George Benson Indonesia
Mus Mujiono
[SELEBRITI] Musisi jazz berambut keriting ini menguasai hampir semua alat musik, dari keyboard, drum, gitar, saksofon, kecuali terompet. Kepiawaiannya memainkan “jurus-jurus” bergitar ala George Benson membuat ia dijuluki ‘George Benson Indonesia’.
Lahir di Surabaya pada 15 Maret 1960, Mus Mujiono atau yang akrab disapa Nono memiliki kecintaan yang teramat mendalam pada dunia musik. Saking cintanya, putra pasangan Ali Sukarni dan Musimah ini bahkan mengistilahkan dirinya sebagai seorang maniak musik. Istilah itu cukup beralasan jika melihat kemampuannya dalam memainkan hampir seluruh alat musik, mulai dari keyboard, drum, gitar, saksofon, kecuali terompet. Dari sekian banyak instrumen tersebut, gitarlah yang kemudian menjadi spesialisasinya.
Sejak kelas enam SD, Nono sudah menekuni gitar. Apalagi ia terlahir dalam lingkungan keluarga pecinta musik. Sang ayah berprofesi sebagai musisi keroncong, sementara kakaknya, Mus Mulyadi dikenal sebagai penyanyi keroncong.
Saat berusia 18 tahun, Nono yang tergabung dalam band The Hands, masuk dapur rekaman untuk pertama kalinya dan berhasil mencetak sebuah lagu hits berjudul Hallo Sayang. Namun kebersamaannya dengan The Hands tak berlangsung lama karena band tersebut akhirnya bubar. Padahal saat itu, bisa dibilang popularitas Nono mulai terangkat ke permukaan.
Setelah itu Nono mulai merintis karirnya sebagai solois. Tujuh buah album solo berhasil dihasilkannya. Meski begitu, ia justru merasa tidak ada kemajuan yang berarti dalam karirnya. Terlebih ia berpikiran kalau masyarakat hanya berasumsi bahwa ia cuma mengekor jejak sang kakak, Mus Mulyadi. Saat itu Mus Mulyadi memang sedang di puncak popularitasnya lewat lagu-lagu keroncong pop Jawa seperti Rek Ayo Rek. “Saya jadi mikir, kok perjalanan karier saya berat sekali dan nggak bisa melesat jauh,” tutur pemilik rambut keriting ini.
Dengan bekal bakat dan ilmu yang sudah didapatnya selama berkarir dalam band maupun solo, Nono bertekad menghapus anggapan miring itu. Prinsipnya, ia harus tampil beda dari kakaknya. Hingga pada akhirnya, ia menjatuhkan pilihan musiknya di jalur jazz. Meski sejak awal, ia menyadari tidak mudah untuk menekuni genre musik tersebut. Baginya, musik jazz terutama klasik jazz merupakan titik pangkalnya musik. “Kalau lukisan, ya, abstraklah,” demikian ia menganalogikan jazz seperti dikutip dari situs tembang.com.
Menurut Nono, kalau kita tidak paham tentang sejarah atau scale (tangga nada) jazz, pasti tidak akan memahami jazz mainstream. Lebih lanjut Nono berpendapat bahwa jazz adalah suatu karya yang antik. Sepintas memang terkesan rumit dan berat, tapi jika sudah semakin dalam menyelami jazz akan menjadi sangat enak untuk dinikmati.
Arek Suroboyo ini kemudian mulai menekuni jazz dari Jun Sen, gitaris jazz terkemuka asal Surabaya seangkatan Bubi Chen. Dari musisi yang juga pengusaha alat musik itulah, ia mulai mengenal berbagai teori jazz. Bersamaan dengan itu, ia juga belajar privat gitar klasik. Hal itu dilakukannya semata-mata agar bisa membaca not balok dengan baik.
Setelah mampu membaca not, ia semakin terpacu untuk terus mendalami genre musik yang identik dengan kalangan atas itu dengan membeli berbagai macam buku jazz dan mempelajarinya. Sampai pada suatu ketika, ia akrab dengan karya-karya gitaris sekaligus musisi jazz kaliber dunia sekelas George Benson.
Di kalangan penggemar jazz, musisi kulit hitam ini memang amat dikenal dengan permainan gitarnya yang ciamik. Selain itu, Nono juga memang tertarik dengan kesederhanaan George tersebut. Saat itu di era 80-an, kebanyakan gitaris ngerock dengan berbagai macam efek yang aneh-aneh. Tapi George Benson justru tidak menggunakan apa-apa namun hanya mengandalkan mulut saja. “Jadi, mulut dia (George Benson) berfungsi sebagai aksesorisnya dan bisa sedemikian sinkron,” ujar Nono, yang mengenal George Benson sekitar tahun 1980-an.
Nono mengaku kalau ia adalah salah satu penggemar fanatik George Benson. Dari kekagumannya itu, Nono mulai getol mempelajari gaya permainan gitar ala Benson. Baginya, George bukan hanya sebagai gitaris idola tapi juga guru imajinernya. Betapa tidak, demi menimba ilmu dari George, ia sampai sengaja mengasingkan diri ke sebuah dusun di daerah Candi dekat Kaliurang, Yogyakarta. Di sana, selama tiga tahun, ia hanya mendengarkan kaset rekaman gitaris Amerika itu.
Sejak kelas enam SD, Nono sudah menekuni gitar. Apalagi ia terlahir dalam lingkungan keluarga pecinta musik. Sang ayah berprofesi sebagai musisi keroncong, sementara kakaknya, Mus Mulyadi dikenal sebagai penyanyi keroncong.
“Tidak ada lampu, bunyi-bunyian maupun suara-suara lain. Hanya suara George Benson dan gitarnya dari tape yang saya bawa. Bangun tidur, mau tidur, dengar dia. Begitu terus selama 3 tahun,” tuturnya sambil mengenang masa-masa itu.
Hal tersebut diakuinya bukanlah pekerjaan ringan. Pertama, ia harus mengenal semua nada yang ada pada instrumen gitar. Setelah itu, ia berusaha mati-matian mempelajari gaya permainan George Benson dengan mendengar secara seksama setiap album George.
Awalnya ia tak habis pikir, mengapa petikan gitar George selalu persis berbarengan dengan vokalnya. Scating, demikian orang biasa menyebut teknik itu. Namun setelah berlatih keras selama setahun, ia bisa melakukan hal serupa. “Saya jadi kayak orang gila. Itu terus yang dikerjakan… ha… ha…,” ujarnya.
Setelah berlatih tangga nada modals (tangga nada biasa), ia mulai melebarkan kemampuannya dengan menekuni scale jazz. Mulai dari Dorian, Locrian, pentatonik, dan lain-lain. Di tahun ketiga, ia merekam kord-kord sendiri sebagai sarana pengiringnya.
Baginya, George Benson memang sangat berjasa bagi pencapaian karier musiknya. Tapi setelah musisi idolanya itu mencetak album Get Through The Night, Nono malah berbalik kecewa. Nono yang dulunya tergila-gila kini mengaku tak lagi menyukai George. “Setelah keluar album Get Through The Night, lagu-lagunya kok cenderung disko. Dia nggak pantas membawakan lagu-lagu semacam itu.”
Nono beranggapan, sikap George Benson itu tak punya prinsip. Seharusnya ia (George) bisa menolak tuntutan produser yang lebih mengutamakan selera pasar. Hal itu, kata Nono, masuk akal kalau dilakukan di sana. Tidak seperti di Indonesia dimana para musisinya mau tak mau harus luwes menyikapi permintaan pasar agar bisa bertahan.
Meski demikian, tak dapat dipungkiri, image Nono memang sudah terlanjur melekat dengan George Benson sehingga ia mendapat julukan George Benson-nya Indonesia. Namun ia tak mau besar kepala dan dengan rendah hati menolak jika julukan tersebut dialamatkan padanya. “Buat saya, itu masih terlalu jauhlah. Memang dulu saya sangat mengagumi dia dan itu nggak bisa saya pungkiri karena saya mengenal segala macam tentang musik jazz, juga dari perjalanan dia. Ya, terserahlah mau dijuluki apa,” katanya lagi.
Setelah berhasil menguasai “jurus-jurus” bergitar ala George Benson, Nono mulai dilirik para musisi lain. Ia diajak bergabung dengan Jakarta Power Band. Dari situ ia mulai berkarir di ibukota yang memang sudah sejak lama menjadi obsesinya. Di Jakarta, ia mendapati banyak tantangan yang membuatnya semakin terpacu untuk menunjukkan tajinya di dunia musik.
“Makanya saya berjuang mati-matian, berusaha cari bekal sebanyak-banyaknya supaya saya bisa eksis di Jakarta. Dan setelah saya punya bekal itu, rasanya saya seperti ‘pendekar turun gunung’ ha… ha… ha… Pokoknya siap menghadapi apa saja dan siapa saja,” kata Nono sambil berseloroh.
Di tahun 1995, Nono bergabung sebagai gitaris dengan grup musik yang mengusung aliran jazz bernama Funk Section. Grup yang juga digawangi Glenn Fredly (vokal), Inang Masalo (drum), Yance Manusama (bass), Eka Bhakti (kibor) dan Irvan Chesmala (kibor) itu berhasil merilis sebuah album bertajuk Terpesona. Sayangnya, album tersebut kurang sukses di pasaran, demikian pula dengan keberadaan bandnya.
Sepuluh tahun kemudian, persisnya di tahun 2004, ia kembali berkolaborasi. Kali ini bersama grup Canizzaro dan merilis album Reinkarnasi Canizzaro dengan tembang andalannya Seperti Dulu yang dibawakan penyanyi mungil Trie Utami sebagai bintang tamu.
Meski sudah tak muda lagi, Nono terus berusaha mempertahankan eksistensinya sebagai musisi. Di usia yang memasuki setengah abad, ia kembali berkarya dengan mendirikan A-Dhu Band bersama sejumlah musisi lainnya seperti Agus Dhukun, Erren Dwi Pratiwi alias Tiwi KDI 4, Irghi Barens, Vino D Rossy dan Deddy Namoza. Ada delapan lagu dalam album perdana mereka itu dan sebagian dari lagu-lagu tersebut merupakan hasil karya Mus Mujiono. eti | muli, red