Master Psikologi Forensik Pertama

Reza Indragiri Amriel
 
1
5273
Reza Indragiri Amriel
Reza Indragiri Amriel | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Reza Indragiri Amriel, pria kelahiran Jakarta, 19 Desember 1974 adalah Master Psikologi Forensik pertama di Indonesia. Dosen Psikologi Forensik di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan beberapa perguruan tinggi itu sangat membantu aparat penegak hukum, terutama kepolisian.

Setelah menyelesaikan pendidikan S1 Fakultas Psikologi UGM, 1998, Reza Indragiri Amriel sempat bekerja sebagai diplomat di Kementerian Luar Negeri. Kariernya di Kemlu terbilang gemilang. Hanya dalam tempo 1,5 tahun dia sudah dipercaya masuk tim penyusunan butir-butir pembicaraan presiden.

Lalu, Reza mendapat beasiswa dari pemerintah Australia. Dia dipersilakan memilih program studi yang sesuai minat dan memiliki relevansi dengan Indonesia. Kesempatan itu dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Dia pun browsing di internet, mencari tahu program studi apa saja yang ada di Australia. Ketika menemukan kata forensik, dia tertarik.

“Mungkin karena sedikit banyak saya termasuk orang yang berpola pikir psikoanalisa. Dan cantolannya sangat kuat dengan Psikologi Forensik. Selain itu, ada proses bawah sadar yang memengaruhi saya mengambil keputusan, yaitu ada sisi gelap dalam hidup saya yang saya coba ingin cari tahu. Saya berspekulasi mengambil mata kuliah di Psikologi Forensik dalam rangka pengenalan diri pribadi itu. Waktu itu belum berpikir, suatu saat menjadi ilmu yang punya nilai penting di masyarakat,” kata Reza Indragiri Amriel (Reza Indragiri Amriel, Bangkit dari Titik Trauma, Nova Rabu, 13 Agustus 2008).

Reza mengatakan berdasarkan ilmu psikoanalisa, dia termasuk orang yang berkeyakinan, kehidupan manusia, kepribadian manusia, bahkan peradaban alam semesta ini berangkat dari sebuah titik trauma. Dia melihat itu otentik karena terjadi dalam hidupnya.

Reza berasal dari keluarga broken home. Pada usia 1,5 tahun, orangtuanya bercerai. Sejak itu, hidupnya sarat dengan pengalaman tidak menyenangkan. Semula hak asuh berada di tangan ibunya. Namun, Reza merasa Sang Ibu tidak perhatian. Bahkan Sang Ibu pernah memberikan sebuah “cendera mata” yaitu kepalanya yang bocor. Kisahnya, Sang Ibu mendiamkan saja ketika Reza kecil bergelantungan di timbangan seperti Tarzan. Suatu ketia, dia pun jatuh, dan kepala bocor.

Akhirnya hak asuh pindah ke Sang Ayah. Pengasuhan ayahnya tergolong keras. Tapi dia merasakan pengasuhan keras Sang Ayah itu tanda perhatian, ketimbang ibu yang tanpa perhatian.

di beberapa negara maju, seorang psikolog forensik sangat berpeluang menjadi seorang detektif swasta. Karena kemampuan dan analisisnya dalam melihat suatu kejahatan merupakan kunci dasar sebagai seorang detektif. Jika di Indonesia ada payung hukum bagi detektif atau penyidik swasta, Reza pun mengaku cukup tertarik. Walaupun saat ini dia lebih berminat menjadi akademisi yang membantu polisi dan pihak-pihak terkait demi penegakan hukum.

Dia pun mengawali pendidikan formal di SD Muhamadiyah Rawamangun, Jakarta. Ketika itu, dia suka mencoret-coret tembok sekolah dengan cat. Dia juga hobi menyakiti hewan. Misalnya, dia menangkap belalang, lalu tubuhnya dipotong sedikit demi sedikit. Ada kenikmatan yang dia rasakan saat belalang mengerang kesakitan menuju kematian. (Kemudian setelah belajar forensik, dia jadi paham, andaikan perilaku brutalnya tidak terkelola,dia bisa tumbuh seperti orang-orang semacam Ryan).

Untunglah, dia terselamatkan, sehingga pengalaman traumatik itu tidak sampai membuatnya tenggelam. Kisahnya, setamat SD, dia dipindahkan melanjutkan SMP ke Riau, ikut kakek-nenek. Dia merasakan perbedaan cara mendidik Sang Kakek dibandingkan Sang Ayah. Sang Ayah mendidik dengan disiplin, keras, penuh keteraturan, tapi justru hal itu membuatnya nakal. Berbeda dengan cara asuh Sang Kakek-Nenek yang cenderung memperbolehkannya melakukan apa saja, tetapi justru membuat dia berprestasi di sekolah.

Kenapa? Kakek-nenek tidak berceramah panjang lebar, tapi mampu memberi contoh sebagai sosok teladan. Contohnya, kakek-nenek sangat menyayangi binatang. Dia pun berubah menjadi sangat penyayang binatang.

Advertisement

Setelah menamatkan SMP, dia pun masuk SMA di Yogyakarta. Semasa SMA, prestasinya semakin menonjol. Reza pun dipercaya sebagai wakil Yogyakarta dan memimpin delegasi Indonesia dalam program pertukaran pemuda Indonesia-Australia. Secara akademik nilai SMA-nya bagus, sehingga bisa masuk UGM.

Ketika kuliah di UGM, dia pun mencoba mencari pencerahan dengan memahami apa saja yang menjadi titik pangkal traumanya dengan menekuni bidang ilmu psikologi yang di dalamnya ada apa yang disebut sublimasi. Pencerahan ini pun dilanjutkannya, ketika ada tawaran beasiswa dari pemerintah Australia, di mana dia dipersilakan memilih program studi yang sesuai minat dan memiliki relevansi dengan Indonesia.

Dia pun memilih Psikologi Forensik dan berhasil menyelesaikan S2 (Master Psikologi Forensik) di University of Melbourne, 2003. Hal ini menempatkannya sebagai Master Psikologi Forensik pertama di Indonesia. Keahliannya pun sangat memberi kontribusi bagi proses hukum di Indonesia.

Kontribusi keahliannya (psikologi) bukan untuk kepentingan penyembuhan atau klinis tapi ke arah forensik, yaitu membantu ke arah proses hukum yang lebih ilmiah. Dia menjelaskan psikologi forensik merupakan cabang ilmu psikologi yang membicarakan korban dan aktor kejahatan untuk kepentingan criminal justice system (penegakan hukum).

Ilmu psikologi forensik termasuk baru, walaupun sebenarnya sudah ada sejak tahun 1910, ketika terbit buku On The Witness Stand. Buku ini menceritakan dinamika psikologis saksi ketika dihadirkan dalam persidangan. Namun, oleh otoritas tertinggi psikologi, The American Psychological Association (APA), psikologi forensik baru diakui sebagai cabang ilmu tersendiri pada 1991.

Setelah menggondol MCrim (Forpsych), Master Psikologi Forensik, di University of Melbourne, 2003, dia pun pulang ke Indonesia tahun 2004. Beberapa bulan menjelang pulang ke Indonesia, dia sempat berkomunikasi dengan Profesor Sarlito Wirawan Sarwono. Sarlito mengatakan bahwa ada pejabat tinggai Mabes Polri yaitu Prof Dr Irjen Pol Faruk Muhamad (gubernur PTIK saat itu), yang butuh bantuan orang seperti Anda.

Namun, saat pulang ke Indonesia dia sempat mengajar di Universitas Islam Negeri di Ciputat. Saat telah mengajar di UIN itu, dia pun menyempatkan waktu menemui Prof Dr Irjen Pol Faruk Muhamad. Akhirnya, Reza pun menjadi dosen Psikologi Forensik di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) sejak 2004. Bahkan di PTIK, dia tidak sekadar menjadi dosen, melainkan juga diminta Gubernur PTIK untuk membantunya memformulasikan pemikiran-pemikiran tentang reformasi Polri. Pemikiran itu dia kemas dalam bentuk tulisan jadi. Padatnya kesibukan di PTIK tersebut memaksanya meminta keluar dari UIN, untuk bisa sepenuhnya mengabdi di PTIK. Di PTIK, selain mengajar Psikologi Forensik, juga mengajar Manajemen Konflik, bersama Bambang Widodo Umar.

Mengajar di PTIK membuatnya mengalami berbagai hal menarik. Salah satu, cerita tentang mahasiswa yang sebagian besar perwira berpangkat AKP dan Iptu. Semula mereka cenderung menyepelekannya. Reza pun berpikir bagaimana mengatasi hal itu. Dia pun menemukan kuncinya. Suatu pagi, saat masuk kelas da menyapa: “Apa kabar saudara?” Jawaban mahasiswanya pun standar: “Baik.”

Lalu, Reza pun berkata lantang: “Reputasi saudara terpuruk di mata masyarakat, tapi hari ini Anda mengatakan kabar baik. Kalau begitu, Saudara adalah orang yang tidak punya perasaan.”

Para mahasiswa yang sebagian besar perwira berpangkat AKP dan Iptu pun tersentak. Mereka kaget tidak menyangka akan dihujat seperti itu. Reza pun mengkuliahi mereka. Setelah itu, mahasiswanya mulai menghargai dan mendengar apa yang dia katakan.

Bahkan, bukan hanya mahasiswa yang ingin mendengar pendapatnya. Para petinggi Polri juga meminta pendapat dan analisis penulis buku ‘Polisi Bukan Manusia’ itu dalam proses penegakan hukum. Selain mengajar di PTIK, dia juga membagi waktu bekerja di Kajian Ilmu Kepolisian UI dan menjadi Ketua Jurusan Psikologi, Universitas Bina Nusantara. Dia juga rajin menulis di berbagai media dan menjadi narasumber utama dalam berbagai forum yang berkaitan dengan psikologi forensik di tanah air.

Saat dia berguna bagi banyak orang, dia juga selalu mengasihi, mengasuh dan memperhatikan keluarganya. Dia mendidik dua anaknya Menza Fadiyan Amriel dan Devinza Tazqia Amriely, dengan kasih sayang. Dia memotivasi anaknya untuk berani mencoba. Kepada anaknya dia asuhkan bahwa kemenangan atau kegagalan adalah sebuah risiko. Dia juga tidak latah mengajari anaknya berbahasa Inggris. Dia bahkan mengharuskan anaknya, terutama ketika bicara dengan orang dewasa, mesti memakai bahasa Indonesia yang sempurna.

Psikologi Forensik dan Detektif
Penggunaan psikologi forensik untuk kepentingan penegakan hukum di Indonesia, masih sangat minim. Reza menjelaskan, ada tiga objek psikologi forensik, yakni, penegak hukum, korban, dan pelaku kejahatan. Salah satu fungsi psikologi forensik adalah mendeteksi sifat, perilaku, dan kepribadian penjahat. Termasuk di dalamnya tes kebohongan.

Perihal tes kebohongan, Reza mengungkapkan hasil penelitian di luar negeri yang cukup menarik. Penelitian bagaimana lebih akurat mengetahui seseorang bohong atau tidak? Maling ya diperiksa oleh maling, penjahat oleh penjahat.

Dia mengakui, ilmu yang ditekuninya tidak bisa menghasilkan banyak keuntungan secara finansial dibandingkan dengan cabang ilmu psikologi yang lain. Hal ini sudah diingatkan saat dia memilih kuliah di University of Melbourne. Tapi, dia tidak melihat hanya sisi finansial. Dia melihat sisi strategis, melihat Indonesia ke depan, di mana psikologi forensik bisa mengambil tempat, berguna.

Sebagai pembanding, di beberapa negara maju, seorang psikolog forensik sangat berpeluang menjadi seorang detektif swasta. Karena kemampuan dan analisisnya dalam melihat suatu kejahatan merupakan kunci dasar sebagai seorang detektif. Jika di Indonesia ada payung hukum bagi detektif atau penyidik swasta, Reza pun mengaku cukup tertarik. Walaupun saat ini dia lebih berminat menjadi akademisi yang membantu polisi dan pihak-pihak terkait demi penegakan hukum.

Atas kiprahnya sebagai akademisi, Majalah CAMPUS Indonesia terbitan Agustus 2011 menempatkan Reza Indragiri Amriel sebagai salah seorang dari 20 Akademisi Top Indonesia.
Penulis: Binsar Halomoan | Observer.Red | Bio TokohIndonesia.com |

Refrensi:
1. Reza Indragiri Amriel, Bangkit dari Titik Trauma, Nova Rabu, 13 Agustus 2008 | http://www.tabloidnova.com/Nova/Profil/Reza-Indragiri-Amriel-Bangkit-dari-Titik-Trauma/

2. Reza Indragiri, Master Langka Bidang Psikologi Forensik, Jumat, 08 Januari 2010 | http://www.jpnn.com/berita.detail-56131

3. Reza Indragiri Amriel Tertarik Jadi Detektif, Jumat, 2 Mei 2008 | http://nasional.kompas.com/read/2008/05/02/11291738/reza.indragiri.amriel.tertarik.jadi.detektif

Data Singkat
Reza Indragiri Amriel, Dosen Psikologi Forensik / Master Psikologi Forensik Pertama | Direktori | UI, Polri, Binus, Reza Indragiri Amriel, Psikologi Forensik, PTIK

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini