Melukis Kehidupan Masyarakat Urban
Dede Eri Supria
[DIREKTORI] Pelukis beraliran hiper realisme ini banyak mengangkat tema-tema sosial khususnya kehidupan masyarakat urban yang terpinggirkan. Karya-karya pelukis sampul buku ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’ ini menampilkan objek secara mendetail dan akurat sehingga tampak seperti foto dan terasa khas karena dibungkus dengan surrealisme.
Putra pasangan Supardi Tanumihardja dan Saribanon ini sejak kecil sudah memperlihatkan minatnya yang besar dalam hal menggambar sehingga kurang memperhatikan pelajaran-pelajaran lain di sekolah. Bakat tersebut boleh jadi diwarisinya dari sang ayah yang berprofesi sebagai guru STM yang memang dikenal pandai melukis. Ketika duduk di bangku SD, pria kelahiran Jakarta, 29 Januari 1956 ini pernah mengisi liburan Ramadhan dengan menjual kartu pos bergambar hasil karyanya di depan Kantor Pos Pasar Baru, Jakarta.
Semasa SMP, ia tinggal bersama paman dan bibinya, Nina Sulaiman Feltkamp. Melihat bakat anak ke 7 dari 11 bersaudara itu di bidang melukis, sang bibi
kemudian memperkenalkannya pada Pak Ooq (Dukut Hendratnoto) untuk belajar melukis. Pada 1974, setelah tamat SMP, atas saran bibinya pula, Dede hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta untuk belajar di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) namun hanya sampai kelas tiga.
Tahun 1977, ia memilih keluar dari sekolah tersebut setelah mengetahui dirinya tidak naik kelas. Sejak itu Dede lebih memilih untuk menghabiskan waktunya berkumpul bersama para mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta.
Dari situ, kemampuannya sebagai pelukis kian matang. Kemunculan Dede Eri Supria di penghujung 1970-an sangat memberikan harapan. Pasalnya, ia merupakan salah seorang eksponen Seni Rupa Baru yang dinilai paling serius menjalankan perannya sebagai pelukis profesional. Sama seperti kebanyakan pelukis lainnya, lukisan Dede juga memiliki ciri khas. Dalam hal ini Dede lebih memilih gaya melukis realisme dengan tema sosial dan kritis. Sementara dalam perwujudannya seringkali bernada surealistik dan jika dilihat dari segi teknik, Dede mengambil gubahan potretis.
Meski sebagian kalangan menganggap aliran tersebut sudah ketinggalan jaman, Dede punya pendapat sendiri. Menurutnya, lukisan abstrak tidak relevan di Indonesia, oleh karena itu, hanya sedikit masyarakat yang dapat menikmatinya. Semangat melukis Dede pun terus membara. Pada tahun 1976, Dede bergabung dengan lima mahasiswa ASRI mengadakan pameran keliling bertajuk Seni Kepribadian Apa di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta. Pameran itu seolah menggugat para pelukis mapan yang ketika itu sibuk berpolemik tentang kepribadian Indonesia dalam seni lukis. Setahun berselang, Dede memutuskan untuk bergabung dengan Kelompok Seni Rupa Baru yang juga bertujuan mengguncang kemapanan.
Pada 1989, Dede Eri Supria mendapat order dari G. Dwipayana untuk membuat sampul buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Dede mengaku sempat bingung saat diminta melukis wajah Presiden RI ke-2 itu. Setelah membongkar setumpuk dokumen, Dede akhirnya menemukan foto Pak Harto sedang tersenyum sambil bertepuk tangan saat menyaksikan sebuah pertandingan dalam suatu event olahraga.
Suami Dewi Kun Saraswati ini banyak mengangkat masalah sosial yang menggetarkan seperti kehidupan orang miskin yang tak berdaya di kota besar, urbanisasi, kesederhanaan orang-orang desa bahkan permasalahan dalam dunia sepakbola. Manusia seperti kehilangan peran, didesak oleh benda-benda dan bangunan-bangunan. Dengan ukuran yang umumnya terhitung besar, lukisan Dede menjadi saksi bagi kehidupan kota pada jaman pembangunan fisik.
Dalam salah satu karyanya yang berjudul “Yang Berusaha Tumbuh”, Dede bercerita tentang kesadaran akan dibutuhkan atau tidaknya keseimbangan ekosistem. Orang menjadi objek, pasif, konsumen dari industrialisasi yang selalu menghasilkan produk yang sama dan massal. Dalam proses melukis terjadi reduksi, dari realitas menuju ke suatu yang menjadi imajiner. Dede juga menyatakan bahwa “pelukis adalah antena sosial”, maksudnya, seorang pelukis mampu memperbaiki kesejahteraan ekonomi.
Sejak 1978, pelukis yang menjadikan rumahnya sebagai studio lukis ini selalu berpartisipasi dalam Biennale Pelukis Muda Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pameran tunggalnya yang pertama diadakan di TIM pada 1979, yang terus diselenggarakan secara berkala. Selain menggelar pameran solo, Dede juga ikut ambil bagian dalam sejumlah pameran bersama, pameran keliling negara ASEAN, dan Eropa, antara lain The Third Asian Art Show di Fukuoka, Festival Art dalam rangka KIAS di Amerika, serta Asia Pasific Trienalle di Brisbane, Australia.
Pada 1989, Dede Eri Supria mendapat order dari G. Dwipayana untuk membuat sampul buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Dede mengaku sempat bingung saat diminta melukis wajah Presiden RI ke-2 itu. Setelah membongkar setumpuk dokumen, Dede akhirnya menemukan foto Pak Harto sedang tersenyum sambil bertepuk tangan saat menyaksikan sebuah pertandingan dalam suatu event olahraga.
Bagian wajah Pak Harto itu lalu diekspos dan dikemasnya menjadi lukisan untuk menghiasi sampul buku tersebut. Tak dinyana, meski awalnya sempat didera kebingungan, karya tersebut nyatanya laris manis di pasaran. Bahkan, pada 1995, tanpa seizin Dede sang pelukis, Perum Peruri mengambilnya sebagai ilustrasi untuk uang kertas nominal Rp 50.000.
Lukisan The Smiling General itu merupakan satu dari sekian banyak karya ayah empat anak ini yang sudah tersebar di berbagai museum dan kolektor baik di dalam maupun luar negeri. Pada 1981, Dede bahkan pernah mendapat undangan berkunjung dari pemerintah Amerika Serikat. Pada tahun 1996, pemerintah Republik Rakyat Cina juga pernah secara khusus mengundang Dede untuk mengunjungi beberapa kota Negeri Tiongkok tersebut.
Berkat kontribusinya pada dunia seni lukis, Dede berhasil menyabet sederet penghargaan, diantaranya The General Award for the Arts dari The Society for American-Indonesian Friendship (1978), Hadiah Lukisan Terbaik dalam Biennale yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 1981), Anugerah Adam Malik (1986), Affandi Award (1993), serta Hadiah Pertama The Philip Morris Indonesian Arts Award (1997). Bio TokohIndonesia.com | muli, red