Jangan Berhenti Membangun Diri

 
0
122
Jangan Berhenti Membangun Diri
Syaykh Panji Gumilang | TokohIndonesia.com | Hotsan

[WAWANCARA] – IDUL FITRI 1428 H: Di antara sekian banyak rahmat Allah salah satunya berkenaan dengan masalah persaudaraan dan persahabatan. Ditegaskan bahwa seluruh kaum beriman itu bersaudara. Dalam beragama intinya jangan saling bercerai-berai atas namanya dan pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok yang merespon rahmat Ilahi sajalah yang dapat menghindari pertikaian dan pertengkaran.

Hal itu dikemukakan Syaykh al-Zaytun AS Panji Gumilang dalam Khutbah ‘Ied Al-Fithri 1428 H/2007 M di Kampus Al-Zaytun, 01 Syawwal 1428 H / 13 Oktober 2007 M.

Pada bagian awal khutbahnya, Syaykh al-Zaytun A. S. Panji Gumilang mengatakan Alhamdulillaah, pada hari ini Sabtu 13 Oktober 2007, kita dikaruniai kesempatan besar oleh Tuhan untuk dapat melaksanakan shalat ‘Idul Fithri 1 Syawal 1428 H setelah berkesempatan melaksanakan shaum Ramadlan selama sebulan.

Pelaksanaan hari raya/’Idul Fithri kali ini, lagi-lagi ummat Islam Indonesia tidak dapat sepakat melaksanakannya dalam hari yang sama. Sehingga dalam realitanya terjadi dua hari raya/’Idul Fithri yang berbeda, satu golongan berhari raya pada hari Jum’at, dan satu golongan lainnya pada hari Sabtu. Tentang perbedaan ini banyak orang berpesan agar masing-masing yang berbeda dapat saling memahami dan memaklumi. Sekalipun sebelum perbedaan ini terjadi banyak orang pula berharap, kiranya ‘Idul Fithri itu dapat terjadi dalam satu hari yang sama.

Agama-agama di dunia ini mempunyai hari raya masing-masing. Hari dan pelaksanaannya telah baku, semua bersumber dari ajaran maupun tradisi masing-masing, mestinya termasuk juga hari raya Islam (‘Idul Fithri/’Idul Adlha).
Mungkinkah sumber syariatnya menghendaki untuk berselisih dalam menetapkan ‘Idul Fithri? Kalau ‘Idul Fithri itu merupakan syariat/ajaran Ilahi, tentunya tidak mungkin terjadi perselisihan dalam menetapkannya, karena inti syariat Ilahi sesungguhnya tidak menghendaki perselisihan atas nama agama, Q.S. 42/13 (Asy-Syura).

Tuhan telah mensyariatkan untuk kamu tentang agama, sesuatu yang sama telah diwasiatkannya kepada Nabi Nuh, dan yang telah kami wahyukan kepadamu, dan sesuatu yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi ‘Isa, agar kamu semua menegakkan agama itu dan janganlah kiranya kamu semua berselisih/berpecah-belah dalam beragama. Sangat berat bagi orang-orang musyrik tentang beragama (tanpa perpecahan) yang kamu serukan kepada mereka.

Allah menetapkan dengan pilihan-Nya kepada ajaran agama (tanpa perpecahan) kepada orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada agama (tanpa perpecahan) untuk orang yang mau kembali (kepada agama tanpa perpecahan).

Atau sangat boleh jadi untuk menetapkan hari raya agung yang sama, merupakan sesuatu yang amat sulit, karena tuntunan Ilahinya sangat sulit untuk didekati, dan menyulitkan? Sesungguhnya jika kita dekati lebih serius ajaran shaum (memulainya) dan menutupnya (menyu¬dahinya), sung¬guh sesuatu yang tidak menyulitkan, ajarannya jelas, ungkapannya pun jelas, ayat Al-Qur’an yang jelas ini, mestinya tidak menyulitkan bagi orang yang ikhlash mengikutinya, Q.S. 2/185 (Al-Baqarah).

Bulan Ramadlan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang benar dari yang salah). Maka barangsiapa di antara kamu telah menyaksikan bulan Ramadlan itu, maka hendaknya melaksanakan puasa di dalamnya. Dan barangsiapa berada dalam keadaan sakit atau dalam suatu perjalanan (bepergian), maka hendaknya melaksakannya di hari-hari lain (bulan selain Ramadlan). Allah menghendaki sesuatu kemudahan bagi kamu sekalian, dan tidak menghendaki suatu kesukaran bagi kamu sekalian dan hendaklah kamu semua menyempurnakan/mencukupkan bilangan (bulan Ramadlan) dan hendaklah kamu semua mentakbirkan Allah atas petunjuk-Nya yang jelas itu untuk kamu semua, dan hendaknya kamu bersyukur (tidak berselisih).

Jangan-jangan, perselisihan yang terjadi itu hanyalah berdasar ketidakmampuan mengendali ego golongan atau kebanggaan golongan, justru hal tersebutlah yang harus dijauhkan dalam beragama karena jika kita terjebak dalam sikap egois dan saling membanggakan golongan, justru suatu ciri bahwa itu merupakan sikap musyrik, Q.S. 30/31-32 (Ar-Rum).

Advertisement

Dan janganlah kamu semua menjadi orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang suka memecah agama mereka (termasuk menjalankan ‘Id yang berbeda-beda hari kalau itu diyakini sebagai ajaran agama) dan mereka menjadi bergolong-golongan, tiap-tiap golongan dengan apa yang ada pada mereka, mereka berbangga-bangga.

Betulkah Tuhan akan menganugerahkan rahmat dan kemudian tidak murka kalau ummat Islam berselisih dalam perkara prinsip beragama (termasuk menetapkan awal dan akhir Ramadlan maupun ‘Id)? Atau jangan-jangan ‘Idul Fithri dan shaum Ramadlan itu sendiri tidak prinsip lagi sehingga ummat Islam Indonesia merasa bangga jika berselisih dan menganggap biasa-biasa saja tanpa beban di hadapan Tuhan?

Sesungguhnya betapa gampang dan tidak susahnya menetapkan awal puasa dan ‘Idul Fithri jika ummat Islam Indonesia mengimani Al-Qur’an dengan sedalam-dalamnya. Di negara Indonesia memiliki suatu lembaga negara yang sah, yakni Depag di sana terdapat Dirjen Bimas Islam, bid’ah-kah jika ummat Islam Indonesia mengamanatkan ketetapan permulaan Ramadlan dan ‘Idul Fithri kepada Depag, kemudian ummat Islam Indonesia menaati ketetapan itu? Atau mungkin karena tidak termasuk ulil amri, lantas ketetapannya boleh ditentang, dan lebih baik ulil amri-nya adalah golongan ma¬sing-masing?

Apakah ummat Islam Indonesia lebih memilih, perselisihan ummat itu sebagai rahmat (termasuk berselisih dalam ber-‘Idul Fithri), dan menganggap keseragaman pelaksanaannya adalah tidak dirahmati, bahkan mungkin dilaknat? Seyogyanya kita semua ummat Islam Indonesia kembali kepada ajaran Ilahi dengan sukarela yang direlakan, dan kembali menjadi ummat yang satu (minimal dalam ber-‘Idul Fithri).

Alangkah indahnya di dalam negara yang majemuk ini pimpinan negara dapat memberikan ucapan/pidato sambutan bagi setiap hari raya agama-agama di Indonesia ini. Hari raya ummat Islam ‘Idul Fithri (karena pelak¬sanaannya tidak berbeda hari) presiden memberi ucapan (mungkin minal ‘aidin wal faizin, maaf lahir dan batin).
Tatkala hari raya Natal, menyampaikan selamat hari kelahiran Nabi ‘Isa al-Masih, dan tatkala hari raya agama-agama lainnya menyampaikan ucapan selamat dan pesan-pesan khusus seorang pemimpin negara kepada ummat beragama.

Sehingga hari raya menjadi hari besar dalam arti yang seluas-luasnya bagi ummat beragama di Indonesia ini dan juga bagi para pemimpinnya. Semoga tahun-tahun mendatang, tidak lagi terjadi perselisihan yang tidak dapat disatukan dalam menentukan hari shaum dan hari raya ‘Idul Fithri minimal untuk Indonesia.

Potret Ummat Islam Bangsa Indonesia
Potret ummat Islam bangsa Indonesia hari ini sangat ditentukan dan diwarnai oleh masa lalu perjalanan sejarah bangsa itu sendiri, karenanya kita mestinya mampu membaca proses perjalanan sejarah itu, sehingga kita mampu mengevaluasi diri kemudian kita tulis sejarah masa depan dengan amal soleh yakni sikap dan tindakan yang selalu konsern kepada / terhadap kebaikan dalam arti luas.

Mengapa hal ini menjadi suatu keharusan, sebab ummat Islam bangsa Indonesia sekarang ini banyak sekali yang bangga terhadap warisan-warisan masa lalu. Tapi disayangkan, kebanggaan itu tidak diikuti oleh etos membaca warisan-warisan tersebut. Pengetahuan terhadap warisan-warisan tersebut terbatas pada nama-nama kalau itu seorang tokoh, hanya dibaca buku-buku atau ajaran-ajarannya tetapi tidak dibaca hal-hal yang berkenaan dengan sejarahnya.

Di dalam pembahasan sejarah dunia Islam di kurun abad ke-14, nama Indonesia belum, bahkan tidak disebut, walaupun di abad itu Aceh sudah mengenal Islam menandakan di tataran dunia Islam ketika abad itu memang sangat terbatas keberadaan Islam di Indonesia. Perjalanan sejarah menuju abad ke-14 itu diwarnai oleh banyak kejadian.

Abad ke-8 Thariq bin Ziad berhasil menguasai Spanyol, dan Muhammad bin Al-Qasim berhasil menaklukkan India (Khilafah Al-Walid ibn Abd Malik). Dapat dibayangkan, ketika Spanyol dan India jatuh ke tangan muslim, Indonesia terutama orang-orang Jawa sedang sibuk mempersiapkan berdirinya candi Borobudur sebagai monumen Budha, satu abad kemudian orang-orang Hindu mendirikan candi Loro Jonggrang.

Sekitar empat abad kemudian (tahun 1111 M) ketika Al-Ghazali wafat, di Indonesia sedang berdiri kerajaan Kediri dengan seorang raja bernama Jayabaya. Setelah dua ratus tahun Al-Ghazali wafat, 1297 M, kerajaan Majapahit berdiri, dan baru habis pada tahun 1478 M. Dapat dibayangkan ketika India sudah enam ratus tahun dalam kekuasaan muslim, nusantara (Jawa) masih menghasilkan sebuah kerajaan Hindu yang jaya. Baru pada sekitar abad ke-15 Gresik, Sedayu (Jawa) masuk Islam yang kemudian menyebarkannya ke daerah timur.

Dari itu, dapat dipahami mengapa sosiolog muslim Ibnu Khuldun dalam karyanya yang masyhur Muqaddimah Ibnu Khuldun tidak berbicara tentang Indonesia. Jangankan Ibnu Khuldun, orang-orang Arab sebelum perang dunia II saja masih banyak yang tidak paham bahwa di Indonesia banyak orang Islam. Biasanya sejarawan (ahli sejarah) Indonesia menetapkan jatuhnya Majapahit (1478 M) merupakan titik awal kebangkitan kekuasaan kesultanan muslim di tanah Jawa.

Belum lagi menata kekuatan ummat di bidang pendidikan maupun ekonomi secara “sempurna”, di awal abad ke-16 bangsa-bangsa Eropa mulai mengembangkan sayap kolonial¬nya ke wilayah-wilayah Asia Tenggara, termasuk kepulauan Indonesia.

Portugis menduduki bumi Maluku dan Ambon (1511 M) disusul Spanyol pada 1521 M, selanjutnya bangsa Inggris memasuki Ternate, dan pada 1596 M Belanda menginjakkan kaki kolonialnya di tanah Jawa, yang kemudian dengan gerakan kolonialnya, Belanda mampu menguasai bangsa-bangsa Eropa lainya dan secara paripurna menguasai kepulauan Indonesia menjadi negara jajahannya. Dan baru pada 1949 Belanda menyerahkan negara Indonesia yang diproklamasikan kemerdekaannya pada 1945.

Bermakna lebih dari 350 tahun Indonesia terjajah, itu artinya selama itu pulalah ummat Islam bangsa Indonesia hidup dalam penjajahan. Selama itu pulalah (lebih dari 350 tahun) ummat Islam bangsa Indonesia menjadi ummat yang selalu bertahan, melindungi anak turunnya (generasinya) agar selamat dari segala usaha kepunahan, akibat penjajahan. Pertahanan yang tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki oleh kekuatan penjajah. Sesungguhnya kondisi ummat Islam bangsa Indonesia dalam masa penjajahan ini dapat dikatakan porak poranda, dipandang dari sisi pendidikan maupun ekonomi, yang tersisa hanyalah keimanan dan keyakinan bahwa aku dan generasiku harus tetap menjadi muslim seperti apapun keadaannya, itulah buah bertahan yang tersisa dan dari situ pula start membangun diri kembali.

Biasanya masa penjajahan yang terlalu lama akan menyisakan efek negatif di kemudian hari, diperlukan usaha kuat untuk mengeliminir efek negatif tersebut. Pada hakikatnya penjajahan adalah perbudakan, karenanya bangsa jajahan adalah bangsa yang diperbudak. Usaha memerdekakan diri dari penjajahan adalah usaha terhormat di sisi Allah dan ummat manusia, karenanya kita syukuri kemerdekaan yang kita miliki ini tentunya dengan usaha follow up dari kemerdekaan. Indonesia dan ummat Islam di dalamnya suatu yang tak terpisahkan.

Dahulu orang Yahudi pernah menjadi jajahan/budak bangsa Mesir ratusan tahun lamanya, karena itu pada waktu itu sulit sekali mereka berdisiplin, dan dalam menetapkan hukum cenderung keras, walhasil penjajahan / perbudakan yang terlalu lama dapat mengubah sikap mental yakni bermental budak, tidak suka mengikuti aturan, tidak disiplin, semrawut, ingin menang sendiri, dan sulit bertoleransi.

Mungkin efek negatif semacam itu juga masih tersisa dalam kehidupan ummat Islam bangsa Indonesia yang juga pernah terjajah / diperbudak ratusan tahun lamanya oleh bangsa Belanda dan lain-lain. Ciri-ciri yang diungkapkan tadi masih sering kita lihat dan rasakan. Mungkin termasuk ketidakmampuan menetapkan ‘Idul Fithri dalam satu hari yang sama karena terlalu vested interest dan ingin menang sendiri, sehingga kalimatun sawa’ / common platform yang semestinya wujud kenyataannya pecah.

Jangan Berhenti Membangun Diri
Di antara sekian banyak rahmat Allah salah satunya berkenaan dengan masalah persaudaraan dan persa¬habatan. Ditegaskan bahwa seluruh kaum beriman itu bersaudara. Dalam beragama intinya jangan saling bercerai-berai atas namanya dan pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok yang merespon rahmat Ilahi sajalah yang dapat menghindari pertikaian dan pertengkaran, Q.S. 11/118-119 (Hud).

… Mereka tidak akan berhenti bertengkar, kecuali mereka yang telah mendapat rahmat dari Allah.

Dalam kaitan membangun diri, marilah kita semua berharap untuk mendapatkan yang terbaik berdasarkan sikap saling mengerti dan karena kerinduan yang tulus kepada kebenaran, kebersamaan, dan persatuan.

Dan untuk mencapai keadaan yang lebih baik dari keadaan sekarang ini tentu saja memerlukan persiapan-persiapan. Persiapan-persiapan berbentuk daya upaya, kekuatan jasmani, rohani, pengorbanan harta benda, maupun kemampuan lain yang kita miliki.

Semua persiapan-persiapan itu harus kita wujudkan dalam program membangun masa depan, memfokuskan segala dana yang kita punyai kepada usaha mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan, sesuatu yang diistilahkan oleh ajaran Ilahi sebagai al-‘aqabah, yaitu jalan yang mendaki lagi sukar. Memang mengangkat harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan itu merupakan sesuatu yang sangat prinsipil. Bila saja kita memiliki keberanian dan kreativitas untuk menuju program tersebut (dan sememang¬nya harus ditempuh). Sangat boleh jadi sesuatu perubahan yang terprogram akan dapat diwujudkan.

Dalam ajaran Ilahi tentang al-‘aqabah itu menyangkut berbagai hal tentang:

Pertama, membebaskan perbudakan
Pada dasarnya ummat manusia di sisi Tuhan itu adalah sama kedudukannya, yang kemudian manusia itu bisa tampil menjadi budak atau diperbudak adalah terciptanya suatu kesenjangan di antara ummat manusia itu sendiri. Sebagian telah berkemampuan untuk mencapai kecerdasan hidup ditopang oleh penguasaan ilmu dan kemahiran/ketrampilan sedangkan di lain pihak tidak memiliki kesempatan untuk itu. Dari kesenjangan inilah sesuatu yang terjadi menjadi sangat antagonistis.

Dalam kehidupan kita sebagai bangsa sering kita menyaksikan kelemahan yang ada pada sebagian warga bangsa ini nyaris menjadi suatu keabsahan untuk diposisikan seperti “budak” dan pihak yang kuat tampil sebagai tuan yang punya “hak” untuk memperbudak. Kehidupan yang menampilkan potret budak maupun perbudakan ini sesungguhnya bersumber dari kesenjangan pendidikan maupun moralitas.

Sejarah bangsa Indonesia, mengalami keterjajahan selama berabad-abad, diperbudak oleh penjajah masa yang panjang diperlakukan sebagai budak oleh penjajah nampaknya ikut mempengaruhi jiwa bangsa, sehingga sikap perbudakan itu selalu tampak dalam kehidupan keseharian.

Dalam pergaulan antar bangsa sampai saat ini bangsa Indonesia masih menampilkan aktivitas potret perbudakan. Contoh, berduyun-duyunnya tenaga kerja Indonesia yang mencari kerja ke luar negeri, posisi pekerjaan mereka mayoritas menempati posisi yang memberi kesempatan kepada pengguna jasa sebagai “tuan” yang berkesempatan memperbudak tenaga kerja Indonesia tersebut. Suatu contoh pekerja-pekerja Indonesia yang datang ke negeri jiran yang sering diucap sebagai negara serumpun, belakangan ini sering kita dengar mendapat perlakuan sebagai budak dan bukan sebagai pekerja yang terhormat.

Kalau ditelusuri, negeri jiran kita itu sesungguhnya juga merupakan negara bekas jajahan juga, cukup lama mereka dijajah sama halnya mereka pernah diperbudak oleh penjajah, karenanya juga memiliki jiwa budak yang belum sepenuhnya pulih.
Kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan menurut pandangan bangsa Indonesia itu kalau kita telusuri penyebabnya adalah:

Pekerja-pekerja yang datang ke negeri jiran itu memposisikan pada strata budak. Andainya yang datang ke negeri jiran itu pribadi-pribadi terdidik berketrampilan tinggi, seperti yang pernah terjadi pada tahun 70-an / 80-an, maka mereka akan diposisikan sebagai tuan. Memang sifat / jiwa budak yang tertanam belum hilang sepenuhnya, lantas punya kesempatan menjadi tuan, maka perlakuan/ kelakuan mereka menjadi seperti tuan yang berhak memperbudak orang lain.

Karenanya mari kita sikap bersama dengan meletakkan program fakku raqabah, membebaskan perbudakan dengan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya di dalam negeri dan memperluas kesempatan pendidikan sehingga bangsa kita menjadi bangsa yang trampil dalam hidup dan cerdas dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada.

Kedua, memberi makan pada hari kelaparan
Hari-hari / bulan-bulan lapar di Indonesia sangat jelas dapat dibaca dan disimak bila saja perhatian diarahkan secara serius. Bulan-bulan lapar biasanya disebabkan oleh musim kering, tidak tersedia air untuk kepentingan pertanian. Atau sebaliknya, karena kebanyakan air, karena banjir. Bulan-bulan itu biasanya bermula dari bulan Agustus – Januari. Agustus musim kering, tak dapat bertanam pangan dan bulan Januari kebanyakan air, tanaman pangan terendam air. Kejadian-kejadian itu pasti datang, namun semuanya hanya dikeluhkan, bukan dibuat solusi penyelamatan.

Lagi-lagi, penanggulangannya selalu jangka pendek, berupa bantuan pangan, maupun uang tunai, sesuatu yang tidak dapat menyelesaikan dan meminimalisasi penyebab kelaparan yang berjangka panjang.

Semestinya segala dana yang ada diperuntukkan bagi pembangunan pengairan/ irigasi yang dapat mendatangkan air, dan menciptakan penampungan air yang dapat me¬nang¬gulangi banjir yang mematikan. Orang yang lapar bila diberi bantuan uang maupun beras, mereka memang senang tapi kelaparan akan terulang lagi, sebab beras terbatas dan uang habis, sedangkan penyebab kelaparan masih tetap tidak ditanggulangi, sehingga kelaparan berulang setiap tahun.

Ketiga, memberi makan anak yatim yang mempunyai kerabat
Anak yatim yang berkerabat, secara harfiyah yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh orang tuanya. Secara harfiyah pula mereka itulah yang harus mendapatkan pertolongan.

Namun dalam arti luas, yatim itu dapat diartikan orang yang tidak berilmu dan tidak beradab, maka ditinjau dari pengertian ini, bangsa Indonesia masih yatim piatu (tidak berpendidikan yang mumpuni dan masih memerlukan pendidikan moral dan peradaban) sungguh masih banyak. Maka, insya Allah tidak salah jika ajaran Ilahi ini kita maknai dengan membuka seluas-luasnya kesempatan pendidikan untuk mereka, lagi-lagi pendidikan sangat memegang peranan untuk semua itu.

Keempat, atau orang miskin yang sangat fakir
Pengentasan kemiskinan, suatu usaha mulia, dimulai dari pembangunan pendidikan dan ekonomi. Intinya kelompok miskin (yang fakir) itu banyak tersebar di pedesaan, maka mengentaskan kemiskinan itu sangat identik dengan pembangunan pedesaan. Sangat dirasakan, betapa terbatasnya fasilitas untuk menjadi tidak miskin yang ada di pedesaan secara kebanyakan.

Petani mungkin dapat memproduksi komoditas perta¬nian dengan baik, namun tatkala itu dapat ditempuh, kemudian mereka terhambat oleh infrastruktur yang tidak menjamin, kemampuan jual yang tidak menguntungkan dan lain-lain sebab yang tetap mengakibatkan mereka tidak terhindar dari kemiskinan. Karenanya membangun pede¬saan merupakan program besar yang dapat menjembatani usaha pengentasan kemiskinan.

Program-program seperti ini menurut ajaran Ilahi merupakan program mendaki yang memang berat namun harus ditempuh, dan aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang berjangka panjang, tidak serta merta dapat dirasakan, namun pasti berakibat mengangkat martabat harkat manusia dan kemanusiaan. Intinya semua itu adalah pembangunan pendidikan dan ekonomi atau sebaliknya. Dan berakibat kecerdasan masyarakat dan bangsa tumbuh dengan teratur, tumbuh kemandirian disebabkan kese¬jahteraan dan kemakmuran semakin dirasakan. Kesadaran pribadi dan masyarakat akan semakin menguat. Bahwa semua itu memerlukan pendanaan yang besar dan sesungguhnya kita (bangsa Indonesia/secara kolektif) mampu mewujudkannya.

Tokoh Terkait: AS Panji Gumilang, | Kategori: Wawancara | Tags: panji gumilang, al-zaytun, wawancara

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini