Kerikil Tajam Perjanjian Indonesia – Singapura

 
0
88
Kerikil Tajam Perjanjian Indonesia - Singapura
Romli Atmasasmita | TokohIndonesia.com | juka

[OPINI] – Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita: Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak tahun 2004, pemerintah telah berhasil melakukan diplomasi dengan Singapura dan menghasilkan 3 (tiga) perjanjian bilateral yang juga telah menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan masyarakat.

Perjanjian pertama,Asean Mutual Legal Assistance Treaty (AMLA) ditandatangani pada tanggal 29 November 2004, ditandatangani oleh Menhukham, Hamid Awaludin; dan perjanjian kedua,Treaty of Extradition, dan ketiga, perjanjian Defence Cooperation Agreement, yang telah di tandatangani oleh Menlu dan Panglima TNI, pada tanggal 27 April 2007. Ketiga perjanjian tersebut merupakan keberhasilan dan momentum politik pemerintah SBY dalam hubungan diplomatik dengan Singapura.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa ketiga perjanjian tersebut masih merupakan kerikil tajam yang tidak mudah mengatasinya. Perjanjian pertama dan kedua saling melengkapi dan berhubungan erat satu sama lain karena mengenai masalah kerjasama dalam penegakan hukum khususnya dalam pemulangan buron/tersangka/ terdakwa/terpidana dan bantuan dalam penyidikan, penuntutan terutama pengembalian aset hasil kejahatan.

Masalah ekstradisi dan masalah pemulangan aset melalui perjanjian AMLA merupakan dua perjanjian yang berbeda baik dalam tujuan dan mekanisme sekalipun keduanya dapat saling melengkapi. Perjanjian ekstradisi tidak serta merta mengembalikan aset hasil kejahatan, karena secara eksplisit dalam perjanjian tersebut bahwa perjanjian ini tidak bertujuan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan pemulangan aset. Sebaliknya juga di dalam AMLA secara eksplisit ditegaskan bahwa tujuan perjanjian ini tidak boleh digunakan untuk tujuan penyerahan tersangka/terdakwa/ terpidana.

Meniliki substansi kedua perjanjian tersebut tampak jelas bahwa, kedua perjanjian tersebut sangat menjanjikan bagi terutama bagi kepentingan kedua negara terutama bagi Indonesia. Akan tetapi sangat ganjil jika di satu sisi, di dalam AMLA dimasukkan ketentuan tidak berlaku surut terhadap setiap permintaan penyitaan aset hasil kejahatan yang terjadi jauh sebelum tahun 2004; sedangkan di sisi lain, dalam perjanjian ekstradisi diberlakukan surut 15 tahun kebelakang untuk permintaan penyerahan buron/tersangka/ terdakwa/terpidana.

Secara implisit, sudah tentu ketentuan yang bersifat kontradiktif satu sama lain lebih banyak menguntungkan pihak Singapura daripada Indonesia karena Singapura tidak ada kerugian dengan aset hasil kejahatan yang ditanamkan pihak Indonesia dinegaranya jauh sebelum ditandatanganinya AMLA tahun 2004; sedangkan Singapura juga tidak ada kepentingan dengan buron yang harus diserahkan dari Singapura ke Indonesia karena semata-mata yang dibawa orangnya bukan asetnya,bahkan kemungkinan besar tidak mudah menyerahkan orangnya dari Singapura sehubungan dengan peralihan kewarganegaraan dan identittas yang sulit ditelusuri lagi karena sudah terlalu lama.

Sekalipun dalam perjanjian ekstradisi dimungkinkan terobosan terhadap prinsip nasionalitas karena peralihan kewarganegaraan akan tetapi ketentuan tersebut tidak dapat menjamin sepenuhnya dan semudah itu penyerahan pelakunya ke Indonesia karena prosedur hukum di Singapura lebih berbelit-belit dari di Indonesia. Juga terobosan terhadap diterimanya proses peradilan in absentia untuk ekstradisi dengan syarat terhadap buron ybs harus dilakukan peradilan kembali yang “fair”, justru bertentangan secara diametral dengan prinsip “ne bis in idem (seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kali dalam perkara yang sama yang dianut secara universal) yang di atur dalam Pasal 76 KUHP.

Intinya ketentuan terobosan dalam ekstradisi tersebut sama sekali tidak bermakna apa-apa, bahkan merugikan Indonesia dan menguntungkan bagi Singapura karena secara kasat mata ketentuan “harus diadili kembali (dua kali) melalui proses peradilan yang fair”tersebut tidak mungkin diterapkan dalam kasus pidana. Jika deplu masih beranggapan bahwa setiap celah hukum yang sulit dapat ditempuh melalui jalur negosiasi akan tetapi seberapa jauh negosiasi tersebut dapat menyimpang atau bahkan menegasikan ketentuan perjanjian yang telah disepakati bersama.

ROMLI ATMASASMITA: “Intinya dengan perjanjian AMLA yang non-retroaktif (Pasal 22 ayat 3 prosedur penyitaan aset kejahatan) maka pemerintah melalui perjanjian AMLA tersebut telah “memandulkan” dirinya sendiri untuk mengembalikan aset hasil BLBI dan aset kejahatan lainnya jauh sebelum tahun 2004, yang berada di enam negara anggota Asean termasuk Singapura.”Sekalipun pihak deplu masih berkelit bahwa PPATK dapat menelusuri aset kejahatan yang disimpan di enam negara Asean termasuk Singapura akan tetapi upaya tersebut akan terganjal oleh masa tenggat daluarsa kejahatan termasuk korupsi apalagi untuk mengejar aset BLBI yang telah mencapai usia di atas 5(lima) tahun; dan kebijakan pemerintah sendiri dalam penyelesaian kasus BLBI dengan 3 (tiga )opsi penyelesaian secara perdata ketimbang secara pidana.

Intinya dengan perjanjian AMLA yang non-retroaktif (Pasal 22 ayat 3 prosedur penyitaan aset kejahatan) maka pemerintah melalui perjanjian AMLA tersebut telah “memandulkan” dirinya sendiri untuk mengembalikan aset hasil BLBI dan aset kejahatan lainnya jauh sebelum tahun 2004, yang berada di enam negara anggota Asean termasuk Singapura. Sedangkan sebaliknya bagi Singapura denan AMLA yang non-retroaktif tersebut semakin memperkuat tekad dan komitmen politik Singapura sejak awal yang memang tidak kooperatif dalam hal pengembalian aset hasil kejahatan dari Indonesia.

Advertisement

Di dalam negeri Indonesia sendiri, keberhasilan implementasi MLA dan ekstradisi sangat tergantung dari kesiapan administrasi penegakan hukum yang memadai dan mendukung prosedur permintaan MLA dan ekstradisi. Perjanjian ketiga yang penting adalah perjanjian pertahanan kedua negara. Kecurigaan banyak pihak di Indonesia cukup beralasan bukan masalah itikad baik kedua pemerintahan melainkan masalah konsistensi dan integritasnya.

Yang dikhawatirkan bahwa di dalam perjanjian pertahanan tersebut ada ketentuan dibolehkannya mengikut sertakan pihak ketiga dalam latihan militer yang dilakukan di dalam wilayah NKRI; sekalipun langkah itu baru dapat dilaksanakan se- izin Indonesia, akan kemungkinan potensi tekanan-tekanan politik negara “superpower” akan besar dalam mewujudkan keinginannya untuk membentuk enclave baru pengganti Okinawa di Asean mengingat telah ada keinginan salah satu negara superpower ikut serta dalam keamanan bersama di wilayah Selat Malaka.

Masalah kedua dalam perjanjian pertahanan tersebut adalah, penegasan bahwa hukum Indonesia sepenuhnya berlaku jika terjadi tindak pidana di dalam wilayah latihan militer yang telah diperjanjikan, dan tidak ada imunitas apapun yang diberikan terhadap para pelakunya. Sekalipun dalam implementasi perjanjian ini, factor negosiasi dan lobi sangat menentukan akan tetapi sudah tentu perlu dipertimbangkan seberapa kuatnya posisi tawar (bargaining power) Indonesia menghadapi kemungkinan kuatnya negosiasi pihak negara2 besar tersebut plus Singapura yang telah mengetahui secara dalam karakter dan kondisi pemerintahan di Indonesia yang belum stabil baik di bidang politik, hukum, social dan ekonomi.

Melihat substansi ketiga perjanjian tersebut terutama AMLA Nopember tahun 2004 dan ekstradisi April tahun 2007 dapat diperkirakan bahwa, implementasi keduanya tidak akan efektif atau bahkan terkendala oleh baik sisi prosedur kedua perjanjian tersebut yang memang tidak mudah, dan lemahnya administrasi koordinasi antara instansi penegak hukum di Indonesia sendiri. Opini TokohIndonesia.com

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad

Juga diterbitkan di Koran Sindo 07/05/2007

Tokoh Terkait: Romli Atmasasmita, | Kategori: Opini | Tags: Guru Besar, Unpad, Huku

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini