Manusia Multi Talenta

[ Umar Kayam ]
 
0
1890
Umar Kayam
Umar Kayam | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Umar Kayam merupakan sosok serba bisa yang pernah hidup dan berkarya di republik ini. Semua itu diraihnya berkat pengetahuannya yang tinggi dan wawasannya yang luas.

Mungkin hanya segelintir orang yang mampu menjalani beragam profesi dalam hidupnya, salah satunya Umar Kayam. Dosen, ilmuwan, pejabat, cerpenis, hingga pemain film adalah sebagian pekerjaan yang pernah dilakoni pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 ini.

Sebenarnya orangtuanya, Sastrosoekoso, tinggal di Solo. Akan tetapi karena sang kakek ingin cucu pertamanya lahir di rumahnya, maka menjelang kelahiran Umar Kayam, orang tuanya sengaja datang ke rumah kakek Umar di Ngawi. Maka, lahirlah Umar kayam di Ngawi.

Ayahnya, kemudian memberinya nama Umar Kayam. Nama itu diambil dari nama seorang sufi, filsuf, ahli perbintangan, ahli matematika, dan pujangga kenamaan asal Persia yang hidup pada abad ke-12 bernama Omar Khayam. Sang ayah yang bekerja sebagai guru di Hollands Inlands School (HIS), berharap Umar kelak dapat menjadi manusia yang cemerlang seperti Omar Khayam.

Umar menempuh pendidikan dasar di sekolah tempat ayahnya mengajar, HIS Mangkunegoro Surakarta. Semasa bersekolah di HIS ia berteman akrab dengan Kliwir panggilan akrab Wiratmo Sukito, salah seorang tokoh MANIKEBU Gelanggang tahun 60-an.

Sejak kecil Umar sudah gemar membaca, ia terbiasa membaca dongeng dan pelajaran-pelajaran yang terkait dalam bahasa Belanda. Selepas menamatkan sekolah di HIS, ia melanjutkan pendidikan di MULO. Di sekolah setingkat SMP itu, ia sudah akrab sekali dengan Gone with the Wind serta beragam judul novel lainnya.

Baru ketika memasuki masa SMA di Yogyakarta, Umar mulai mengasah bakatnya di bidang sastra. Bersama teman-temannya, Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef yang kelak (kedua-duanya) menjadi Menteri Pendidikan, Umar mengelola majalah dinding sebagai sarana untuk mengeksplorasi karya-karya sastranya. Di tempat ini pula, ia kerap berdiskusi mengenai karya sastra sejumlah penyair ternama seperti Tagore, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Ketika di bangku SMA pulalah, cerpen pertama Umar Kayam berjudul “Bunga Anyelir” lahir. Cerpen ini kemudian dimuat di sebuah majalah terbitan Jakarta.

Umar merupakan sosok yang sangat menyadari betapa pentingnya pendidikan. Oleh karena itu, setelah lulus dari SMA pada tahun 1951, ia melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menjadi pilihan pria yang oleh teman-temannya biasa disapa Uka, ini. Saat kuliah, Umar dikenal sebagai sosok mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan tentu saja dunia kesastraan.

Umar merupakan perintis “Universitaria” di RRI Nusantara II Yogyakarta yang menyajikan berbagai informasi kegiatan mahasiswa. Selain itu, ia juga mendirikan majalah minggu dan berbagai kegiatan yang lain, terutama terkait dengan kebudayaan. Perhatiannya akan budaya nasional memang besar. Ia akan sangat senang bila diajak berbincang tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya, mulai dari wayang, film, hingga musik.

Setelah lulus dari UGM dengan berhasil meraih gelar B.A (sarjana muda) pada tahun 1955, Umar bertolak ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studinya ke University School of Education. Umar menjalani pendidikan di Negeri Paman Sam itu selama 8 tahun dan berhasil mendapatkan gelar Master of Education di tahun 1963. Kemudian, ia melanjutkan program doktoralnya ke Cornell University dan berhasil menyelesaikan studinya di tahun 1965 dengan desertasi “Aspect of Interdepartemental Coordination Problems in Indonesian Community Development”. Meski berada jauh dari tanah air, di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa, Umar tetap aktif menulis. Hasil tulisannya itu kemudian dikirimkan ke berbagai media di Indonesia.

Setelah beberapa tahun menetap di Amerika Serikat untuk menyelesaikan kuliahnya, Umar kembali ke Tanah Air. Setibanya di Indonesia, pada tahun 1966 ia ditunjuk sebagai Direktur Jendral Radio, Televisi dan Film Departemen Penerangan RI. Saat menjabat sebagai Dirjen RTF, Umar melakukan perubahan besar dalam perfilman Indonesia. Dunia perfilman mengalami keterpurukan pada masa Orde Lama, karena pemerintah melarang beredarnya film-film Barat. Hanya film-film berbau sosialis yang diperbolehkan diputar di bioskop-bioskop pada saat itu. Akibatnya banyak bioskop gulung tikar karena jarang ada masyarakat yang menyukai film-film tersebut.

Advertisement

Untuk kembali membuat bioskop menggeliat, Umar kemudian melontarkan idenya agar Indonesia memproduksi dua jenis film. Populer yang laku serta bermutu tapi tak laku. Langkah yang diambilnya adalah dengan membentuk DPFN (Dewan Pertimbangan Film Nasional) dan mengumpulkan dana sebesar Rp30 juta.

Jabatan sebagai Dirjen RTF diembannya selama tiga tahun. Selanjutnya pada tahun 1969, Umar terpilih untuk menduduki jabatan sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta. Dengan sifatnya yang supel, Umar telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan berkesenian di organisasi tersebut. Pada saat yang bersamaan, ia juga menjabat sebagai Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang IKJ) dan juga menjabat sebagai anggota Board of Trustee International Broadcast Institute yang bermarkas di Roma. Tiga tahun kemudian yakni pada tahun 1972, Umar Kayam tak lagi menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta.

Setelah itu berbagai jabatan di bidang akademis berturut-turut dipercayakan di pundaknya, antara lain Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (1975-1976), Direktur Pusat Studi Kebudayaan UGM (1977-1997), Dosen Pasca Sarjana, Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1998-2001). Puncaknya pada tahun 1989, Umar Kayam mendapat pengukuhan sebagai Guru Besar di UGM.

Meski sibuk di bidang akademis dan birokrasi, darah seninya tidak luntur. Berbagai cerpen, esei, juga novel telah ditulisnya seperti Seribu Kunang di Manhattan. Sedangkan dua noveletnya yang dibukukan jadi satu, Bawuk dan Sri Sumarah, bertutur tentang kehidupan keluarga yang berlatar belakang konflik batin seseorang yang tidak tahu apa-apa, tetapi harus menderita karena peristiwa G-30-S/PKI. Karya-karya itu seolah menunjukkan bagaimana disiplin sosiologi ditempatkan dalam sebuah cerita.

Selain menulis cerpen dan novel, Umar juga menjadi kolumnis di berbagai media massa. Sebagai kolumnis, Umar dikenal dengan ciri khas tulisannya yang berbau renungan, tetapi tidak hendak mengajak pembacanya berpikir berat. Selain itu, Umar juga pernah menulis beberapa skenario film, di antaranya Jalur Penang dan Bulu-Bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978.

Rupanya Umar tak hanya piawai menulis skenario film, ia pun ikut bermain dalam beberapa judul film kala itu. Umar pernah tercatat sebagai salah satu pemain dalam film Karmila arahan sutradara Ami Priyono. Ia juga terlibat dalam sebuah film dokumenter yang dijadikan oleh pemerintah sebagai tontonan wajib bagi rakyat Indonesia pada zaman Orde Baru yakni G-30-S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noer. Umar berperan sebagai Bung Karno pada film yang memenangkan Piala Antemas pada FFI 1985 di Bandung karena paling banyak ditonton tahun 1984-1985. Umar kembali menunjukkan bakat seni perannya dengan perannya sebagai Pak Bei dalam sinetron Canting yang diangkat dari novel karangan Arswendo Atmowiloto.

Di tengah keluarga, Umar adalah sosok kepala keluarga yang memberi kebebasan kepada anak-anak dan istrinya dalam menentukan pilihan. Ia tak pernah memaksa istrinya Rooslina Hanoum, seorang redaktur majalah Ayahbunda agar bekerja di rumah dan hanya mengurus rumah tangga saja. Ia membebaskan dan mendukung Yus, panggilan akrab sang istri yang dinikahinya pada 1 Mei 1959 itu untuk berkarir. Begitu juga dalam mendidik kedua putrinya Sita dan Wulan, keduanya diberi kebebasan dalam menentukan apa yang ingin mereka jalani sejauh hal itu bermanfaat serta tidak merugikan orang lain.

Umar benar-benar menerapkan prinsip demokrasi dalam keluarganya, mungkin hal itu yang menjadi resep kelanggengan rumah tangganya. Pemikirannya yang cenderung modern dalam membina rumah tangganya itu seakan berbanding terbalik dengan pandangannya dalam menyikapi kemajuan teknologi, khususnya komputer. Meski telah memasuki zaman komputerisasi, pria yang lebih suka memakai baju batik ketimbang jas ini enggan meninggalkan mesin ketik manualnya. Jika teman-temannya membujuknya untuk menggunakan komputer, Umar Kayam menantang mereka, “Yakinkan saya bahwa dengan komputer saya bisa kreatif.” Tentu saja tak seorang pun yang dapat memberikan jaminan.

Umar Kayam juga telah berhasil mengelupas istilah kesenian adiluhung. Ia mampu memberikan makna-makna baru dalam berkesenian, sehingga kesenian dan seniman tak menjadi individu yang eksklusif. Terbukti kala ia mempersilakan Koes Plus dan seniman lain boleh memasuki Taman Ismail Marzuki (TIM). Tak hanya terbatas pada kesenian adiluhung saja. Langkah ini pun mendapat tanggapan positif dari para pelaku seni. Sehingga kehidupan kesenian pun makin terasa plural. Ia memang telah bertekad untuk menempatkan seni pada konteks budaya. Bukan hanya untuk para seniman, tapi juga untuk masyarakat luas.

Umar sosok yang menyenangkan bagi rekan-rekan seniman, namun tak demikian halnya dengan para penguasa Orde Baru. Sifatnya yang teguh memegang prinsip, rupanya telah mengusik kenyamanan dari para penguasa. Ia tak segan menentang jika menemui ketidakbenaran dan pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan. Karena sikapnya itu ia kerap mendapat surat kaleng akibat tulisannya yang muncul tiap hari Selasa di harian Kedaulatan Rakyat. Namun ia hanya menanggapinya dengan senyum. Ia memang terkesan sebagai orang yang santai ketika menghadapi sebuah masalah, tapi di balik sikap santainya itu ia tak bisa melepaskan dirinya dari kegelisahan, kegelisahan melihat kondisi bangsa. Kegelisahan itu pula yang sempat membuatnya untuk menuliskan pandangannya tentang Indonesia melalui memoirnya yang akan ia luncurkan untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-70.

Namun sayang, manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan, rencana itu akhirnya tinggal rencana, karena Tuhan telah terlebih dahulu memanggilnya pulang ke rahmatullah pada 16 Maret 2002 di Jakarta, sehari setelah menjalani operasi usus buntu. Semasa hidupnya, Umar memang menderita berbagai penyakit seperti pembengkakan jantung, gula darah, juga gangguan tremor sejak remaja. Karena tremor tersebut, ia juga mengalami kesulitan jika menulis dengan tangan. Akan tetapi, Umar Kayam tidak menyerah begitu saja pada penyakit yang dideritanya. Ia menghadapi penyakitnya itu dengan santai, tabah, ikhlas dan penuh dengan humor.

Seperti saat dokter mengatakan bahwa ia harus menjalani diet ketat karena gula darahnya yang luar biasa tinggi. karena ia hanya diperbolehkan makan Jipang, buah untuk membuat sayur asam atau sayur lodeh, saat itu ia mengatakan bahwa dirinya harus mengganti nama menjadi Raden Haryo Jipang.

Kepergian sosok budayawan besar itu menyisakan kesedihan di benak orang-orang yang pernah mengenal pria yang pernah menjadi anggota MPRS itu. Kehilangan Umar, berarti kehilangan manusia multidimensi, demikian para koleganya menanggapi kepergiannya. e-ti | Muli (diolah dari berbagai sumber)

Data Singkat
Umar Kayam, Budayawan, Novelis, Cerpenis, Dosen / Manusia Multi Talenta | Ensiklopedi | Budayawan, UGM, Dosen, Novelis, cerpen, sastra, sosiolog, cerpenis

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here