
[WAWANCARA] – DR Suhardiman pendiri Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) sering disebut sebagai dukun politik. Hal ini terutama dikaitkan dengan seringnya dia membuat geger dengan ramalan-ramalan politiknya yang kemudian terbukti terjadi.
Itu tentang Satrio Piningit misalnya, pertama kali dilontarkan oleh mantan Wakil Ketua DPA tersebut, dan hingga saat ini masih menjadi bahan perdebatan yang seru. Tokoh misterius yang menurut Suhardiman akan muncul setelah era Pak Harto, dan akan membawa bangsa Indonesia ke zaman kemakmuran, ternyata sampai saat ini belum juga menampakkan diri. Bukankah yang dimaksud SBY? Suhardiman menampik kesimpulan seperti itu.
Karena itu, Suhardiman menjadi sosok kontroversial dalam pentas politik di tanah air. Suhardiman seorang politisi yang cukup disegani. Walaupun di tataran kekuasaan, jabatan tertinggi yang pernah dipegangnya hanyalah sebagai wakil ketua DPA, tapi posisi politiknya kadang kala lebih tinggi dari jabatan menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara lainnya.
Menjelang ulang tahunnya yang ke 82, Tokoh Indonesia melakukan wawancara khusus dengan Suhardiman. Berikut ini cuplikannya:
TOKOH INDONESIA (MTI): Usia Anda, bulan 16 Desember 2006 genap 82 tahun. Apa yang Anda lakukan sehingga tetap tampak segar dalam menjalani usia senja?
SUHARDIMAN (SHD): Melakukan olah pernafasan, hirup dalam-dalam, tahan, lalu embuskan keluar. Kenapa? Pernafasan ini sangat penting karena hidup kita dimulai dengan bernafas. Saat meninggal pun, kita juga mengeluarkan nafas. Jadi kuncinya pernafasan. Dalam kehidupan ini, konon oleh Tuhan, kita sudah dibekali sekian juta nafas yang masuk-keluar. Saya juga melakukan Orajira, olahraga jiwa dan rasa. Dalam olahraga, hanya lahiriah yang kita olah, tapi jiwa kita belum.
Saya bukannya takabur. Tapi selama ini dalam hidup saya, nggak ada itu cerita sakit ini, sakit itu. Tapi kenapa saya terkena sakit jantung? Saya lalu terus memperbaiki diri dengan latihan. Karena kebanyakan latihan, output lebih besar dari input. Ternyata dibutuhkan input besar untuk mengimbangi output yang besar. Output saya justru lebih besar daripada input. Output yang paling besar adalah bergerak dalam politik. Dalam politik ‘kan jatuh bangun, makan pikiran dan perasaan. Juga rokok. Rokok kretek saya dulu lima bungkus sehari. Di sini sampai kuning-kuning. Lalu juga fast-food, makanan seperti ampla, dll.
MTI:
Beralih ke hubung-an Anda dengan Bung Karno. Punya catatan menarik dengan beliau?
SHD: Dengan Bung Karno, ya, ketika Munas SOKSI yang pertama. Saya diantar oleh Pak Suprayogi meminta kehadiran Bung karno untuk memberikan amanah. Ditanya, apa SOKSI itu? Saya jawab, organisasi karyawan Pak. Apa karyawan itu? Pekerja, Pak!
Ada tiga syarat yang bapak minta, katanya. Apa itu? Mampu nggak kamu menggelar pagar ayu? Siap, jawab saya. Terus, nanti wanita-wanita cantik harus di depan. Loh kenapa? Kalau yang jelek muak Bapak, katanya. Siap Pak, jawab saya. Terus yang ketiga, bisa tenang nggak? Siap, Pak!
M
Dengan Pak Harto, katanya Anda termasuk yang kecewa?
SHD: Saya dua kali dipanggil Pak Harto ke Merdeka Barat. Dipanggil karena ada urusan. Beliau marah. Saya masuk, “Hardiman! Masuk, duduk.” Baru beberapa menit, ditanyai macam-macam. Ini gara-gara Radius Prawiro, (almarhum), laporannya nggak benar. Terus saya jelaskan.
Yang kedua, ketika saya sedang di Makassar, dipanggil, dimarahin lagi. Saya jelaskan lagi baru reda.
Siapa yang tidak kenal Suhardiman yang ketika menghadapi PKI termasuk nomor satu? PKI jatuh. Siapa yang tidak kenal Suhardiman yang merintis Golongan Karya? Tapi apa yang saya dapat? Mulai dari situ dulu. Manusia itu punya tiga dimensi, sebagai insan Tuhan, pribadi, dan insan sosial. Macam-macam kepentingan bisa saling bertabrakan, tapi harus dipadukan dengan amal. Tapi oleh Pak Harto saya tidak diberikan apa pun. Hanya sebagai anggota Dewan Pembina Golkar. Duduk di DPP, tidak pernah. Pak Oetojo Oesman pernah di DPP. Saya tidak. Tapi sudahlah.
Dulu, ketika baru pulang dari Jepang, saya disurati Pak Haris Suhud (Ketua DPR/MPR) bahwa Pak Dharmono (Ketua Umum Golkar, almarhum) ingin menunjuk saya jadi Ketua Pansus UU Bidang Politik. Saya mengusulkan ayahnya Wijanarko Puspojo. Tapi ditolak. Sumiskum bilang jangan mau Mas Hardiman. Tapi sekretaris saya di DPR mengatakan terima saja.
Biasanya, menggolkan satu undang-undang saja selalu ada promosi. Saya menggolkan lima UU, tapi justru dipindah ke DPA. Jadi anggota biasa. Sedangkan lawan politik saya dari PPP, sekarang sudah almarhum, Hartono Marjono, jadi Wakil Ketua DPR. Sesudah itu saya jatuh sakit, lantas dibawa ke Rumah Sakit. Saat itu Pak Habibie sama Pak Harmoko datang. “Ini ada obat dari Bapak (Pak Harto),” kata Pak Harmoko. Oh ya, terimakasih, lalu saya duduk.
Mereka mengatakan, “Tadi Bapak mengatakan, Pak Hardiman dipercaya menjadi Wakil Ketua DPA.” Dalam batin saya, ini belas kasihan. Jabatan ini dikasih. Ya sudah, saya terima.
Lalu tahun 1993, ada kampanye. Intinya adalah memberikan kesempatan satu kali lagi kepada Pak Harto sebagai “pilot bangsa’. Jadi cukup 1993 sampai 1998. Tapi setelah itu, oleh Harmoko dikipas-kipas lagi. Akhirnya mau lagi. Hanya berapa bulan, jatuh.
MTI:
Pengalaman di saat detik-detik kejatuhan Pak Harto. Posisi Anda bagaimana?
SHD: Malam-malam, anak saya Bobby yang sekarang di DPR mengatakan, Pak Harto mau mengundurkan diri. Lho, kenapa mengundurkan diri? Ah, saya mau bicara dengan Mbak Tutut. Hubungkan. Bagaimana Mbak Tutut, tanya saya. Ah jangan, nggak usah ketemu. Takutnya berubah lagi, kata Tutut.
Ternyata belakangan, Pak Harto mendengar bahwa orang-orang kepercayaan-nya seperti Harmoko, Habibie, Ginanjar, Akbar Tandjung menolak mendu-kung Pak Harto. Akhirnya Pak Harto mengundurkan diri.
MTI:
Bagaimana perasaan Anda terhadap Pak Harto setelah lengser?
SHD: Pada zamannya Pak Harto, saya tidak ada budaya sowan. Paling-paling setahun sekali, dan itu bersama ribuan orang yang tengah halal bihalal. Tapi pada waktu jatuh, kurang lebih sepuluh hari, saya minta waktu ketemu. Saya datang. Saya tanya: bagaimana kader-kader yang Bapak percaya itu? Masih setia nggak kepada Bapak? Maaf Pak, satu persatu mereka meninggalkan Bapak. Pak Harto diam saja
M
Pernah minta tolong atau sesuatu kepada Pak Harto?
SHD: Pernah. Saya minta bantuan. Beliau kan punya tiga yayasan. Saya mohon bantuan satu M (milyar-Red). Tapi, katanya, sudah terlambat. Terlambat bagaimana? Alasan Pak Harto, yayasannya sudah diserahkan. Lho, yayasan kok diserahkan? “Daripada ramai-ramai, saya mau tiarap saja,” kata Pak Harto. Jadi di zaman Pak Harto saya tidak diberi apa-apa, tapi saya berterima kasih.
MTI:
Ketika mendirikan SOKSI, Anda sudah anggota ABRI dan berpangkat Mayor. Apa latar belakang pendirian SOKSI ketika itu
SHD: Sebelumnya saya ‘kan bergerak juga di bidang perburuhan. Ketika saya menjadi sekretaris Banas, itu menyangkut perburuhan. Maka akhirnya saya mendirikan suatu badan atau lembaga, yang pokoknya bisa menghimpun buruh. Tujuannya, saya harus bisa dan saya punya karyawan, karyawan buruh, karyawan tani, karyawan cendekiawan. Pokoknya manusia karya.
Saya mengajak (Almarhum) Sukamto Sayidiman, tidak mau, ya sudah saya jalan sendiri. Akhirnya saya menjadi ketua pembina. Terus, waktu Mubes di Palembang, di sana sampai jam tiga malam memikirkan apa kelanjutan organisasi ini? Saya tugaskan dua orang, sekarang masih hidup tapi sakit-sakitan, Adolf Rahman dan Suwignyo (alm) dari Perkaten, Perkebunan. Tapi macet.
MTI:
Akhirnya Anda sendiri yang merumuskan?
SHD: Tadi ‘kan saya bilang, inspirasi saya lebih tajam daripada otak saya. Ya, sudah SOKSI saja. Apa SOKSI itu? Pada waktu itu Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia. Tapi sosialis Pancasila, bukan sosialis PSI. Mula-mula begitu. Jadi, di dalam SOKSI yang terpenting adalah kader, pengkaderan. Keliling ke daerah-daerah untuk pengkaderan pemimpin bangsa, bukan kader SOKSI. Walau oleh SOKSI tapi ini untuk bangsa. Karena itulah, sampai bebe-rapa angkatan kader-kader SOKSI banyak yang menjadi kader bangsa.
M
Sepeninggal Anda, pamor SOKSI agak tengge-lam. Kenapa?
SHD: SOKSI ‘kan sudah 30 tahun. Lalu saya wariskan ke Oetojo Oesman, waktu itu Menteri Kehakiman. Mengapa? Salah satu pertimbangan saya bukan karena otaknya, tapi karena leadership-nya. Dia punya duit, ya Menteri Kehakiman. Sebab ketua atau pimpinan tanpa duit tidak baik karena akan kurang berwibawa. Sebab kalau kader datang minta bantuan harus ada duit. Kalau tidak ada duit, janganlah. Tapi Oetojo tidak pernah melakukan pendidikan kader bangsa. Tidak pernah bikin kejutan-kejutan. Lalu anak saya Bobby yang di DPR, mengerti pikiran saya, ganti. Anak saya itu naluri-nya tinggi. Intisarinya, kalau ganti, penggantinya Syamsul Muarif. Ya, sudah, serah-kan saja sama yang muda.
MTI:
Dalam Deklarasi Politik SOKSI baru-baru ini disebut-sebut perlunya reformasi jilid kedua. Bisa dijelaskan?
SHD: Jadi begini. Reformasi ‘kan sudah 8 tahun. Tapi, apa hasilnya? Begini-begini saja. Kenapa demikian? Reformasi pertama yang saya katakan jilid satu adalah reformasi di bidang politik. Tapi ternyata salah kaprah. Akhirnya justru menimbulkan krisis, 13 krisis. Krisis di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum dan lainnya. Nah, ini bundar, yang ke-13 itu di tengah yaitu budaya. Bundarannya adalah krisis budaya.
Budaya kita adalah budaya tahu diri, tapi kita nggak tahu diri. Budaya kita adalah budaya tahu malu tapi kita nggak tahu malu. Korupsi, semuanya nggak mau tahu, tidak tahu malu. Budaya kita adalah budaya nrimo, nrimo yang santun tapi serakah. Budaya kita hidup serasi, selaras, seimbang, tapi selalu konflik. Jadi reformasinya harus ditingkatkan menjadi reformasi budaya.
Transformasi dan reformasi budaya yang pernah tahun 1988 itu telah saya lontarkan. Sekarang harus ada reformasi budaya, mental bangsa. Ini kan sakit mental, sekarang korupsi besar-besaran.
MTI:
Menurut Anda, situasi politik tahun depan seperti apa?
SHD: Sekarang ini tantangan berat terjadi di berbagai bidang kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan seterusnya. Keadaaannya sedemikian rupa, bencana alam pun terus mendera. Terakhir ini ada lumpur panas Lapindo, lalu asap. Ini sebenarnya gejolak alam. Jadi sulit ditanggulangi. Artinya, memang harus kita lalui, suatu proses yang harus dijalani oleh bangsa ini, ujian.
Mudah-mudahan saya salah, tahun 2007 nanti akan banyak orang teriak-teriak dan turun ke jalan, akhirnya pemerintah jatuh. Karena periodenya belum habis, maka bisa dibentuk pemerintahan sementara, presidium. Nah, dari presidium itulah nanti akan muncul orang yang tidak diduga-duga. Tidak disangka-sangka muncul sebagai pemimpin yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mula-mula sih bodoh, tapi diridhoi. Ini yang dinamakan Satrio Piningit.
MTI:
Bukankah SBY Satrio Piningit yang dimaksud?
SHD: Bukan… bukan!
MTI:
Jadi Anda memperkirakan tahun 2007 akan terjadi peristiwa dramatis?
SHD: Mudah-mudahan saya salah. Ujian terberat di bulan Desember 2006 ini. Alam mengganggu, ekonomi begini, asap, pengangguran dan sebagainya. Kalau SBY tidak bisa mengatasi, 2007 nanti masyarakat akan turun ke jalan. Nggak bisa dibendung dan saat itu muncullah Satrio Piningit.
MTI:
Satrio Piningit itu kira-kira siapa? Sosoknya seperti apa, bisa digambarkan?
SHD: Belum bisa. Seperti namanya, ya masih dipingit oleh Tuhan.
M
Kembali ke masa-lah ketatanegaraan. SOKSI juga menyatakan perlunya amandemen UUD 1945 yang kelima. Untuk apa?
SHD: Jadi begini, kepemimpinan reformasi itu kan Amien Rais, antara lain. Amien Rais itu kan nama Arab, dalam bahasa Jawa sebetulnya amino ora iso. Artinya, akhirnya gagal. Empat kali amandemen. Sekarang simpel saja, UUD 45 seratus persen dibuat negarawan. Negarawan semuanya. Kalau negarawan itu kan memikirkan kepentingan bangsa dan negara, dan ini yang diubah oleh Amien Rais. Itulah politikus-politikus. Yang di DPR-MPR itu politikus semua. Politikus itu ‘kan untuk kepentingan golongan atau kelompok.
UUD 45 disalahkan, perlu diubah, terjadilah amandemen. Sebenarnya bukan UUD 45–nya, tapi manusianya yang salah menjabarkan. Dalam disertasi saya tahun 1971 saya sebutkan, untuk mewujudkan UUD 45 itu berapa lama agar menjadi kenyataan. Dalam disertasi itu saya sebutkan, bangsa kita dijajah tiga setengah abad maka perlu ditebus dalam satu abad. Contoh, Amerika Serikat, didirikan oleh para pemimpinnya dua abad yang lalu. Terus revolusi industri, itu juga satu setengah abad, di Perancis juga di Inggris. Restorasi Meiji di Jepang juga satu abad. Jadi saya tegaskan penjajahan di Indonesia harus ditebus dalam satu abad. Sementara ini, perjalanan kita baru setengahnya. Maka saya merasa yakin, karena prosesnya harus kembali ke amandemen yang kelima, dekrit, seperti Bung Karno dengan dekritnya kembali ke UUD 45. Sekarang, siapa pemimpin yang berani dekrit?
M
Anda menilai Presi-den SBY tidak berani?
SHD: Saya nggak bilang deh. SBY itu seorang pemikir. Tapi yang dibutuhkan dari seorang pemimpin yang lima itu. Dekrit itu kan butuh keberanian. Jadi, justru dekrit itu dari presidium. Masalahnya pada pelaksanaan UUD 45 yang terus berkembang, tiap abad, tiap 10 tahun, berkembang. Yang sebenarnya, tiap-tiap pasal termasuk pembukaan, mestinya pakai adendum, bukan diubah, tapi diberi penjelasan, bukan diubah total.
MTI:
Termasuk soal pemilihan presiden, masa jabatan presiden?
SHD: Ya, itu juga yang perlu kita pertanyakan. Berdasarkan UUD 45, seluruh lembaga negara itu diperintah dan diatur melalui UU. Tapi lembaga kepresidenan tidak diatur.
Nah mengapa? Dalam UUD 45 itu, menurut saya, yang paling berkuasa adalah MPR. Jadi tergantung MPR sendiri. Bisa saja baru sebulan atau dua bulan sudah bisa diganti karena dinilai tidak becus.
MTI:
Sebagai pelaku sejarah, bagaimana Anda melihat kurikulum sekarang ini?
SHD: Ketika Gus Dur menjadi presiden, belum ada sebulan, sudah mau mengganti Tap MPRS No. 25/1966. Tapi kan lebih bagus mengubah penjelasannya sedemikian rupa sehingga kita tidak dendam kesumat sampai sekian abad terhadap PKI, terhadap komunis. Harus ada batasnya.
Mengenai kurikulum, mula-mula ada dua pemikiran. Ini perlu kita luruskan. Ini Gestapu dan Gestok, apa bedanya? Jikalau Gestapu, lengkap Gestapu/ PKI, Gerakan 30 September PKI. Kalau Gestok, itu militer. Sekarang ada perempuan anggota DPR yang merasa bangga menjadi anak PKI. Itu yang saya katakan komunis gaya baru (KGB). Harus hati-hati. Komunis tidak akan pakai bendera PKI, bodoh, orang sudah tahu sekian lama kok. Mereka bisa masuk melalui berbagai cara. Malah beberapa bulan yang lalu terjadi di Bogor.
MTI:
Antara lain dengan beredarnya baju bergambar palu arit?
SHD: Ya, pokoknya dalam doktrin komunis tidak ada istilah gagal. Kalau gagal pasti akan diulangi lagi.
MTI:
Melihat percaturan global yang ditandai kebangkitan ekonomi Cina, akankah terjadi era perang dingin baru?
SHD: Kalau saya melihat yang akan masuk orang ku-lit kuning. Jadi yang meng-uasai adalah kulit kuning seperti Jepang, Singapura, Hongkong, Korea Utara, Korea Selatan. Sekarang ada Cina overseas yang menguasai. Nah, ini ‘kan menyeluruh. Jadi nantinya perebutan kekuasaan antara kuning sama Yahudi. Yahudi ini juga merayap ke mana-mana. Amerika itu ya Jahudi. Jadi itulah, kita juga harus memperhatikan Cina yang pesat sekali kemajuannya. Jangan menolak, begitulah.
M
Itu berarti perseteruan kapitalis dan komunis sudah pupus?
SHD: Kita sekarang menganut sistem multi partai, masing-masing punya ideologi. Ada yang liberalis, ada yang ini, itu. Jadi sekarang, Pancasila bukan lagi satu-satunya azas. Demokrasi kita juga sudah menyimpang jauh dari Pancasila. ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan. Kemarin perwakilan tapi sekarang nggak lagi, sudah pemilihan langsung. Ini kan sudah menyimpang dari Pancasila.
Demokrasi kita itu ada dua, pemilihan langsung dan tidak langsung. Pemilih-an langsung itu di mana rakyat, seperti zaman Be-landa, kelurahan itu dipilih rakyat, itu masih ada. Tapi sekarang terdiri dari beribu-ribu pulau, bagaimana? Memilih RT nya saja belum bisa. Konsep negara kesatu-an kita tidak murni lagi. Sekarang ada perwakilan daerah yang diketuai oleh Ginanjar yaitu DPD. Ini kan semacam federal. Jadi negara kesatuan kita tidak seperti dulu lagi.
MTI:
Lebih mengarah kepada semi parlementer?
SHD: Ya. Juga mengenai kekuasaan. Dulu yang lebih berkuasa adalah presiden. Sekarang tidak lagi, bahkan DPR kini lebih berkuasa dari presiden.
MTI:
Kita juga sudah melaksanakan otonomi daerah. Komentar Anda?
SHD: Otonomi ini kebablasan, demokrasi kita juga kebablasan.
MTI:
Negara kan harus punya visi, bukan visi partai, bukan pula visi presiden. Apalagi Garis-Garis Besar Haluan Negara tidak ada lagi. Tanggapan Anda?
SHD: Memang sekarang yang menonjol adalah visi kelompok, golongan, visi partai. Berapa jumlah partai sekarang? Jadi kuncinya adalah bagaimana agar masing-masing pemimpin menempatkan diri sebagai pemimpin bangsa. Mulai sekarang para tokoh-tokoh kita harus sepakat kembali ke UUD 45.
Mereka harus menjadi tokoh Indonesia murni bukan tokoh golong-an, bukan tokoh partai. Tapi rupa-rupanya, kita kan black out leadership yang sekarang ini. Perjalanannya memang sulit. Masing-masing tokoh kita harus mau meninggalkan partai-nya. Misalnya, saya memang pimpinan SOKSI tapi harus tetap menjadi milik bangsa. Jadi beda dalam mengambil keputusan.
M
Konsep Anda tentang kepemimpinan itu seperti apa?
SHD: Menurut saya, ada lima peran seorang pemim-pin. Pertama, ia harus mampu menjadi seorang bapak, mengondisikan sedemikian rupa sebagai seorang bapak, sehingga walau tanpa mengkomando, anak buah sudah ngerti. Kedua, seorang pemimpin juga harus bisa menjadi wali, mewakili kepentingan yang di wakilinya. Ketiga, seorang pemimpin harus menjadi seorang guru, mendidik anak didiknya untuk maju ke depan.
Keempat, seorang pemimpin juga harus bisa menjadi teman. Kelima, seorang pemimpin juga harus mampu sebagai komandan. Seorang komandan itu, jika anak buahnya berjasa harus diberikan balas jasanya yang setimpal dengan jasanya. Jangan pilih kasih. Tapi kalau salah, juga harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya.mti/sh-tum-wes
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)