
[WAWANCARA] – WAWANCARA PROBOSUTEDJO: Selama 32 tahun menjabat Presiden, Pak Harto dituding telah menumpuk kekayaan sampai 9 milyar dolar di Swiss dan menimbun triliunan rupiah di bunker-bunker rumahnya. Beliau juga disebut sebagai penguasa yang otoriter dan telah memberi fasilitas kepada anak-anak dan saudaranya sehingga semuanya menjadi kaya raya. Apa dan bagaimana hal ini sesungguhnya?
Pak Harto sendiri, ketika masih sehat, sudah pernah memberi penjelasan mengenai kekayaannya. Tapi tetap saja sebagian elit dan aktivis yang menyebut diri reformis, terlihat tidak mau mempercayainya. Belakangan, setelah terserang stroke, dan dalam usia senja, Pak Harto sudah sulit diajak bicara. Ia sudah lebih banyak beribadah saja. Pak Harto mengundurkan dari jabatan presiden karena sejumlah orang kepercayaannya, yang secara sengaja sebelumnya dibina dan dibesarkan serta dipersiapkan untuk melanjutkan pembangunan nasional yang berkelanjutan, ternyata mengkhianatinya.
Akibatnya, belakangan Pak Harto menjadi lebih banyak menutup diri. Beliau tampaknya menjadi kurang percaya kepada pihak luar yang masih sulit diidentifikasi loyalitas dan kesetiaannya kepada Pancasila dan UUD 1945, serta tujuan pembangunan nasional untuk mengentaskan kemiskinan.
Sesungguhnya seperti apa keseharian kehidupan dan kekayaan Pak Harto itu? Kami mewawancarai H Probosutedjo, adik kandung satu ibu Pak Harto, Kamis 1 September 2005, di Jakarta. Probo, sejak usia belia sudah tinggal serumah dengan Pak Harto, di Jogyakarta, semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Bahkan ketika ramai-ramai peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 berikut berbagai peristiwa yang melatari sebelumnya serta perjuangan menegakkan Orde Baru setelahnya, Probo juga pernah tinggal serumah dengan Pak Harto dan Ibu Tien di Jalan Haji Agus Salim Nomor 98, Jakarta. Ketika itu, Pak Probo sudah mulai berbisnis sendiri, sementara anak-isteri masih ditinggalkannya di Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Probosutedjo merupakan orang terdekat Pak Harto yang mengetahui persis seluk-beluk kehidupan kepribadian Pak Harto. Demikian pula tentang kejernihan pikiran-pikiran Pak Harto yang begitu gigih mengentaskan kemiskinan.
Dari Pak Probo kami menggali lebih dalam bagaimana sebenarnya kekayaan dan keseharian Pak Harto. Juga tentang pemikiran Pak Harto mengenai bangsanya, khususnya bagaimana Pak Harto melihat Bangsa Indonesia yang sudah berusia 60 tahun. Hasil wawancara kami rangkum dalam beberapa tulisan. Sebagian kami petik berikut ini.
Majalah Tokoh Indonesia (MTI): Selama 32 tahun memerintah, Pak Harto kemudian dipersepsikan sebagai pemimpin yang sangat otoriter dan diktator. Bagaimana menurut Bapak sesungguhnya?
Probosutedjo (PROBO): Tuduhan otoriter dan diktator muncul sebenarnya karena mereka tidak memahami strategi pembangunan yang dilaksanakan oleh Pak Harto.
Pak Harto waktu itu menghendaki supaya keadaan bisa tenang. Karena tujuan ketenangan adalah untuk pembangunan. Poin pertama dari trilogi pembangunan berbicara tentang stabilitas keamanan. Seandainya keadaan tidak tenang maka pasti kita tidak bisa membangun dan investor asing pasti tidak mau masuk.
Keadaan sekarang sudah terbukti menunjukkan investor asing tidak mau masuk. Malah apa yang sudah ada menjadi lari. Kalau orang memperhatikan kenyataan-kenyataan seperti itu maka bisalah merenungkan, bahwa stabilitas keamanan memang perlu sekali.
Untuk mencapai stabilitas keamanan, terpaksa Pak Harto menggunakan militer. Karena militer yang bersenjata. Militer untuk tugas mengamankan pembangunan. Hanya saja waktu itu ABRI tidak mau menjelaskan bahwa sekarang kita sedang menjalankan pembangunan, karena itu mbok ya jangan diganggu pembangunan itu. Kalau misalnya ada anggota masyarakat yang mau menuntut, atau menyampaikan suatu permasalahan yang mungkin menurut pendapat mereka itu benar, mestinya ABRI menjelaskan bahwa sekarang kita sedang mengimbau pengusaha-pengusaha asing supaya masuk ke Indonesia. Sehingga stabilitas keamanan perlu agar investasi tidak terganggu masuk ke Indonesia.
Masuknya pengusaha asing bukan untuk menguasai ekonomi tapi menciptakan lapangan kerja supaya pendapatan rakyat meningkat. Kalau pendapatan meningkat, kemiskinan berkurang. Kenyataaan memang, waktu pemerintahan Pak Harto kemiskinan berkurang terus. Walau belum habis tapi terus berkurang berangsur-angsur. Tidak seperti sekarang terjadi justru sebaliknya.
Waktu jaman Pak Harto ada juga tenaga kerja yang mencari pekerjaan ke luar negeri tetapi tidak seberapa. Tidak seperti sekarang, bahkan sudah sampai ke Malaysia membludak. Kalau dulu masih bisa dicegah karena pekerjaan di Malaysia ternyata sama dengan di Indonesia. Terkecuali yang ke Timur Tengah, banyak tersedia pekerjaan menjadi perawat atau pekerja di rumah sakit. Itu tidak terlalu merendahkan bangsa Indonesia.
Jadi tuduhan diktator atau otoriter muncul, sebenarnya karena mereka kurang memahami saja. Kesalahan ada pada pembantu-pembantu Pak Harto yang tidak mau menjelaskan. Saya juga tidak menduga pembantu-pembantu Pak Harto ternyata akalnya sangat dangkal mengenai strategi pembangunan yang ditempuh Pak Harto. Padahal Pak Harto sering cerita itu pada saya.
MTI: Lalu kenapa TNI/ABRI sampai dibuat ikut berpolitik, ada fraksi di DPR/MPR?
PROBO: Keberadaan ABRI sampai dimasukkan ke lembaga DPR/MPR, itu tujuannya tidak lain untuk menjaga keutuhan Pancasila dan UUD 1945. Pak Harto sering menjelaskan itu sama saya karena saya selalu tanya apa tidak berlebihan memasukkan ABRI ke DPR/MPR, apa nanti tidak dikatakan diktator atau otoriter.
Kalau orang tidak mengerti memang begitu. Tapi tujuannya mencegah jangan sampai UUD 1945 dan Pancasila diubah karena merupakan pemersatu bangsa yang luar biasa multimajemuk ini.
Di seluruh dunia tidak ada yang kemajemukannya seperti Indonesia. Yang pertama pulaunya begitu banyak. Tinggal di pulau-pulau yang manapun ada penduduk yang pengetahuannya berbeda-beda. Kekayaan dan taraf hidup juga berbeda-beda, adat istiadatnya berbeda bahasanya pun berbeda.
Inilah sebabnya mengapa Pancasila dan UUD 1945 merupakan keharusan yang paling cocok dipakai di Indonesia. Agama Islam memang mayoritas di sini tetapi tidak bisa diterapkan untuk membangun bangsa Indonesia yang majemuk.
Dan Pak Harto sudah mempelajari betul-betul, negara yang terbelakang karena dijajah orang asing dulunya kalau tidak dipimpin dengan cara yang terarah dan terkendali tidak mungkin bisa maju.
Contohnya, Filipina sampai sekarang begitu-begitu saja. India, Pakistan dan Bangladesh juga tidak bisa maju-maju. Tetapi negara yang terkendali dan terarah tujuannya, yaitu untuk mengentaskan kemiskinan bisa cepat sekali pertumbuhan ekonominya.
Contoh yang paling mencolok sekarang adalah RRC. Negara itu terkendalinya keras sekali dan arahnya adalah kesejahteraan rakyat. RRC sekarang sudah sejahtera bahkan sampai mempunyai kelebihan segala. Itu hebat padahal negara tersebut demikian luas, jumlah penduduknya 1,3 milyar, tapi semua bisa teratur.
Kemajemukan itulah yang membikin Pak Harto seakan-akan memaksakan, mengharapkan atau mengharuskan supaya Pancasila dan UUD 1945 dijadikan sebagai dasar bersama sehingga keutuhan harus dijaga. Pak Harto bukan diktator sebenarnya, juga bukan otoriter.
MTI: Belakangan terutama dalam era reformasi ini, Pak Harto seringkali pula dicitrakan sebagai koruptor kelas kakap terlebih-lebih setelah anak-anaknya terjun menjadi pengusaha?
PROBO: Citra demikian pun muncul karena sejak dari dulu tidak pernah ada penjelasan yang tuntas mengenai hal itu. Kejadian demikian sesungguhnya mulai berkembang tatkala Pak Benny Moerdani hendak mengakhiri masa jabatannya sebagai Panglima ABRI.
Menjelang habis jabatannya, Pak Benny menurut keterangan beberapa perwira tinggi pernah menanyakan kepada Pak Harto mengenai anak-anak Pak Harto yang berdagang. Katanya, yang saya ceritakan ini adalah beredar di luaran, Pak Harto marah waktu ditanya oleh Pak Benny demikian. Ini, tidak ada yang meng-counter atau mengecek apakah benar begitu yang terjadi.
Kemudian muncul lagi berita tentang Pak Harto yang menumpuk kekayaan. Itu juga sudah lama terdengar sejak tahun 1985 tapi belum begitu santer. Tahun 1990 mulai santer dan berlangsung terus sampai tahun 1993.
Mengenai berita menumpuk kekayaan sebenarnya bukan dituduhkan kepada Pak Harto semata. Juga kepada Ibu Tien Soeharto karena dia selalu meminta sumbangan kepada pengusaha-pengusaha. Padahal tidak lain tujuannya waktu itu adalah digunakan untuk pembangunan kemanusiaan, supaya nanti rakyat yang tidak bisa membangun bisa menikmati hasilnya.
Pemerintah sendiri karena tidak ada dana untuk membangun itu maka Ibu Tien-lah yang terjun dengan meminta perhatian pengusaha-pengusaha yang sudah berhasil mengambil sebagian dari keuntungannya untuk membangun. Misalnya TMII, RS Harapan Kita dan yang lain. Kemudian membantu kegiatan Yayasan Kemanusiaan Gotong Royong pada setiap kali terjadi kecelakaan atau bencana alam.
Tetapi oleh orang-orang yang tidak memahami masalah mengisukan seakan-akan Ibu Tien meminta dan mengumpulkan uang dari orang-orang kaya untuk kepentingan pribadi. Bu Harto sampai-sampai diejek dengan sebutan “Bu Ten Persen”
Suatu ketika, sekitar tahun 1992/1993 berlangsung rapat DPP Golkar di Cendana, Mashuri berani bertanya dan mengkritik langsung Pak Harto. Dia menyebutkan bahwa sekarang sudah terjadi kepincangan antara kaya-miskin. Pak Harto di luaran diisukan hanya mengutamakan dan mengistimewakan kepentingan orang-orang China keturunan.
Ini, katanya lagi, sebenarnya sudah berbahaya sebab rakyat kecil pun sudah menganggap hanya Pak Harto saja yang menguasai kekayaan Indonesia. Sampai tukang taksi pun berani mengatakan Pak Harto menumpuk kekayaan dengan melindungi Cina-Cina.
Lantas Pak Harto menjawab, itu harus dijelaskan supaya rakyat mengerti dan itu merupakan kewajiban dari menteri-menteri. Tapi Mashuri mengatakan lagi bahwa Pak Harto tidak pernah naik taksi, sebab kalau saja pernah naik taksi pasti akan mendengar suara tukang taksi itu bagaimana.
Pak Harto dikatakan seperti itu dalam rapat akhirnya marah. Nah, dari situlah tersiar lagi kabar bahwa Pak Harto betul-betul menumpuk kekayaan sehingga tidak bisa dikritik. Ditambah lagi dengan terjunnya anak-anaknya berdagang atau menjadi pengusaha.
Anak-anak seorang penguasa berdagang sebetulnya tidak ada larangan sebab undang-undang dan hukumnya tidak ada yang membatasi. Yang penting apakah anak-anak itu menggunakan fasilitas dari bapaknya atau tidak.
Kenyataannya anak-anak tidak pernah langsung meminta. Tapi dari menteri-menteri itulah yang ingin mengambil hati Pak Harto, maka mereka sering mancing-mancing anak-anak itu.
Jangankan sama anak-anak, sama saya saja yang hanya saudara, menteri-menteri itu sering-sering menghormati yang tujuannya tidak lain mengambil hati Pak Harto. Padahal saya tidak mau minta fasilitas. Jadi pada jamannya Pak Harto saya sama sekali tidak pernah mendapat fasilitas.
MTI: Memang Pak Probo tak pernah meminta fasilitas dari Pak Harto?
PROBO: Sama sekali tidak pernah! Dulu, misalnya, sewaktu saya dipercaya mengatur impor cengkeh orang menduga itu fasilitas dan saya mendapat keuntungan yang besar. Saya lalu tunjukkan bukti bahwa saya mendapat izin mengatur tata niaga cengkeh tujuannya untuk memutuskan hubungan dagang lewat pihak ketiga, supaya kita mengimpor langung dari negara asal Zanzibar dan Madagaskar. Sebelumnya impor cengkeh lewat Singapura dan Hongkong dan kita banyak dipermainkan di situ.
Saya ditugasi memutuskan itu dan berhasil. Sesudah itu Pak Harto memerintahkan lagi Pak Thoyib Hadiwidjaja, waktu itu Menteri Pertanian, minta saya untuk menanami cengkeh di seluruh Indonesia. Kemudian saya galang daerah-daerah menanam cengkeh. Akhirnya semua menanam cengkeh dari Sabang sampai Merauke, cengkeh menjadi berlebihan dan pemerintah bingung. Dipeganglah oleh Tommy sampai pohonnya dibabati.
Sebenarnya waktu itu tata niaga cengkeh sudah berhasil betul-betul. Jadi mestinya pemerintah berterimakasih pada saya. Sebab saya dapat komisinya juga hanya dua persen. Itupun saya serahkan lagi kepada Setneg, yang kemudian oleh Setneg digunakan untuk membangun Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Jadi RSPAD itu hasil dari cengkeh.
MTI: Berita tentang kekayaan Pak Harto sempat pula menghebohkan. Majalah Time memberitakan beliau memiliki simpanan kekayaan miliaran dolar AS di bank-bank Swiss. Berapa besar sesungguhnya kekayaan Pak Harto yang terkumpul selama menjabat Presiden?
PROBO: Orang yang mengatakan kekayaan Pak Harto bermiliar dolar, itu sama sekali tidak mempunyai pengetahuan, atau ia berbicara secara tidak berdasar sama sekali.
Karena bagaimana mungkin Pak Harto bisa menumpuk kekayaan sampai sebegitu banyak, dan kapan mengambilnya karena anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tiap tahun pas-pasan. Semua pendapatan dan pengeluaran diatur dengan APBN.
Lalu, yang memegang APBN siapa dan yang melaksanakan anggaran belanja siapa? Bukan Pak Harto tapi menteri-menterinya. Jadi bagaimana Pak Harto mengumpulkan kekayaannya? Kalau secara normal berpikir begitu sajalah.
Tapi karena dikatakan oleh Amien Rais kekayaannya ada 9 miliar dolar AS di Swiss, kemudian dilacak oleh Muladi dan Andi Ghalib ternyata sampai di sana tidak ada. Seluruh bank-bank di Swiss ditanya tidak ada kekayaan atas nama Soeharto.
Kemudian oleh Abdurrahman Wahid, saat menjabat presiden menyebut lagi di rumah Pak Harto ada bunker-bunker untuk menyimpan uang yang jumlahnya triliunan rupiah. Dicek di mana-mana di seluruh rumahnya dan di tempat anak-anaknya tidak ada bunker. Coba, itukan semua betul-betul hanya untuk menjatuhkan, membunuh karakter Pak Harto. Artinya orang itu tidak bisa berterimakasih pada seseorang, beginilah bangsa ini akhirnya, karena para elit dan pemimpin tidak bisa menghargai jasa seorang presiden pendahulunya.
Bukan hanya itu. Ada lagi polisi seorang komandan reserse dari Mabes Polri yang suka cerita sama saya, bahwa Pak Harto bersama Probo, Tutut dan Pak Dwi menyimpan uang di Solo jumlahnya 8 triliun rupiah. Kemudian polisi mengirim pasukan terdiri 20 orang ke sana untuk melacak seluruh Solo dimana tempat menyimpan uang Pak Harto, Pak Probo, Tutut dan Pak Dwi itu. Dicari seluruh Solo tidak ada.
Karena orang itu yang cerita sama saya lalu dia saya tanya, “Sampeyan tahu tidak uang Rp 1 triliun beratnya seperti apa, apalagi Rp 8 triliun berapa ton itu.”
“Karena satu bundel uang Rp 50 ribuan satu ikat seratus, jadi 100 kali Rp 50 ribu sama dengan Rp 5 juta, 10 ikat sama dengan Rp 50 juta. Lima puluh juta beratnya dua kilo, kalau Rp 1 miliar beratnya berapa? Lalu kalau semuanya dihitung sudah duapuluh ton. Jadi bagaimana mengangkut uang seberat 20 ton, kan bisa ketahuan,” saya bilang lagi.
“Iya, pak, saya waktu itu tidak berpikir ke situ,” kata dia. Nah, itulah semuanya fitnah saja.
Isunya masih belum berhenti sampai di situ. Ada lagi yang mengatakan Pak Harto menyimpan kertas bahan baku yang digunakan untuk mencetak uang kertas entah berapa ton jumlahnya. Yang tanya sama saya itu polisi juga, pangkatnya kolonel malah masih keponakan saya.
“Bapak kan punya kertas itu, sekarang ada yang mau beli untuk dicetak jadi uang kertas,” kata dia. “Lho, yang punya siapa?”, saya tanya. “Katanya bapak”. “Di mana simpannya, ambil saja nanti tidak usah dibeli,” kata saya.
Jadi mengenai isu Pak Harto menumpuk kekayaan sudah lama dilansir oleh beberapa orang yang tidak bertanggungjawab. Barangkali sudah sejak tahun 1990.
Pak Alamsjah dulu sering saya ajak bicara mengenai hal ini. “Ini, Pak Harto sering dituduh menumpuk kekayaan. Bagaimana caranya menghilangkan citra negatif itu,” kata saya.
Habis saya ajak bicara begitu jawaban Alamsjah: “Pak Harto jasanya besar sekali. Kalau tidak ada Pak Harto orang Islam ini habis dibunuh PKI. Tujuh jenderal saja bisa mereka bunuh, apalagi hanya umat Islam. Coba kalau waktu itu tidak ketahuan PKI yang jadi biang keladi G 30-S/PKI, orang Islam ini habis. Jadi Pak Harto jasanya besar, mestinya sepersepuluh kekayaan Indonesia ini diserahkan sama Pak Harto.”
Lalu saya bantah. “Pak Alamsjah jangan asal ngomong begitu, nanti dipikirnya benar Pak Harto menumpuk kekayaan.”
Tapi dibalasnya, “Ah, jangan pedulilah mereka itu.”
Itulah akhirnya lebih menjalar lagi isu mengenai Pak Harto menumpuk kekayaan.
Waktu Pak M. Jusuf menjadi Ketua BPK, dia juga saya datangi. Saya minta supaya Pak Jusuf mengklirkan Pak Harto yang dituduh menumpuk kekayaan.
Pak Jusuf kan orangnya pendiam. Jadi sudah saya kasih tahu juga Pak Jusuf bahwa saya pernah lapor Pak Alamsjah jawabannya begitu, dan ini kan tidak benar. “Iya, Alamsjah ini kalau ngomong sering-sering tidak dipikirkan dulu akibatnya,” kata Pak Jusuf.
Begitulah menjalar terus bahwa Pak Harto dituduh menumpuk kekayaan sampai orang yang tidak mengerti masalahnya pun, seperti Pak Amien Rais menuduh Pak Harto menyimpan uang di Swiss sebanyak 9 milyar dolar AS padahal sesudah dicek terbukti tidak ada.
MTI: Pada saat pemerintahan Pak Harto, banyak pengusaha, terutama yang nonpribumi, menjadi konglomerat?
PROBO: Saya sesungguhnya selalu mengkritik Pak Harto. Mengingatkan dia bahwa kemerdekaan direbut oleh bangsa Indonesia yang pribumi. Tidak ada nonpri yang berjuang merebut kemerdekaan. Yang mengusir penjajah semua pribumi. Jadi kemerdekaan merupakan perjuangan orang-orang pribumi. Oleh sebab itu mereka harus menikmati isi kemerdekaan menikmati hasil pembangunan. Inilah yang selalu saya ingatkan.
Pak Harto ingat juga rupanya. Oleh sebab itu dalam pembangunan ekonomi selalu diingatkannya, supaya pengusaha-pengusaha yang sudah mempunyai pabrik yang sudah menikmati hasil-hasil pembangunan supaya ingatlah kepada bangsanya yang masih menderita. Karena mereka yang dulu ikut berjuang mengusir penjajah sangat mengharapkan dan merindukan kesejahteraan.
Pak Harto mengatakan hal itu di Tapos tahun 1993, tanpa menggunakan kata pribumi tapi bangsanya yang masih menderita. Barangkali semua orang masih ingat waktu Pak Harto memanggil pengusaha-pengusaha begitu banyak, orang-orang keturunan semua dinasehati begitu. Pak Harto sudah ingatkan juga agar jangan sampai nanti timbul iri hati terjadi kesenjangan sosial yang begitu jauh.
Pak Harto, sambil mengingatkan menyebut-nyebut pula nama Liem Bian Koen, sebagai contoh yang dulu modalnya hanya baju (jaket) kuning tetapi sudah mempunyai pabrik. Kepada Liem Bian Koen, Pak Harto meminta supaya ingat bangsanya yang masih menderita.
Pak Harto selalu mengingatkan demikian, sesuai dengan Pancasila, khususnya sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi harus adil. Tapi sekarang Pancasila sudah tidak ada lagi, yang dipakai hak asasi manusia. Hak tiap-tiap orang harus diakui dan dibela berdasarkan hukum.
Jadi berdasarkan hak orang tidak perlu lagi memikirkan orang lain. Untuk kepentingan pribadi saja semuanya. Justru inilah sekarang pada era reformasi ini yang terjadi. Akhirnya menimbulkan kesenjangan, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Dulu saya berani bicara mengenai sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab. Kalau sekarang tidak berani lagi karena yang diutamakan adalah hak asasi manusia, tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab. Hak tidak disertai dengan kewajiban dan tanggungjawab.
Tampaknya Indonesia mau meniru Amerika dimana demokrasi dan hak asasi manusia dihargai setinggi-tingginya dan sudah merupakan harga mutlak yang tidak boleh ditawar-tawar.
Tapi jangan lupa, di Amerika hak sudah diikuti dengan kewajiban dan tanggungjawab. Setiap warga negara tahu kewajiban dan tanggungjawabnya sampai di mana. Di Indonesia belum tahu apa kewajiban dan tanggungjawab maka akhirnya morat-marit. Jadi, yang terjadi nanti ada jurang pemisah antara yang kaya dan miskin. (Bersambung) Majalah Tokoh Indonesia Edisi 24/crs/sh/sp,ms
*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Bapak Pembangunan Nasional
MTI: Belakangan Pak Harto sering dicitrakan dengan kabar-kabar buruk dan negatif, oleh orang-orang yang tidak paham mengenai bagaimana pikiran, semangat dan tindakan Pak Harto mengentaskan kemiskinan. Padahal beliau sudah dianugerahi gelar Bapak Pembangunan Nasional. Apa sesungguhnya yang melatari pemberian gelar tersebut?
PROBO: Mengenai latar belakang sampai-sampai Pak Harto dikatakan Bapak Pembangunan. Apakah betul dia ingin dikatakan Bapak Pembangunan? Bukan dia tetapi orang lain dan pembantu-pembantunya, terutama Pak Ali Murtopo, yang mengusulkan diberi gelar Bapak Pembangunan. Tetapi memang kenyataannya setelah Pak Harto diangkat menjadi Presiden, pembangunan itu tidak henti-hentinya.
Mula-mula semua proyek yang ditangani oleh Bung Karno yang tidak bisa diselesaikan, diselesaikannya. Misalnya pembangunan Gedung DPR/MPR oleh Pak Harto disempurnakan. Mesjid Istiqlal diselesaikan. Di Cilegon proyek bantuan dari Rusia oleh Pak Harto diselesaikan.
Sesudah itu Pak Harto membikin jalan tol Jagorawi. Semua orang banyak yang tidak setuju. Bayangin saja kalau tidak ada Jagorawi, sekarang ini mobil-mobil itu mau lewat mana coba. Belum lagi pembangunan proyek-proyek waduk air di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan lain-lain.
Karena pembangunan begitu banyak mengundang investor-investor sampai banyak sekali yang investasi ke Indonesia, maka pembangunan kelihatan begitu nyata sehingga Pak Ali Murtopo mengusulkan agar kepada Pak Harto diberi gelar Bapak Pembangunan.
Kalau kita telusuri sampai sekarang terbukti presiden-presiden pengganti Pak Harto tidak ada yang membuat pembangunan-pembangunan yang berarti. Misalnya Habibie, apa yang dibangun, malah jamannya Pak Harto dia dikasih proyek dan kekuasaan untuk bangun IPTN. Gus Dur apa yang dibangun, tidak ada.
Megawati malah apa yang dibangun Pak Harto dijualnya, misalnya Indosat. Padahal Indosat dibangun karena waktu itu Pak Harto sudah memikirkan hubungan telekomunikasi sangat penting sekali. Bukan hanya untuk antarpulau tetapi juga ke luar negeri. Indosat itu dengan susah payah dibeli hingga didirikan Palapa.
Itulah makanya Pak Harto dinamakan Bapak Pembangunan. Jadi kenyataan yang dibangun Pak Harto itu ada. Presiden yang sekarang boleh dikatakan tidak ada yang dibangun. Yudhoyono sampai sekarang belum ada pembangunan-pembangunan. Dulu jaman Pak Harto hutang memang ada tapi betul-betul digunakan untuk pembangunan.
Setelah Bung Karno sudah tidak lagi menjadi Presiden dan Pak Harto diangkat sebagai Pejabat, mulailah Pak Harto memegang pemerintahan. Pak Harto waktu itu langsung mengusulkan supaya empat atau lima tahun kemudian diadakan Pemilihan Umum.
Betullah diadakan Pemilihan Umum tahun 1971 dan Pak Harto terpilih sebagai Presiden oleh MPR. Setelah menjadi Presiden teruslah Pak Harto memikirkan bagaimana nasib rakyat Indonesia. Terutama niatnya itu untuk mengentaskan kemiskinan. Usaha mengentaskan kemiskinan bukan hanya ucapan tapi sungguh-sungguh sehingga segala tindakannya diwujudkan.
Ambil contohnya pada tahun 1973/1974, pemerintahan Pak Harto langsung mengembangkan tanaman padi unggul yang sangat tinggi produksinya, dinamakan PB-5. Ini asalnya dari Filipina yang di sana namanya IR.
Suatu ketika saya datang ke Cendana makan bersama-sama dengan Pak Harto dan Bu Harto. Saya cerita mengenai harga beras yang naik.
“Masa, beras kan sudah dikendalikan. Sekarang produksi padi sudah meningkat, masa naik,” jawab Pak harto balik bertanya.
“Ya, barusan saya beli beras Cianjur, harganya naik,” saya bilang.
“Salahnya sendiri mengapa makan beras Cianjur, kan sudah dianjurkan makan PB-5. Kamu harus berikan contoh makan PB-5,” kata Pak Harto. Itulah gambaran konsistennya Pak Harto dalam usaha meningkatkan produksi beras.
Kesederhanaannya juga begitu. Antara tahun 1975-1980, saya sudah tinggal di Jalan Agus Salim Nomor 121. Kemudian saya membeli tanah di Jalan Diponegoro, milik Pak Memet Tanumihardja yang minta tolong supaya rumahnya dibeli karena sudah pensiun. Saya beli, kemudian saya bangun. Waktu membangun, tidak tahu Pak Harto dapat laporan dari siapa sebab saya tidak pernah cerita, saya ditegur.
“Kamu bikin rumah di Jalan Diponegoro begitu besar mau bikin apa. Rakyat sedang menderita masih miskin kamu bikin rumah yang begitu besar dikelilingi jalan. Kiri kanan jalan depan belakang juga jalan, siapa yang nyuruh kamu? Kamu tidak memikirkan nasib rakyat miskin yang masih menderita ini.” Saya dimarahi terus begitu.
Saya lalu jelaskan, “Rumah mana yang besar itu? Itu rumah cuma di Jalan Diponegoro, tidak ada di kiri-kanan dan di depan-belakang jalan.” Dia pun terdiam. Dia tidak menyebutkan siapa yang melaporkan tapi saya tahu yang melapor adalah orang Setneg.
Itulah di antaranya, dia betul-betul memikirkan kemiskinan. Bagaimana sangat memprihatinkannya kemiskinan buat Pak Harto. Pak Harto itu bekerja setiap malam, belum ada presiden penggantinya yang seperti itu. Setiap pulang dari Istana jam empat sore, sampai di rumah istirahat sebentar, nanti jam tujuh sudah menerima tamu sampai jam 10 malam. Tamunya bukan lain adalah menteri yang dipanggil satu persatu untuk diajak diskusi bagaimana caranya membangun pertanian, membangun ekonomi supaya maju. Itu saja terus-menerus. Sehingga kalau saya ketemu harus setengah tujuh sudah ketemu, atau jam enam waktunya itu saja. Setelah itu sudah tidak ada waktu lagi.
Setiap sore selalu ada laporan yang mapnya bertumpuk-tumpuk lalu paginya sudah keluar lagi. Jadi memang kerjanya betul-betul ingin menyelesaikan masalah.
Terus ada lagi satu peristiwa. Waktu itu saya beternak ayam ras. Impor ayam boiler dari Amerika lalu dikembangkan di sini. Saya dirikan PT Cipendawa untuk beternak ayam, kami bikin kandang ayam di Mega Mendung, Puncak, Bogor, Jawa Barat tahun 1974. Kandang kalau malam ada lampu supaya nanti paginya bisa bertelur, supaya sehat dan tidak dimasuki binatang-binatang musang. Dan kalau tidak dikasih lampu ayamnya tidak mau makan.
Itu rupanya ada yang lapor sama Pak Harto bahwa saya bikin rumah besar sekali di Mega Mendung. Rumahnya terang sekali kelihatan ada lampu dari pinggir jalan yang menuju ke Puncak di sebelah kiri. Saya ditegor juga karena itu.
“Kamu bikin rumah begitu besar di Mega Mendung. Mau bikin apa itu, istana ya?”, kata beliau. “Rumah yang mana? Mana ada rumah di Mega Mendung, itu kandang ayam,” kata saya. Baru dia kaget.
“Kandang ayam kenapa kamu kasih lampu?” tanyanya lagi.
“Kalau tidak dikasih lampu nanti malamnya tidak mau makan dan paginya tidak mau bertelur.” Baru diam dia. “Kasih tahu itu sama orang Setneg,” saya bilang lagi. Haha…ha… orang Setneg lagi yang laporan.
Jadi itulah beliau, betul-betul memikirkan bagaimana caranya mengentaskan kemiskinan. Dalam setiap kali rapat, menteri-menteri selalu diingatkan tentang kesederhanaan. Beliau itu hidupnya sederhana sekali.(Bersambung) Majalah Tokoh Indonesia Edisi 24/crs/sh/sp,ms
*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Soros, IMF dan BLBI
MTI: Posisi politik Pak Harto sampai tahun 1998 masih sangat kuat bahkan terpilih kembali menjadi Presiden. Barangkali satu-satunya cara menurunkannya hanya lewat goncangan ekonomi yang menemu-kan momentum saat krisis moneter melan-da Asia. Bagaimana sesunguhnya pena-nganan krisis ketika itu, sehingga Pak Harto seorang pemimpin yang berpengalaman sampai tak kuasa menahan gejolak?
PROBO: Menjelang akhir masa jabatannya memang banyak pejabat yang selalu menjilat ke Pak Harto. Kasarnya begitu. Mengangkat-ngangkat dan memuji-muji Pak Harto dengan maksud supaya diangkat menjadi pejabat.
Ternyata mereka itu banyak yang hanya ngomongnya saja. Malah yang terakhir menjelang terjadinya reformasi, banyak pejabat-pejabat yang menyusun buku yang namanya Manajemen Soeharto. Termasuk Tanri Abeng juga Abdul Gafur yang isi bukunya memuji-muji Pak Harto, supaya Pak Harto senang lantas dia diangkat menjadi menteri. Tapi ternyata mereka itu tidak becus.
Mula-mula Pak Harto dituduh bekerjasama dengan Liem Soe Liong. Padahal, tujuannya wak-tu itu Liem Soe Liong adalah orang yang bisa dikendalikan untuk membangun pabrik-pabrik yang sangat bermanfaat untuk kepentingan rakyat. Rupanya diam-diam banyak juga pejabat yang menjalin hubungan dengan pengusaha-pengusaha sehingga menjadi kaya.
Terus yang terakhir, terjadi krisis moneter yang tidak saja melanda Indonesia tetapi juga Korea Selatan, Thailand dan Filipina. Negara yang lain seperti Hongkong dan Cina tidak terkena karena cadangan devisanya banyak.
Indonesia cadangan devisanya pas-pasan. Itulah yang dipermainkan oleh George Soros. Akhirnya nilai rupiah jatuh kemudian terjadilah krisis moneter.
Pak Harto sudah dijadikan sasaran di sini. Kemudian Pak Harto dipaksa supaya berhubungan dengan IMF. Menteri-menterinya pada waktu itu sudah mulai bertindak sendiri. Seperti Menteri Keuangan mengatur bank sendiri sampai ada 16 bank yang dilikuidasi.
Setelah ternyata tidak berhasil, Pak Harto memerintahkan agar jangan ada likuidasi lagi karena tidak ada gunanya. Lebih baik kalau ada bank yang bermasalah dikasih bantuan kredit. Itulah kemudian keluar yang namanya BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Waktu BLBI keluar, saya sudah bilang sama Prof Edi Swasono, lewat telepon. “Wah, ini BI akan bangkrut.”
“Kenapa Pak?” tanya Edi Swasono. “Itu, orang-orang bank tidak bisa dipercaya. Nanti akan dibikin nasabah fiktif. Yang pinjam fiktif, nasabahnya fiktif, nanti akan terjadi begitu sehingga BI disedot.”
Benar saja. Akhirnya dana BI mengalir terus sampai sekian ratus triliun rupiah. Karena keadaannya begitu Pak Harto dituduh tidak mampu lagi mengendalikan sehingga terjadilah krisis kepercayaan.(Bersambung) Majalah Tokoh Indonesia Edisi 24/crs/sh/sp,ms
*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
04 | Air Mata Pak Harto
Sewaktu Pak Harto menonton televisi melihat ada rakyat mati busung lapar dan banyak orang antri minyak tanah, Pak Harto sampai menangis. Itu betul, saya melihat sendiri seperti itu. Dia betul-betul sedih, kok semua jadi begini. Jadi bukan Pak Harto yang bicara tapi memang betul-betul saya yang melihat seperti itu. Ia betul-betul sedih. Pak Harto menangis melihat keadaan Indonesia yang makin miskin.
MTI: Apa pandangan Pak Harto mengenai keadaan terbaru bangsa saat-saat terakhir ini?
PROBO: Dia mengatakan mengapa barang-barang serba-susah, keadaan menjadi begini, lapangan kerja tidak tersedia. Barang-barang sudah tidak terbeli oleh rakyat. Sebetulnya mahal sih tidak tetapi tidak terbeli karena rakyat tidak punya duit, pekerjaan tidak ada.
Koran tadi pagi menulis kemiskinan di Indonesia sudah mencapai 54 persen. Itu sesungguhnya bukan-lah jumlah orang miskin yang sebenarnya. Sebab persenatse itu diperoleh hanya diukur berdasarkan kemampuan orang membayar di rumah sakit.
Jadi kemiskinan itu luar biasa sekali. Sebelum jaman Pak Harto besarnya 36 persen, pada masa Pak Harto berhasil berkurang jauh sekali. Nah sesudah Pak Harto lengser kemiskinan naik lagi menjadi 36 persen, dan sekarang semakin naik menjadi 54 persen. Itulah keadaannya.
Membaca berita-berita seperti itu, Pak Harto pasti akan sedih. Kok makin sulit saja keadaan bangsa ini, pikirnya.
Sewaktu Pak Harto menonton televisi melihat ada rakyat mati busung lapar dan banyak orang antri minyak tanah, Pak Harto sampai menangis. Itu betul, saya melihat sendiri seperti itu. Dia betul-betul sedih, kok semua jadi begini.
Jadi bukan Pak Harto yang bicara tapi memang betul-betul saya yang melihat seperti itu. Ia betul-betul sedih. Pak Harto menangis melihat keadaan Indonesia yang makin miskin.
MTI: Sudah sangat seekspresif itukah Pak Harto, tidak hanya bersedih lagi melainkan sudah sampai menangis meneteskan air mata?
PROBO: Ya, tidak hanya bersedih tapi sudah sampai menangis melihat kejadian-kejadian ini.
Begitu juga mengenai Pilkada. Dulu sebenarnya itu sudah direncanakan juga. Tapi sudah dengan perhitungan kalau dilaksanakan pasti muncul keributan. Karena di Indonesia demokrasi belum bisa diterapkan secara liberal, seperti yang terdapat di Amerika dan negara-negara Eropa lain. Di sana memang dilaksanakan pemilihan-pemilihan kepala daerah. Tetapi itu pun tidak sampai mendetail hingga pemilihan di kabupaten dan sebagainya.
Sekarang pemilihan sudah sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Padahal rakyat masih banyak yang buta huruf, miskin. Orang miskin gampang dibayar, siapa yang kasih duit itulah yang dicoblos. Kejadian seperti inilah yang terjadi di Indonesia. Kita ini mengapa kok tidak mau memelajari hakekat sesuatu keputusan, yang mestinya dipertimbangkan dulu.
Tadi barusan saya mendapat cerita menarik dari seorang teman yang punya pabrik pakan ayam. Suatu ketika Menteri Pertanian yang sekarang memberitahukan kepada Charoen Pokh Pahn, investor asing Thailand pemilik pabrik pakan ayam terbesar di Indonesia, menterinya mau datang berkunjung. Charoen kemudian memberitahukan kepada asosiasi pakan ternak dan asosiasi peternak ayam. Karena menteri yang mau datang, Charoen memesan makanan dari perusahaan katering hotel Hilton. Katering lalu mempersiapkan makanan menteri dan rombongan.
Rombongan Mentan tiba dengan membawa makanan dalam kotak. Dia tidak mau memakan makanan yang disediakan Charoen. Akhirnya pengusaha-pengusaha ternak ayam dan pabrik pakan itu makan nasi kotak yang dibawa menteri. Makanan katering yang begitu banyak tidak dimakan.
Kalau dipikir-pikir, walau hanya untuk nasi kotak toh keluar juga uang departemen. Apa salahnya kalau makan di situ asalkan jangan terpengaruh, jangan sampai kena suap, ataupun jangan sampai memberi fasilitas kepada pengusaha peternak ayam itu.
Di situlah cara berpikir yang kurang panjang. Seakan-akan bersih tidak mau menerima pemberian padahal untuk makan di situ saja. Kan supir-supir dan pegawai-pegawai pertanian jarang makan yang enak. Itu makanan dari Hotel Hilton, kan enak semua, tapi mengapa tidak mau. Kalau kembali ke makanan sederhana begitu ngapain kita membangun.
MTI: Khusus mengenai berita tentang Pilkada, mengapa Pak Harto sampai menitikkan air mata saat menyaksikannya di televisi?
PROBO: Karena rakyat kita ini terbukti belum matang, beliau prihatin sekali rakyat belum matang. Setelah seorang kepala daerah terpilih nyatanya yang lain tidak puas juga.
Inilah yang menunjukkan kualitas bangsa ini masih rendah, masih perlu dididik. Demikian pula pemimpin-pemimpinnya perlu di-reeducated lagi. Karena memang kita ini masih ketinggalan.
Di luar negeri bagaimanapun pendidikan diutama-kan. Jepang bisa maju karena pendidikan. Di sana pendidikan didukung pemerintah sepenuhnya. Mestinya perlu 50 persen dari anggaran belanja untuk pendidikan.
Tadi pagi saya mendengar Mendiknas ngomong, memperingatkan kepada mahasiswa jangan salah memilih perguruan tinggi. Kok dia memperingatkan begitu? Bukankah yang berkewajiban membenahi perguruan tinggi itu Menteri Pendidikan. Dia memperingatkan supaya jangan salah pilih, diiklankan tiap hari, itu gimana, lucu dia itu.
Pemerintah kita ini belum memmerhatikan pendidikan. Saya ingat, sewaktu menjadi guru di Pematang Siantar sama di Serbelawan, itu orang Batak kalau menyekolahkan anaknya dengan segala macam usaha. Banyak orangtua murid yang sering datang sama saya, anjangsana begitu, sering ngomong-ngomong. “Pak, ini anak saya supaya maju bagaimana caranya saya sudah korbankan segala sesuatunya untuk membiayai anak saya supaya menjadi pintar. Kalau perlu sawah pun saya jual untuk membiayai sekolahnya.”
Jadi segala-galanya dilakukan orangtua untuk biaya pendidikan anaknya. Pemerintah kita belum memikirkan begitu. Mestinya pemerintah memikirkan bagaimana supaya bangsa ini menjadi pintar. Makanya menteri pendidikan kita kalau orang Batak bangsa ini maju ya. Artinya, mengerti bahwa pendi-dikan itu adalah merupakan induk investasi yang paling besar dan segala sesuatunya.
Indonesia kurang maju pembangunannya karena pendidikan diabaikan, kurang dapat perhatian. Sekarang anggaran pendidikan katanya Rp 40 triliun, ini untuk sekian juta siswa, apa cukup, artinya sama dengan 4 miliar dolar AS. Jadi memang tidak ada artinya untuk pendidikan.
Saya ingat waktu sekolah sampai ke SMP buku-buku dikasih cuma-cuma. Naik kelas buku baru diserahkan lagi tanpa beli. Sekarang tidak demikian. Pemerintah tidak menyusun kurikulum supaya setiap siswa tidak perlu memikirkan buku-bukunya.
Yang paling merusak nasionalisme lagi sekolah-sekolah asing sekarang merajalela. Dulu itu tidak boleh sebab nasionalismenya tidak ada. Bukan cuma perguruan tinggi asing, tingkat SD pun sudah ada.(Bersambung) Majalah Tokoh Indonesia Edisi 24/crs/sh/sp,ms
*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
05 | Dalang Tragedi Mei
Itulah juga yang sampai sekarang menjadi teka-teki. Wiranto itu mengapa pergi ke Malang sewaktu terjadi peristiwa tanggal 14 Mei. Semua jenderal-jenderal pergi ke Malang di sini kosong sehingga tidak ada komando pengamanan. Dan sesudah sore-sore peristiwa itu berhenti sendiri. Aneh, kan?
MTI: Siapa kira-kira dalang peristiwa Kerusuhan 14 Mei 1998?
PROBO: Itulah yang kita tidak tahu. Saya kira kelompok orang-orang yang ekstrim-ekstrim itu. Orang kiri itu, kelihatannya dari situ.
MTI: Mengapa pada waktu itu jenderal-jenderal tidak berada di Jakarta?
PROBO: Ya itulah juga yang sampai sekarang menjadi teka-teki. Wiranto itu mengapa pergi ke Malang sewaktu terjadi peristiwa tanggal 14 Mei. Semua jenderal-jenderal pergi ke Malang di sini kosong sehingga tidak ada komando pengamanan. Dan sesudah sore-sore peristiwa itu berhenti sendiri. Aneh, kan?
Waktu itu saya duduk di sini juga, lantai tiga gedung Tedja Buana Building, Menteng, Jakarta Pusat. Si Lis, sekretaris saya yang dulu sudah ketakutan sekali. “Bagaimana ini, pulang saja Pak,” katanya. ti
Probo Cari Wapres dan Pangab
MTI: Ketika Pak Harto mengundurkan diri bagaimanakah gambaran detik demi detik perubahan yang terjadi di lingkungan Istana dan Keluarga Besar Cendana menjelang tanggal 21 Mei 1998?
PROBO: Pada waktu itu Pak Harto ke Mesir. Sebelum tanggal 15 Mei sudah terjadi gerakan-gerakan anti Soeharto. Dia dituduh korupsi. Setiap hari ada orasi. Waktu mau berangkat ke Mesir saya sebenarnya sudah mengingatkannya. “Mas, jangan pergilah. Dirikanlah Dewan Reformasi, lakukan perbaikan atau reform untuk menjaga supaya jangan sampai reformasi berubah menjadi revolusi sebab apa yang kita bangun bisa rusak,” kata saya.
Namun saya mendapat jawaban bahwa ini bukanlah masalah pribadi, bukan mewakili Indonesia saja tapi juga mewakili ASEAN dan Gerakan Non Blok. Terus saya juga meminta kepada Ketua MPR Harmoko supaya mencegah Pak Harto agar jangan pergi. Maksud saya, bikinlah keputusan sidang yang bisa mencegah kepergian Pak Harto.
Tetapi Harmoko cuma datang kepada Pak Harto minta supaya jangan pergi dan memberitahu pula bahwa itu adalah atas usul saya. Lalu saya bilang Harmoko, “Kenapa dibilang Pak Probo, saya artinya apa, saya orang swasta dan tidak punya kedudukan.”
Demonstrasi terjadi terus-menerus tiada henti. Terjadi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti. Puncaknya tanggal 14 Mei terjadi penjarahan di beberapa tempat.
Kelihatannya sudah direncanakan sebelumnya karena tempatnya tertentu begitu saja. Malah ada perkosaan-perkosaan di rumah-rumah keturunan etnis Tionghoa. Sampai-sampai Cristianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) takut betul-betul sehingga koma dan tidak mau lagi tinggal di Indonesia. Ia keluar ke Amerika.
Pada tanggal 14 Mei penjarahan terjadi di mana-mana, keadaan kacau. Saya berusaha menghubungi Habibie sebagai Wakil Presiden tapi tidak berhasil. Sama Wiranto juga tidak berhasil. Tidak ada satu pun yang bertindak pada tanggal 14 itu. Lalu saya pulang dari kantor.
Kemudian, dari rumah pukul setengah lima subuh, saya keliling Jakarta, ternyata kota sudah morat-marit semuanya. Jakarta sepi tak ada satu pun mobil yang lewat kecuali saya.
MTI: Saat itu Pak Probo ada di Gedung Tedja Buana, berusaha mencari atau mengadakan hubungan kontak dengan Pak Habibie dan Pak Wiranto?
PROBO: Ya, tapi Habibie-nya tidak tahu di mana dan Wiranto-nya juga tidak bisa dihubungi. Belakangan baru tahu ikut rombongan ke Malang. Ada apa ini, dan acara apa itu?
Bagaimanapun yang merasa sudah puluhan tahun dibina supaya nanti bisa menggantikan meneruskan pembangunan, tahu-tahu sesudah ada kesempatan kok tega membikin dan mencari kedudukannya supaya kuat.
Kalau kita merenungkannya seperti begitu, kan tampak selama dia menjadi presiden gerakannya cuma mencari kedudukan supaya menjadi kuat, supaya mendapat kepercayaan. Sampai kepada anak-anak pun didekatinya seperti Josua, penyanyi anak-anak dari Surabaya pun sempat diterimanya di Istana. (Bersambung) Majalah Tokoh Indonesia Edisi 24/crs/sh/sp,ms
*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
06 | Habibie Nyatakan Sanggup
MTI: Waktu Pak Harto kembali dari Kairo, melihat keadaan sudah kacau-balau apakah beliau langsung menuju ke rumah?
PROBO: Ya, Pak Harto langsung ke rumah. Saya sudah menunggu di situ sejak pukul empat pagi atau mungkin pukul tiga. Pak Harto sampai ke rumah setengah lima.
Saya melaporkan keadaan demo mahasiswa sema-kin tidak karu-karuan, terjadi penjarahan. Dalam hati saya ingat, bahwa sebelumnya saya sudah melarang tetapi pergi juga. Namun saya tidak mengingatkannya lagi sebab bisa-bisa malah menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Tanggal 16 Mei dilanjutkan lagi demonstrasi, itu terus saja terjadi dan tidak ada henti-hentinya. Makin liar kesana-kemari. Lalu tanggal 17 dan 18 Mei massa mahasiswa demonstran akhirnya dimasukkan ke gedung MPR.
Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Pangdam Jaya ketika itu, diminta oleh Pangab Jenderal Wiranto supaya mengerahkan mobilnya mengangkut mahasis-wa yang ada dimana-mana ke gedung MPR supaya disatukan. Tapi Sjafrie tidak mau. Alasannya kalau mahasiswa menjadi satu nanti lebih berbahaya lagi. Akhirnya dicarilah dan digerakkanlah bis.
Anak saya, Tanto, minta supaya saya membantu memberikan makanan demonstran. “Ini sudah setengah satu siang belum ada makanan, tolonglah agar Pak Probo mengirim makanan, kasihan ini mahasiswa,” begitu kata anak saya. “Jangan dilayanilah nanti malah kita ikut-ikutan,” saya bilang.
Setengah jam kemudian, Tanto ketemu lagi sama saya. “Kok sekarang Pak, sudah banyak makanan, malah berlebihan,” katanya. Nah, berarti sudah direncanakan bikin dapur umum. Mana mungkin pesanan makanan setengah sampai satu jam bisa selesai. Itu tidaklah mung-kin. Berarti sejak pagi, dapur umum sudah direncanakan. Makanan itu banyak dan datang terus-menerus setiap hari tanggal 18, 19, 20 dan 21 Mei.
Pada tanggal 19 Mei, Pak Harto menyuruh Pak Saadillah Mursjid untuk memanggil Dr Nurcholis Madjid, karena dia dianggap sebagai tokoh Islam yang mempunyai pengaruh. Dia seorang teknokrat yang punya pengaruh luas dan tidak fanatik. Dia datang ke Cendana. Saya ada di situ.
Nurcholis Madjid sama Pak Harto berdua saja bicara. Tapi saya masuk saja. Waktu dipilih nama Amien Rais untuk ikut dipanggil, saya bilang janganlah dia dipanggil. Sebab keadaan menjadi begini karena Amien Rais.
Waktu saya bilang jangan panggil Amien Rais, itu Pak Harto diam saja. Cak Nur lalu bilang, “Jadi bagaimana, Pak. Dia saya anggap teman saya di Amerika, sama-sama kuliah di Amerika.”
“Ya, tapi kelakuannya tidak benar lagi. Ini, keadaan kacau begini gara-gara dia. Jadi lebih baik jangan dipanggil kalau besok diadakan pertemuan,” kata saya.
Waktu itu Pak Harto sudah mengusulkan diadakan pertemuan, dan menyuruh memanggil figur-figur masyarakat, tokoh-tokoh Islam, untuk ikut pertemuan di Istana. Pertemuannya direncanakan tanggal 19 Mei pagi, tapi mahasiswa sudah penuh di Senayan.
Dalam pertemuan besok pagi-pagi itu, saya ditugasi memanggil siapa-siapa yang saya kenal yang bisa dipanggil. Saya bilang oke, saya bisa panggil Prof KH Ali Yafei, dan Gus Dur. Kedua orang yang saya panggil itu tidak mengerti untuk apa dipanggil. Saya hanya bilang datang saja ke rumah. Kumpullah di rumah untuk kemudian ikut perundingan di Istana.
Masalahnya, ketika jumpa di Istana, saya nurut saja sama Tutut dan Hartono yang minta supaya saya jangan masuk. Karena saya orangnya kan sering-sering tidak tahu aturan, suka masuk saja.
Karena dilarang sama Tutut, saya tidak masuk. Jenderal-jenderal ada di luar semua. Ada Wiranto, Hartono, Prabowo, Subagyo semua kumpul di situ. Waktu itu saya tanya sama Wiranto, mengapa mahasiswa digerakkan ke Senayan, mereka kan menjadi tambah kuat dan jadi seenaknya saja, di suplai makanan lagi. Kata Wiranto, kalau tidak dikumpulkan nanti di jalan-jalan malah lebih kacau lagi.
Pertemuan di Istana memutuskan tuntutan mahasis-wa, yakni supaya Pak Harto mundur, dituruti. Di situlah Pak Harto menjawab bahwa kalau memang disuruh mundur tidak masalah sebab tidak menjadi presiden pun tidak pateen (pateen itu sakit puru, dagingnya pincang-pincang). Daripada ribut-ribut oke, silahkan. Kalau mau ambil ya ambillah, kata Pak Harto.
Terus, malamnya ada pertemuan Keluarga Cendana. Keadaan semakin kritis saja. Sebelum diputuskan bahwa Pak Harto mau mengundurkan diri kita sesungguhnya masih terus berusaha mengadakan pendekatan dengan MPR. “Coba saja dengan cara bagaimana yang bisa ditempuh,” kata yang lain kepada saya.
“Bagaimana kalau saya berhubungan dengan Bara-muli saja,” saya bilang. “Ya boleh, coba,” kata mereka lagi. Terus, saya mendatangi Baramuli ke rumahnya. Bara-muli saya kasih tahu keadaannya sudah begini, begini. Bagaimana nih Pak Harto dituntut pula bertanggung jawab. “Lho, Pak Harto kan sudah bertanggung jawab, ini kan belum lama sidang MPR, pertanggungjawaban Presiden sudah ada. Jadi tangung jawab apa lagi,” kata Baramuli.
Saya jawab, “Iya, kalau saya yang ke MPR orang kenal sama saya. Bagaimana kalau Pak Baramuli yang ke sana, mencoba bicara dengan orang-orang di MPR untuk menyelesaikan masalah. Memberi tahu supaya betul-betul menyadari bahwa Pak Harto tidak bisa dimintai pertang-gungjawaban sekarang. Karena baru tiga bulan yang lalu Sidang MPR, baru diangkat menjadi presiden, mengapa sekarang dimintai pertanggungjawaban lagi.”
Setelah berada di gedung MPR, dia kemudian menele-pon saya, memberi tahu, “Aduh, keadaanya sudah lain Pak. Orang-orang semuanya pada tidak ada yang mau membantu Pak Harto. Jadi, bagaimana ini,” kata Bara-muli. “Kalau begitu ya sudah, terserah saja,” saya bilang.
Lalu muncul juga surat pernyataan dari 14 menteri yang menyatakan tidak mau membantu Pak Harto lagi, tidak mau duduk dalam kabinet, dan tidak mau duduk dalam Dewan Reformasi.
Iya sudah besoknya mundurlah Pak Harto pada tanggal 21 Mei 1998 itu. Sebelum itu, waktu Pak Harto ternyata mau mundur, saya tanya sama beliau. “Terus, siapa penggantinya, Mas, siapa yang sanggup?”
“Ya, Habibie mengatakan sanggup, bersedia menjadi presiden,” kata Pak Harto.
Saya tidak percaya lalu saya tanya tanya lagi. “Dia sanggup?”
MTI: Berarti Pak Harto masih sempat berdialog dengan Pak Habibie sebelum mengundurkan diri.
PROBO: Ya, tiap hari berdialog terus mereka itu. Tapi ‘dia sanggup’, sampai begitu saya katakan tetap bertanya.
“Dia mengatakan sanggup, mudah-mudahan,” jawab Pak Harto.
Setelah pengunduran diri Pak Harto, Nurcholis Madjid menelepon saya. “Pak, Habibie diingatkan bahwa dia menjadi pejabat presiden sementara. Jangan terus menganggap dirinya sebagai pengganti presiden defenitif, belum. Dia hanya sementara saja. Pak Probo supaya menelepon dia,” kata Nurcholis.
“Ah, tidak mau,” saya bilang. “Tidak mau lagi ber-hubungan sama orang-orang itu. You-lah hubungi sendiri,” saya bilang.
“Wah, gimana itu nanti kalau dia jadi presiden, jadinya apa negara ini,” katanya. Itulah kata Nurcholis Madjid waktu itu. Saya ingat itu, dia menelepon saya. ti
Suruh Yusril
MTI: Adakah sesuatu yang Pak Harto sampaikan secara khusus kepada Pak Probo, sebelum pengunduran dirinya?
PROBO: Dia kan orangnya tidak banyak ngomong. Cuma dia sering saya tanya. Seperti, memanggil Nurcholis Madjid untuk diajak bicara, bagaimana, maunya apa. Juga ulama-ulama, dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya.
Satu lagi, waktu mau diadakan reformasi, saya yang menyuruh menghubungi ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat, kepada Yusril Ihza Mahendra.
MTI: Mengapa menyuruh Yusril Ihza Mahendra, bukannya Pak Saadillah Mursjid?
PROBO: Karena sudah tidak ada lagi orang yang mau duduk dalam kabinet. Waktu itu banyak juga yang menyampaikan sama saya, meminta supaya didudukkan di dalam Dewan Reformasi.
Jadi tokoh-tokoh yang lain, tidak ada yang mempunyai pengalaman seputar pengundur-an diri Pak Harto 21 Mei 1998, seperti saya. Karena yang berani datang kepadanya cuma saya saja. r ti
Kabar Habibie
MTI: Apakah Pak Harto masih pernah membicarakan kabar tentang Pak Habibie?
PROBO: Tidak. Saya sendiri juga tidak mau menyinggungnya. Habis saya sejak dulu selalu anti dengan Habibie. Saya kan selalu tidak senang dengan Habibie.
Dulu juga sering saya katakan mana bisa Habibie itu dipercaya. Tapi Pak Harto bilang pembangunan yang akan datang adalah Iptek. Jadi pembangunan fisik sudah selesai semua, tinggal yang meneruskan Iptek-nya. Siapa lagi yang ahli dalam Iptek, kan Habibie.
MTI: Jadi, tadinya Pak Harto sudah lama menginginkan Pak Habibie menjadi penerus pembangunan?
PROBO: Ya supaya bisa meneruskan pem-bangunan pertanian, pembangunan nelayan, dan semuanya bisa diteruskan.
Kalau Habibie mau datang ke rumah Pak Harto, itu hingga sekarang masih belum mau diterima. Dan yang disuruh untuk menolaknya ya saya juga. Habibie sama Ginanjar, ini ada tandatangannya. (Menunjuk copy tanda tangan 14 Menteri yang menyatakan tidak bersedia duduk dalam Kabinet Reformasi Pak Harto)
Akbar Tandjung, Hari Raya Lebaran 2004 lalu sudah datang. Dulu waktu Pak Harto masih Presiden tiap sore dia datang ke rumahnya Tutut.
Ada pepatah asal Tapanuli yang cocok menggambarkan posisi Pak Harto dengan pembantu-pembantunya, termasuk Habibie menjelang mundur 21 Mei itu. Yakni, Situnjang na gadap. Molo ho monang marjuji sude mandok lae, molo ho talu marjuji sude mandok te. Pepatah dari Tapanuli itu benar-benar tepat barangkali.
Arti bebasnya, jika seseorang jatuh, semua menginjak. Jika seseorang mnenang judi, semua bilang saudara dan sahabat, tapi bila kalah semua bilang tai.
Atau penggalan pengalaman saya sebagai guru di Pematang Siantar dan Serbelawan. Ada orang tua murid di sana yang menyekolahkan anaknya. Masih SMP anaknya itu, dan selalu diusahakan supaya anaknya itu lulus. “Anak ini tidak mau belajar, nakal akhirnya jadi begini,” kata orangtua itu. Tapi dikatakannya lagi, “Akan lebih susah lagi kalau tidak punya anak, ya, pak?”. “Oh, iya Pak,” saya jawab saja begitu.
Ikut Menghujat
TI: Mengenai mantan orang-orang terdekat Pak Harto yang dahulu ikut-ikutan menghujat, ternyata mereka menjadi manusia kaya raya saat ini. Adakah komentar Pak Harto mengenai mereka?
PROBO: Ya, orang-orang yang dahulu dekat sekali sama Pak Harto, termasuk dekat sama saya, itu sejak Pak Harto mundur tak ada yang mau dekat lagi dengan Pak Harto. Sama saya pun begitu, tidak mau dekat, menjauh semua. Dan nyatanya sekarang mereka menjadi kaya semua.
Pak Harto tidak banyak bicara mengenai mereka. Dulu sewaktu masih sehat pun dia juga tidak mau menjelekkan pembantu-pembantunya itu. Biarlah orang melihat sendiri. Kalau saya melihat kenyataan sendiri bahwa dulu orang-orang yang dekat dengan Pak Harto kini menjadi kaya semua.
MTI: Bisakah disebutkan nama salah seorang saja dari antara mereka?
PROBO: Tidak usahlah disebut namanya sebab rakyat juga sudah tahu. (Bersambung) Majalah Tokoh Indonesia Edisi 24/crs/sh/sp,ms
*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
07 | Probo Sering Kritik Pak Harto
MTI: Sewaktu Pak Harto, berkuasa Pak Probo sering sekali melontarkan kritik-kritik pedas, termasuk peringatan agar tak bersedia lagi dicalonkan menjadi Presiden. Itu pura-purakah atau sungguh-sungguh?
Probo: Banyak orang yang mengatakan itu pura-pura. Tapi benar-benar waktu itu bukanlah pura-pura. Karena saya selalu streng. Saya sebutkan bahwa saya menyadari Indonesia ini didirikan oleh pejuang-pejuang kemerdekaan yang ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya pejuang-pejuang itu sendiri.
Kalau sampai nanti para pejuang tidak bisa menikmati hasil pembangunan mereka akan sakit hati. Kalau sakit hati artinya mereka nanti akan mengadakan perlawanan terhadap pemerintah. Kalau sampai terjadi perlawanan akhirnya akan rusak sendiri. Itulah akhirnya maka saya berani mengkritik itu.
Saya sering dimarahi dan sering beberapa hari, kalau saya datang ke sana tidak ditegur didiamkan begitu saja. Jadi misalnya kursinya seperti segitiga begitu, saya duduk sebelah sana, Pak Harto di sini lalu ada Bu Harto, dia bisa tidak mau melihat kepada saya karena marahnya saya kritik. Jadi saya juga diam saja. Tidak ditegur biar saja saya lalu menonton televisi saja. Begitu terus lalu setelah Pak Harto pergi saya masih saja mennonton televisi datanglah Bu Harto. Dan nantinya Bu Harto cuma ketawa saja begitu.
Jadi saya sering kali ditegurnya, “Kamu itu mengeritik menteri seenaknya saja. Menteri itu kan orang kepercayaan saya. Kamu mengeritik menteri berarti mengeritik saya.” “Ya, nggak begitu Mas,” saya bilang. “Maksudnya saya menteri itu jangan sampai berbuat salah, begitu.”
Waktu itu sering-sering saya didiamkan saja. Menteri-menteri jamannya Pak Harto sama saya juga agak segan tidak berani berbuat macam-macam sehingga kalau saya mau ketemu menteri, menteri itu pasti langsung mau menerima. Karena tahu saya tidak pernah minta fasilitas tapi akan menyampaikan informasi-informasi yang penting. Majalah Tokoh Indonesia Edisi 24/crs/sh/sp,ms
*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)