Sang Nakhoda Problem Solver
Agus Suhartono
[ENSIKLOPEDI] Laksamana TNI Agus Suhartono, SE, Sang Pelaut yang jadi Panglima TNI, seorang pemimpin yang sering turun gunung, handal dan bijak sebagai problem solver. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut kelahiran Blitar, 25 Agustus 1955, tersebut seorang nakhoda yang mampu mencari jalan keluar dari setiap ‘berlayar di atas masalah’ dan membuat keputusan penting serta mengemudikan ‘kapal’ ke arah tujuan yang besar dan benar.
Pengalamannya bertahun-tahun mengarungi gelombang samudra mulai dari sejak lulus Akademi Angkatan Laut (Angkatan ke-24), diawali sebagai Perwira Divisi Komunikasi KRI Yos Sudarso 353 (15 Juli 1979) dengan pangkat Letda, hingga berpangkat kolonel, sebagai nakhoda (komandan) di lima kapal perang,[1] dan mengikuti berbagai pendidikan, kursus dan latihan[2], serta melaksanakan berbagai penugasan operasi[3], telah menyepuhnya menjadi seorang petarung yang tangguh, pengambil keputusan dan problem solver yang handal dan bijak.
Sebagai pelaut, dia telah memperoleh pembekalan (pelajaran) berharga yang mengasahnya menjadi insan yang sangat meyakini, menikmati dan mengandalkan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa. Berbagai tantangan yang dihadapi di lautan lepas, juga telah membuatnya sedemikian handal menyiasati situasi dan kondisi alam (dengan tidak harus melawan arus gelombang tetapi menaklukkannya), berlayar di atas masalah (gelombang), mencari jalan keluar dan mengambil keputusan penting, mengendalikan kapal hingga selamat mencapai tujuan.
Dia seorang nakhoda (pemimpin) yang selalu berupaya memandang setiap masalah dari sisi positif untuk menyelesaikan masalah. Dia seorang winner (pemenang) yang selalu melihat jawaban (jalan keluar) dari setiap masalah. Baginya, setiap masalah adalah pintu menuju jalan keluar. Di tengah gulungan gelombang masalah, dia selalu yakin di situ ada jalan keluar dan menemukannya. Baginya hidup adalah tantangan, tak ubahnya seperti kapal yang berlayar di lautan lepas yang kerap menghadapi badai gelombang. Tantangan itu harus dihadapi dengan cermat dan bijak, hingga menemukan jalan keluar dan mengambil keputusan dengan berani dan tepat.
Sebagai nakhoda, dia arif berkomunikasi, bersosialisasi dengan semua orang dan golongan, baik dengan para pemimpin (atasan), rekan sejawat (pangkat sama), bawahan (anggota pasukan) dan penumpang lainnya (masyarakat banyak) serta menyinerjikannya untuk mencapai tujuan. Dia tidak sudi membiarkan penumpang kapal (anggota pasukan, masyarakat) berlayar dalam ‘gelap’ dan kehilangan arah. Sebagai nakhoda (pemimpin) dia selalu menerangkan sejelas mungkin tentang tujuan bersama yang hendak diraih dan strategi mencapainya. Dia seorang nakhoda visioner.
“… dia menegaskan bahwa untuk merombak total karakter TNI, penting untuk segera, mengimplementasikan prinsip-prinsip supremasi sipil. Dia mengakui bahwa implementasi agenda reformasi TNI memiliki satu tantangan utama, yaitu: TNI harus dapat melepas sepenuhnya karakter sebagai tentara politik dengan kata lain politik TNI adalah politik negara. Selanjutnya menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara untuk mempertahankan kedaulatan politik dan teritorial negara di bawah kendali otoritas politik sipil yang sah.
Dengan bersahaja, ikhlas dan jujur, dia selalu berusaha menjalin hubungan baik dan harmonis dengan semua kalangan, baik hubungan profesional dan interpersonal. Dia tak pernah menolak penugasan seberat apapun medannya. Bahkan dia selalu bekerja keras melampaui beban tugasnya. Dia selalu ‘turun gunung’ (terjun ke lapangan) untuk memahami persoalan yang dihadapi masyarakat (pasukan) sekaligus mengambil keputusan dan jalan keluar.
Dia pun selalu tampil sebagai teladan yang menjadi inspirasi bagi para penumpangnya (pasukannya). Dia pun tak jemu-jemu menumbuhkan motivasi bagi anggota pasukan (penumpang, masyarakat), antara lain dengan memberikan apresiasi dan penghargaan atas prestasi sekecil apapun yang dilakukan oleh siapapun.
Nakhoda yang telah terbiasa hidup dalam dinamika disiplin dan tanggung jawab tinggi sejak masa kecil (pengasuhan orang tua) tersebut,[4] semakin teruji dengan berbagai penugasan yang menempanya menjadi seorang pemimpin berpengalaman. Setelah menakhodai (komandan) lima kapal perang hingga berpangkat kolonel, dia mengemban tugas sebagai staf di Mabes Angkatan Laut, sebagai Perwira Pembantu Bidang Strategi dan Operasi, Staf Operasi. Kemudian, menjadi Wakil Asrena (Wakil Asisten Perencanaan) KSAL, Kasatgas Pengadaan kapal di Belanda, Komandan Kodikal (Komando Pendidikan Angkatan Laut), Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Asisten Perencanaan KSAL, Asisten Operasi KSAL, Inspektur Jenderal di Kementerian Pertahanan dengan pangkat Laksamana Madya TNI.
Kemudian, dilantik menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Laut ke-22 pada tanggal 9 November 2009, job bagi seorang Laksamana (bintang empat). Saat menjabat KSAL, Laksamana TNI Agus Suhartono bekerja keras melakukan berbagai kebijakan dengan tagline “Semangat Baru atau The New Sprit of The Indonesian Navy“.[5] Dia berupaya menggelorakan semangat kepada segenap prajurit TNI AL bahwa mereka adalah prajurit penjaga kedaulatan NKRI di wilayah laut yang memiliki jatidiri dan kebanggaan, sehingga diharapkan dapat menjaga nama baik dan citra TNI AL dalam mendukung keberhasilan tugas pokok TNI.
Lalu, belum satu tahun, jalan Allah dan garis (panggilan) sejarah (rotasi giliran Angkatan Laut) menghantarnya mencapai puncak karir (yang diimpikan dan dibanggakan) prajurit TNI menjadi Panglima TNI, sejak 28 September 2010.[6] Sebuah pencapaian puncak karir bagi seorang perwira TNI. Dia Sang Pelaut, yang mencapai puncak karir ‘mendarat’ jadi Panglima TNI. Seorang putera bangsa terbaik yang meyakini jalan hidupnya ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan panggilan sejarah.
Itulah jalan hidup seorang prajurit patriot pilihan yang menapaki karir dengan penuh tanggung jawab dan selalu bekerja keras melampaui beban tugasnya. Sehingga Allah menuntunnya dalam menapaki jalan hidup, hingga menjabat Panglima TNI, suatu jabatan yang hanya mungkin dipercayakan kepada perwira terbaik. Bukankah sepanjang sejarah Republik Indonesia, baru 15 orang putera terbaik bangsa menjabat Panglima TNI?[7]
Lalu, apa visinya tentang Republik Indonesia? Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono mengatakan ditinjau catatan sejarah sosial budaya, masyarakat bangsa Indonesia lahir di dua sisi kehidupan sebagai masyarakat agraris dan masyarakat maritim. Maka, menurutnya, dari tinjauan itu, visi RI harus berangkat segera “Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur dengan mengombinasikan potensi agraris dan maritim, sekaligus untuk menjadikan Indonesia sebagai supply side” dan “demand side.”[8]
Dia pun mengingatkan, untuk mencapai hal itu harus disertai langkah-langkah kongkrit dalam mengimplementasikan legalitas (mewujudkan) negara kepulauan, baik dari aspek geopolitik dan geostrategi maupun geoekonomi. Sebab, realitanya sampai dengan saat ini, Indonesia memang negara agraris tetapi belum sebagai negara agraria, juga sudah negara kepulauan namun belum sebagai negara maritim. Maka, dia menegaskan, ke depan yang perlu dipadukan adalah maritim dan agraris.
Begitulah visi, kisah, jalan hidup, Laksamana TNI Agus Suhartono, yang sungguh mengalir sesuai kehendak Allah dan panggilan sejarah, dan yang ditempuhnya melalui kesungguhan, komitmen, kedisplinan, keteladanan, kebersahajaan, kejujuran, tanggung jawab dan kesiapan menjalankan setiap penugasan tanpa pamrih, sebagai prajurit, patriot dan kesatria bangsa, yang selalu berupaya bekerja keras melebihi panggilan tugasnya, di mana dan kapan pun.
Atas pengabdiannya, dimana dia dinilai telah menyumbangkan jasa bakti melebihi dan melampaui panggilan kewajiban dalam pelaksanaan tugas militer sehingga memberikan keuntungan luar biasa untuk kemajuan TNI, Pemerintah RI melalui Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro di Kantor Kementerian Pertahanan RI, Jakarta Pusat, Jumat (12/8/2011) menganugerahkan tiga bintang tanda kehormatan kepada Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, yaitu Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Eka Paksi Utama dan Bintang Swa Buana Paksa Utama.
Selain itu, atas berbagai tugas dan pengabdian, yang dilakoni atas dukungan Sang Isteri Tetty Sugiarti[9], ayah dari dua anak (Ramadhani Adhitama dan Bayu Aditya Nugraha) itu sebelumnya telah menerima sejumlah penghargaan, di antaranya: Bintang Jalasena Utama, Bintang Bhayangkara Utama, Bintang Dharma Samudera, Bintang Yudha Dharma Pratama, Bintang Jalasena Pratama, Bintang Yudha Dharma Nararya, Bintang Jalasena Nararya, Satyalencana GOM VII, Satyalencana Dharma Nusa, Satyalencana Kesetiaan (VIII, XVI, XXIV dan XXXII Tahun), Satyalencana Dwidya Sistha, Satyalencana Dharma Nusa, Satyalencana Wira Dharma, Satyalencana Wira Nusa, Satyalencana Bhakti Sosial, dan Satyalencana Wira Karya.
Agus juga telah menerima beberapa penghargaan dari luar negeri, di antaranya: Bintang ‘Tong-IL’ (Unification) dari Pemerintah Korea Selatan; Bintang ‘The Meritorious Service Medal’ (MSM) dari Pemerintah Singapura; Bintang ‘The Grand Cross of The Royal Order of Sahametrei Mohasereivadh)‘ dari Pemerintah Kerajaan Kamboja; Bintang ‘Darjah Paduka Keberanian Laila Terbilang Yang Amat Gemilang’ (DPKT) dari Kesultanan Brunei Darussalam; Bintang ‘Panglima Gagah Angkatan Tentera’ (PGAT) dari Pemerintah Kerajaan Malaysia; Bintang Kehormatan ‘Liyakat Nisani’ dari pemerintah Turki; dan Bintang Kehormatan ‘Distinguished Service Order’ (DSO) dari pemerintah Republik Singapura.
Selain itu, Laksamana TNI Agus Suhartono telah menerima penghargaan dari berbagai korps TNI (AL, AD dan AU) yakni: Penghargaan sebagai Warga Kehormatan Korps Marinir TNI AL dan dianugerahi Wing Komando Den Jaka serta Wing Hiu Kencana dari Satuan Kapal Selam; Warga Kehormatan Kopassus TNI AD dan memperoleh Wing Kehormatan Komando Kopassus; Wing Penerbang Kehormatan Kelas-1 dan Warga Kehormatan Korpaskhas TNI AU serta Wing Komando Paskhas.
Maka tak mustahil, siapa tahu, panggilan sejarah[10] pun kelak akan membutuhkan pengabdiannya pada level tanggung jawab yang lebih tinggi. Kita (siapa) pun tidak tahu. Tidak seorang pun bisa mengaturnya. Sebab hal itu adalah jalan dan kuasa Tuhan, Sang Khalik Semesta Alam!
Maka tak mustahil, siapa tahu, panggilan sejarah[10] pun kelak akan membutuhkan pengabdiannya pada level tanggung jawab yang lebih tinggi. Kita (siapa) pun tidak tahu. Tidak seorang pun bisa mengaturnya. Sebab hal itu adalah jalan dan kuasa Tuhan, Sang Khalik Semesta Alam!
Kendati dia sendiri sangat menyadari posisinya sebagai seorang prajurit TNI yang tidak diperbolehkan berpolitik praktis. Dia bahkan menegaskan sikapnya yang juga merupakan sikap TNI bahwa secara internal TNI sejak 1998 telah melaksanakan reformasi dan reposisi TNI secara gradual untuk menghilangkan karakter TNI sebagai tentara politik.[11]
Bahkan dia menegaskan bahwa untuk merombak total karakter TNI, penting untuk segera, mengimplementasikan prinsip-prinsip supremasi sipil. Dia mengakui bahwa implementasi agenda reformasi TNI memiliki satu tantangan utama, yaitu: TNI harus dapat melepas sepenuhnya karakter sebagai tentara politik dengan kata lain politik TNI adalah politik negara. Selanjutnya menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara untuk mempertahankan kedaulatan politik dan teritorial negara di bawah kendali otoritas politik sipil yang sah.
Maka ketika ditanyakan kepadanya perihal kepemimpinan nasional (otoritas politik sipil), dalam Wawancara dengan TokohIndonesia.com[12], dia mengatakan: “Jadi begini, karena seseorang itu untuk menuju ke arah sana, dia harus menjadi politikus. Harus menjadi politikus dulu. Padahal sekarang TNI tidak boleh berpolitik, jadi jangan tanya itu!”
Dia merasa tak layak berpikir tentang jabatan pemimpin nasional yang menjadi domain para politikus (sipil). “Setiap orang harus tahu ‘batas kemampuannya’. Jadi harus tahu juga ‘batas kemampuan’ sehingga sampai di mana ia perlu berpikirnya, sampai di situ saja,” katanya.
Namun, jalan Tuhan dan panggilan sejarah, siapa yang tahu. Bukankah Indonesia sebuah negara maritim, namun potensi kemaritimannya belum dioptimalkan pendayagunaannya sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat dan kejayaan negara? Siapa tahu jalan Allah dan panggilan sejarah membutuhkan putera bangsa yang telah berpengalaman ‘menyelami’ kelautan dan kemaritiman, kelak (perlu) memimpin bangsa ini untuk memadukan potensi keagrariaan dan kemaritiman yang dimiliki bangsa ini. Sehingga nanti, beberapa tahun ke depan, Indonesia yang memang negara agraris akan benar-benar sebagai negara agraria, negara kepulauan yang sungguh menjadi subuah negara maritim. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com
(Footnotes)
1] Komandan Lima Kapal Perang: Setelah bertugas sebagai Perwira Divisi Komunikasi KRI Yos Sudarso 353 (15 Juli 1979), Perwira Komunikasi KRI Ratulangi (15 Juli 1981) dan Perwira Divisi Senjata Bawah Air pada KRI Slamet Riyadi (1 September 1986), Agus Suhartono dipercayakan memimpin lima Kapal Perang Republik Indonesia (KRI), mulai sebagai Komandan KRI Kakap (15 Agustus 1991), Komandan KRI Sultan Thaha Syaifussin (1 Mei 1995), Komandan KRI Hasan Basri (15 Oktober 1995), Komandan KRI Samadikun (1 September 1996), dan kelima Komandan KRI KiHajar Dewantara (1 April 1998). Selengkapnya baca artikel: Pimpin Lima Kapal Perang.
2] Kursus: Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Angkatan Laut, Agus Suhartono mengasah diri dengan mengikuti berbagai pendidikan, di antaranya: Kursus Dasar Operasi Amphibi (1978); Kursus Prosedur Taktis (1982); Sekolah Lanjutan Perwira Artileri (1985); Commando Training Team (Belanda, 1986); Nuclear Biological Chemical Damage (NBCD, Belanda, 1986); Operation/Maintenance HARP (1987); Seskoal Angkatan-32 (1994/1995); Sesko TNI Angkatan-26 (1999/2000); Lemhannas, KRA Angkatan ke-36 (2003); dan Maritime Force Commander Caurse (Hawaii, 2006).
3] Penugasan: Sepanjang karirnya, Agus Suhartono selalu bersemangat setiap kali menerima penugasan operasi dan penugasan lainnya. Beberapa tugas operasi yang telah dilakoninya, anatara lain: Operasi Duta Samudera II dalam rangka Muhibahn ke Australia, Selandia Baru, Fiji dan Papua Niugini (1978-1979); Operasi Halilintar dalam rangka Penanggulangan Pengungsi Vietnam di Perairan Natuna (1980); Operasi Penyeberangan KRI Slamet Riyadi dari Belanda ke Indonesia (1986); Operasi Aru Jaya dalam rangka Penegakan Hukum di Laut Arafura (1991); Operasi “Bedes” dalam rangka Mencegah Kapal Lusitania Expresso milik Portugis memasuki wilayah Timor Timur (1995); Operasi Penyeberangan KRI Hasan Basri dari Jerman ke Indonesia (1995); Latihan Armada Jaya (1998 dan 2002); Operasi Bhakti Surya Bhaskara Jaya (1998); Western Pacific Naval Symposium di Jepang (1999); Western Pacific Naval Symposium di Papua Niugini (2001); Komandan Gugus Tugas Operasi Muhibah ke Perth, Australia (2004); Komandan Gugus-Tugas Pengadaan Kapal Perang tipe Korvet kelas SIGMA (2005 dan 2006); Kepala Staf Komando Tugas Gabungan (Kastaf Kogasgab) pada Latihan Operasi Gabungan TNI (2008); dan, Kunjungan resmi ke sejumlah besar negara sahabat, baik di Kawasan Asia, Australia, Eropa maupun Amerika-Serikat.
4] Selengkapnya baca: Sejak Kecil Berdisiplin Tinggi dalam Konteks Tanggung Jawab.
5] Selengkapnya baca: The New Sprit of The Indonesian Navy
6] Selengkapnya baca: Sang Pelaut Mendarat Jadi Panglima.
7] Laksamana TNI Agus Suhartono adalah Panglima TNI ke-15.
8] Selengkapnya baca: Visi & Tujuh Syarat Pemimpin Nasional.
9] Selengkapnya baca: Orang Tua, Bung Karno dan Isteri
10] Selengkapnya baca: Panggilan Sejarah, Siapa Tahu!
11] Selengkapnya baca: Politik TNI adalah Politik Negara
12] WAWANCARA: Selanjutnya, bagaimana Laksamana TNI Agus Suhartono menjalani hidup dan mengeban tugas, simak dalam setiap untaian katanya dalam menjawab pertanyaan Redaksi TokohIndonesia.com dalam wawancara eksklusif di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu 11 April 2012. Rangkaian wawancara tersebut kami sajikan dalam delapan bagian (judul) yakni: (1) Saat Pelaut Jadi Panglima TNI; (2) Lima Pesan Kepala Negara; (3) TNI Mampu dan Tak Pernah Gentar; (4) Begini Postur Alutsista TNI Ideal ; (5) Politik TNI Adalah Politik Negara; (6) Evaluasi TNI tentang Kondisi Bangsa; (7) Visi & Tujuh Syarat Pemimpin Nasional; (8) Orangtua, Bung Karno dan Isteri.