnya bercermin: Cermin Pertama, mengingatkan para legislator dan eksekutif mengenai fungsi filsafat hukum yang bercita-cita menempatkan hukum dalam tempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu tempat yang lebih pantas untuk didiaminya ( Mochtar Kusumaatmadja, 1986). Dalam konteks hukum di Indonesia fungsi filsafat hukum adalah menghaluskan pemikiran tentang hukum bukan semata-mata sebagai sistem norma (normative system), melainkan lebih dari itu, yaitu merupakan sistem nilai (values system) yang lebih hidup dan dinamis mengikuti perkembangan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.

Cermin kedua, yang perlu diperhatikan oleh legislator dan eksekutif adalah fungsi hukum harus dapat menciptakan ketertiban, keteraturan, kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat (fungsi integratif), terlepas dari topik undang-undang direncanakan dan termasuk ke dalam agenda prolegnas. Atas dasar inilah maka fungsi dan peranan harmonisasi dan sinkronisasi perancangan dalam setiap UU sangat menentukan apakah pasca pengesahan, UU dimaksud memperoleh akseptabilitas yang tinggi atau rendah dari masyarakat luas atau bahkan menciptakan konflik sosial atau konflik kelembagaan baru.

Cermin ketiga, yang perlu diperhatikan bahwa, kenyataan lembaga penegak hukum di Indonesia sejak dikeluarkannya UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan UU Kekuasaan Kehakiman, adalah representasi kemandirian kelembagaan secara organisasi dan struktural satu sama lain. Berlainan halnya ketika di bawah hukum Hindia Belanda di mana Jaksa termasuk kekuasaan kehakiman di bawah Menteri Kehakiman, dan Polisi merupakan pembantu jaksa.

Konsekuensi logis dari keberadaan UU organik di atas, seharusnyan tidak ada lagi pemikiran subordinasi antarkelembagaan penegak hukum, apalagi saat ini kontrol masyarakat dan kebebasan pers yang telah menguat, didukung oleh keberadaan Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial, yang telah terbukti lebih ampuh dan efektif ketimbang peranan supervisi dan koordinasi antara instansi penegak hukum itu sendiri.

Sesungguhya pemikiran subordinatif lebih mencerminkan “berburuk sangka” daripada “berbaik sangka” antara lembaga penegak hukum; hal ini potensial memicu konflik kelembagaan dan meningkatkan arogansi sektoral di antara lembaga tersebut.

Penyusunan RUU HAP baru pengganti KUHAP 1981 seharusnya mempertimbangkan hal tersebut secara serius. Arah politik penegakan hukum jauh lebih penting untuk ditetapkan daripada penegakan hukum yang bersifat “instan” dan “adhoc” sehingga dalam jangka panjang kita akan memperoleh suatu jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dari pemerintah di dalam mengarungi berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Opini TokohIndonesia.com | rbh

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, Pakar Hukum Pidana Internasional dan Koordinator Program Doktor Pascasarjana Fakultas Ukum UNPAD

Tokoh Terkait: Romli Atmasasmita, | Kategori: Opini | Tags: Bank Century, Korupsi, hukum, KPK, Reformasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini