
[OPINI] Dialog Membangun Budaya Pribadi dan Bangsa – Oleh Syaykh A.S. Panji Gumilang | Karena bangsa ini sedang dalam perjalanan dan melanggar prinsip utama (dasar) yang telah disepakati, kalau itu terus berjalan tak terbendung, akan hancur negara ini. Kata orang bijak “Halaka qaumun lam ya’rif asasuhu (hancurnya bangsa yang tidak mengenal nilai-nilai dasar negaranya). Bangsa ini sudah dekat dengan lampu merah, tinggal beberapa detik lagi, kalau tidak segera direm dengan budaya (pribadi dan bangsa) bisa terjadi lampu merah.
Mari berdialog tentang Tanah Air, tanah tumpah darah, negara tercinta, Indonesia Raya. Ada peribahasa, “Manusia tertarik akan tanah airnya, sedangkan anjing tertarik akan piring dan makanannya.”
Judul dialog kita ini adalah, “Membangun Budaya Pribadi dan Bangsa.” Maka peribahasa yang saya sampaikan tadi, ada kaitannya dengan membangun budaya pribadi: Pribadi bangsa dan pribadi manusia. Bangsa adalah tanah air. Manusia berwawasan tertarik kepada tanah airnya. Sedangkan anjing tertarik akan piring makanannya. Artinya manusia yang kurang wawasan hanya makanan yang dicari.
Manusia adalah makhluk Tuhan, satu di antara cirinya adalah natik. Natik artinya mampu mengucapkan apa yang ada di kedalaman hatinya bukan sekadar cuap-cuap (tidak natik). Natik adalah kemampuan untuk menyampaikan apa yang ada di kedalaman jiwanya.
Jadi, Indonesia ini nama revolusioner, haddam banna, menghancurkan semua yang ada, didirikan sebuah nama baru Indonesia. Siapa yang harus menjaga? Siapa yang harus membangun? Siapa yang harus memelihara? Siapa yang harus memperbaiki? Jawabnya adalah: Bangsa Indonesia!
Satu perkataan yang paling dalam pada jiwa itu diungkapkan. Itulah natik dan itu manusia. Manusia yang dikatakan stabil dan hidup, adalah manusia yang akalnya mampu menerobos dinding tebal sehingga mampu membaca mawara al jidar (apa yang di belakang tembok).
Mata orang terbatas, kalau mata singa tanpa batas, mampu menerobos berkilo-kilo meter. Mata manusia sedikit sore, sudah rabun, tak mampu memandang lingkungannya. Tetapi akal dan jiwa manusia natik mampu menerobos dinding yang tebal, mampu membaca seluruh putaran dunia ini.
Manusia juga memunyai adab kebiasaan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya. Adab kebudayaan manusia ini, oleh Allah Swt, dianjurkan untuk dijadikan pegangan hidup.
Manusia natik berbicara dengan hati yang dalam, akil berarti mampu membaca segala macam sekalipun mata tertutup oleh rabun, kemudian memunyai budaya yang ditinggalkan. Manusia mati meninggalkan nama karena perbuatannya. “Macan mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading,” begitu pepatah Indonesia.
Hari ini kita berbicara pepatah-pepitih karena pepatah-pepitih itu adalah hikmah. Hikmah yang berkaitan dengan apa yang kita sampaikan tadi, yaitu membangun budaya. Yang kita maksudkan membangun budaya di sini, kita sempitkan dari global sector menjadi local sector, yaitu Indonesia. Kita tinggal di wilayah Indonesia yang luas. Membangun artinya mendirikan, membina, memelihara dan memerbaiki.
Berapa lama bangsa Indonesia ini berada atau eksis, tampil dengan namanya? Baru sekitar 85 tahun, dihitung dari bulan Oktober 1928 lalu, Indonesia menjadi sebuah bangsa yang masih terlalu dini dan muda.
Kita tengok negara tetangga. Brunei sejak purbakala namanya tetap Brunei maka cepat tertib. Singapura merupakan perubahan nama dari Temasek (ketika menjadi wilayah Majapahit) maka cepat berubah budayanya walaupun merdeka baru 57 tahun. Malaysia memunyai nama tetap kerajaan Malaka, kerajaan Malaya, kerajaan Malaysia, rentetannya sambung-menyambung maka budayanya cepat mapan.
Bangsa Indonesia ini sebuah bangsa yang benar-benar baru, 85 tahun itu bukan hitungan bangsa yang lama. Nama Indonesia ini nama pengingkaran dari apa yang ada ketika itu. Nama ini mengingkari Majapahit, mengingkari Mataram, mengingkari Sriwijaya. Jadi, nama-nama itu kini tidak ada semua.
Yang ada adalah Indonesia. Jadi, Indonesia ini nama revolusioner, haddam banna, menghancurkan semua yang ada, didirikan sebuah nama baru Indonesia. Siapa yang harus menjaga? Siapa yang harus membangun? Siapa yang harus memelihara? Siapa yang harus memperbaiki? Jawabnya adalah: Bangsa Indonesia!
Setelah satu nusa, satu bangsa, dengan apa kita memperbaikinya? Dengan lisan, artinya dengan bahasa yang baik; Tetapi bahasa bangsa ini sedang carut-marut. Bangsa ini tidak memunyai bahasa yang dicintai. Bagaimana sekali menyampaikan sesuatu dengan bahasa, bisa sampai ke otak bangsa Indonesia? Dengan apa membangun seperti itu? Dengan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa: Indonesia.
Saya mengajak kita semua menggunakan bahasa Indonesia, yang sudah kita proklamasikan sejak 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda), dengan baik dan benar.
Frame Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kemudian membangun budaya. Budaya itu bukanlah seperti lenong, wayang kulit atau tari-menari. Apa itu budaya? Budaya adalah akal, pikiran, hati dan kepribadian. Budaya itu akal bukan lenong atau wayang kulit. Singkat tetapi bukan singkatan ini. Ini yang akan kita bangun. Membangun budaya adalah membangun akal, pikiran dan kepribadian. Melalui apa kita membangun semua itu? Pendidikan!
Kita, bangsa Indonesia akan membangun budaya, apa fokusnya? Apa batasannya? Apa yang akan diciptakan?
Frame kita adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Allah Swt menyuruh kita menjadi manusia yang adil dan beradab. Kita jabarkan lagi manusia adil dan beradab itu bersahaja, bersikap wajar. Adil tidak saja berarti tidak berat sebelah. Adil itu membela yang benar, condong pada kebenaran terbingkai dalam sikap toleran dan damai. Itu adalah sebuah kewajaran. Kalau kita cenderung kepada yang benar maka yang benar itulah yang harus kita cenderungi dan tidak berat sebelah itu sudah menjadi biasa.
Kemudian yang harus ditempuh lagi adalah beradab. Apa itu adab? Adab itu boleh diartikan memunyai adab, berbudi bahasa, solah-bowo. Menyampaikan sesuatu dengan ungkapan yang benar, dengan bahasa lisan maupun fisik (body language-nya) benar.
Berbudi bahasa bermakna memunyai akhlak dan moralitas. Itulah yang disebut beradab. Selain itu, beradab bermakna memunyai kemajuan lahir dan batin. Kemajuan yang dapat dibanggakan di muka dunia. Sudahkah kita memunyai kemajuan itu?
Mari kita simpulkan pembicaraan kita ini, bahwasanya membangun budaya adalah membangun pikiran, akal, kepribadian supaya mampu bertindak tidak berat sebelah, mampu bertindak membela yang benar.
Bertindak bersahaja, kemudian memunyai adab, sopan santun, moralitas tinggi, kepribadian dan memiliki kemajuan lahir dan batin. Disimpulkan oleh bangsa Indonesia menjadi cita-cita bangsa adalah mewujudkan manusia yang adil dan beradab.
Bangsa kita ditanya, apa budaya Indonesia? Sering dijawab kebudayaan Indonesia adalah budaya ketimuran. Apakah saudara mengetahui budaya ketimuran itu? Budaya ketimuran, memang kita tinggal di Timor Leste? Timor Leste saja kita lepaskan bukan?
Kemudian kita ditanya lagi, apa itu budaya Indonesia? Dijawab: “Kearifan lokal.” Apa itu kearifan lokal? Semua tanda tanya yang tidak bisa dijawab.
Maka yang paling tepat, budaya Indonesia adalah budaya yang membawa kepada manusia yang adil dan beradab. Kapan manusia bisa adil dan beradab? Kalau ke atas memunyai keimanan kepada Tuhan. Keimanan kepada Allah, membawa ajaran Ilahi, baru bisa adil. Kapan manusia itu bisa adil dan beradab? Kalau bersatu.
Kita mengkhayalkan persatuan umat manusia sedunia. Awali dulu dengan persatuan Indonesia. Itu dasar manusia yang adil dan beradab, sinar dari atasnya membangkitkan ajaran Ilahi. Kemudian kursi kokohnya adalah persatuan Indonesia. Kakinya adalah kerakyatan.
Indonesia kita ini menganut madhab republik, artinya kembali kepada rakyat. Rakyat yang mana? Rakyat yang memiliki kemampuan hikmah dan kebijaksanaan. Dari mana itu tumbuhnya? Dari ajaran Ilahi. Kemudian didasari lagi oleh kaki yang kokoh yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara Hukum atau Negara Opini?
Duduk di atas arsy tadi disinari oleh nur Ilahi, “Allahu nur al samawati wal ardh,” maka kemanusiaan yang adil dan beradab, itulah potret budaya Indonesia. Sudah adakah hari ini? Sudah wujudkah hari ini? Sudah bisakah dibaca hari ini? Jawabnya: “Belum.”
Inilah dalam perjalanan membaca, mewujudkan dan mengadakan. Bangsa kita ini bangsa yang sedang ‘menjadi’. Kata Bung Karno, “Nation in the making.” Mengapa demikian? Karena baru 85 tahun. Kalau sekarang kita ukur dan jawabannya tidak atau sudah, hancur kita ini. Maka jawabnya belum.
Saya bertanya kepada kita semua, boleh dijawab ramai-ramai boleh dijawab sendiri-sendiri. Negara apa negara kita ini menurut kebanyakan orang?
Kata Pak Harto, “Ojo gumunan. Ojo kagetan.” Sekarang ini yang gumun (keheranan) dan kaget adalah orang ahli hukum. Kemudian beropini. Begitu ada kejadian yang menggelegar di Indonesia, orang-orang bertanya: “Mengapa Ketua Mahkamah Konstitusi dijemput, ditahan (disekap) oleh KPK dengan tuduhan diduga korupsi?
Bagaimana negara hukum yang adil? Adil itu ungkap yang benar, tidak berat sebelah dan bersahaja. Apa tanggapan bekas (mantan) Ketua Mahkamah Konstitusi? “Hukum mati!” Bagaimana dengan kasus narkobanya? “Tembak lagi!”
Siapa yang mengucapkan itu? Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi. Kalau begitu di mana negara hukumnya? Yang memeriksa belum selesai, ini menganjurkan hukum mati, berarti menganggap lebih Tuhan daripada Tuhan.
Kita saja beristighfar tadi kepada Tuhan. “Ya, Allah! Jangan Engkau hukum kami kalau kami salah, ingatkan saja kami, tunjukkan mana salah kami. Astaghfirullah al ‘azhim. Gusti Allah menjawab, ” Yo wis tak ampuni, tetapi ojo maneh-maneh, yo! Nek, maneh-maneh iku bukan minta ampun, ngece kowe.” Ngece itu menghina, menghina halus. Adapun ngenyek itu menghina lebih dahsyat.
Negara opini. Bagaimana tidak negara opini? Yang satu lagi, bekas Ketua Mahkamah Konstitusi yang kedua, sama juga mengatakan: “Hukum berat!” “Hukum mati!” Seperti tidak ada Kitab Undang-undang Hukum Pidananya. Negara apa itu? Negara opini.
Begitukah penyelesaiannya? Kita sudah mengatakan bahwa Indonesia adalah suatu negara hukum (rechtstaat). Tetapi ternyata negara ini negara opini atau negara persepsi, sehingga pengadilan itu dipengaruhi oleh persepsi orang pintar. Nah, kalau sudah begitu disebut kekuasaan orang pintar.
Mari kita bangun budaya tadi, supaya tidak timbul negara persepsi atau negara opini. Mengapa begitu? Karena bangsa ini sedang melanggar prinsip yang dibuat sendiri. Apa prinsip yang dibuatnya? Melanggar prinsip: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Bangsa ini sedang dalam perjalanan dan melanggar prinsip utama yang telah disepakati. Kalau itu terus berjalan tak terbendung, akan hancur negara ini.
Orang bijak pernah mengatakan, “Halaka qaumun lam ya’rif asasuhu (hancurnya bangsa yang tidak mengenal nilai-nilai dasar negaranya). Manakala bangsa ini merusak kebiasaan dasar, atau landasan dasarnya, maka hancurlah bangsa ini. Landasan dasar bangsa Indonesia ini adalah: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kalau seorang tokoh hukum, kemudian melakukan korupsi, itu melanggar asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Kalau itu dilakukan oleh seorang saja mungkin bisa diatasi. Bagaimana kalau banyak terjadi di mana-mana?
Silakan membaca koran dari tahun 2012 saja sampai sekarang, dari ujung barat pulau Jawa sampai ke ujung timur Jawa Timur. Ada peristiwa apa? Banten, Jawa Barat sedang diubek-ubek (oleh KPK). Masuk ke Jawa Tengah diubek-ubek, Jawa Timur juga diubek-ubek, semuanya sudah terkena. Ke mana kita harus mengembalikan?
Ternyata harus dikembalikan kepada polanya. Budaya Indonesia ini harus disusun kembali, kembali kepada akarnya, kemanusiaan yang adil dan beradab. Perlu disusun dalam bentuk kurikulum yang bisa dijalankan oleh seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Merauke. Silahkan berlomba-lomba menyusun kurikulum. Fastabiqul khayrat, karena (negara) sudah dalam fase lampu kuning, menjelang lampu merah. Bangsa ini sudah dekat dengan lampu merah, tinggal beberapa detik lagi kalau tidak segera direm dengan budaya yang seperti tadi bisa terjadi lampu merah. Ini semua terjadi karena sudah menentang prinsip dasarnya.
Syaykh Al-Zaytun membaca buku sosiologi, ada ungkapan, “A Nation Against Its Own Principle will never Stand.” “Sebuah bangsa yang melanggar prinsip dasarnya tidak akan tampil berdiri tegak.” Opini TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA