Semula SBY Niat Jadi Wapresnya Megawati

 
0
200
Semula SBY Niat Jadi Wapresnya Megawati
Sudi Silalahi | TokohIndonesia.com | Bantu Hotsan

[WAWANCARA] Wawancara Mensesneg Sudi Silalahi (1) – Sebetulnya, semula Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat sebagai Menko Polkam Kabinet Gotong-royong sama sekali tidak ada keinginan untuk menjadi presiden. Justru ada keinginan menjadi Wakil Presiden, tapi beliau tidak pernah ditawari oleh Presiden Megawati ketika itu.

Menteri Sekretaris Negara Letnan Jenderal TNI (Purn) Sudi Silalahi pertama kali mengungkapkan hal itu dalam wawancara dengan wartawan TokohIndonesia.com Ch. Robin Simanullang, Muchlas Santoso dan Bantu Hotsan di Kantor Menteri Sekretaris Negara, Gedung Utama Sekretariat Negara, Senin, 13 Pebruari 2012.

Wawancara TokohIndonesia.com dengan Mensesneg Sudi Silalahi berlangsung dalam tiga sesi, yakni dua sesi wawancara langsung dan satu sesi wawancara tertulis. Wawancara langsung sesi pertama berlangsung kurang lebih satu jam, mulai pukul 14.55 – 15.55. Beliau didampingi Staf Khusus Mensesneg Mayjen TNI (Purn) Kohirin SS, MSc dan dua staf Humas. Seyogyanya wawancara diagendakan dua jam, namun pengaturan waktu tidak memungkinkan karena setelah dari pagi beliau rapat dengan presiden dan wapres, harus lanjut lagi jam 4.15 WIB. Dilanjutkan lagi jam 20.00 mendampingi Presiden wawancara dengan seluruh wartawan istana dan dimana semua menteri juga hadir. Sehingga wawancara harus dilanjutkan dalam sesi kedua.

Beliau (SBY) ketika di TNI pun dengan saya sama sekali jadi menteri pun tidak ada (keinginan). Beliau itu waktu dipanggil Presiden Gus Dur untuk jadi menteri. Itu kita berkabung malah. Tiga hari kita itu merenung, karena beliau sama sekali tidak ingin meninggalkan TNI, cita-citanya waktu, kita ingin sama-sama membenahi TNI ini menjadi tentara yang profesional.

Sebagian materi wawancara langsung sesi pertama adalah tentang bagaimana Sudi Silalahi sebagai orang terdekat Presiden SBY dalam proses persiapan dan pengaturan strategi menjadi Presiden. Berikut petikan wawancara tersebut:

Kami awali dari kisah kedekatan Pak SBY dan Pak Sudi Silalahi yang saling mengagumi sejak sebelum akhirnya tampil bersama-sama mengurusi negara di pusat kekuasaan. Pak Sudi dari sejak di Menkopolkam, dari pengamatan kita sangat dekat dengan Pak SBY sampai beliau menjadi Presiden. Dan kami mengapresiasi Pak Sudi, itu orang ketiga di Repbulik. Bagaimana komentarnya?

Iya, tentunya tidak, biasa-biasa saja. Hanya sejak dulu memang kita sudah banyak kecocokan mulai dari bagaimana kita mereformasi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ketika itu. Saya membantu beliau (Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Kepala Staf Teritorial – Kaster ABRI, 1998-1999), sebagai Asospol (Asisten Sosial Politik). Sebagai Asospol banyak kesamaan pandangan kita tentang perlunya reformasi di internal ABRI ketika itu. Yang kemudian dilanjutkan di Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan (Polkam), saya sebagai Sekmen Menkopolkam, lebih fokus.

Itu yang ditanyakan tadi bahwa di Polkam itu juga kita banyak melakukan hal-hal yang cukup konstuktif, kongkrit hasilnya. Internal di Polkam, bagaimana kami membenahinya menjadi Kementerian Koordinator yang efektif. Beliau sebagai menteri membantu tugas-tugas presiden. Utamanya kalau di internal di kementerian itu sendiri bagaimana manajemen Kementerian Koordinator Polkam itu dan bagaimana juga kita mewujudkan administrasi, keuangan dan apa semuanya yang sangat penting. Kita juga membereskan masalah internal, bagaimana kita mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan sebagainya itu di Kementerian Koordinator Polkam.

Dan kedua, ke luar, bagaimana kita mencari solusi, untuk persoalan Ambon dan Aceh ketika itu. Niat kiat, bagaimana masalah Aceh dan Ambon kita selesaikan secara damai dan bermartabat. Dan saya mendampingi beliau ke luar masuk Aceh sana dengan usaha-usaha yang konkrit mengajak semua dan eksponen bangsa ini, untuk ikut serta. Utamanya, komponen-komponen GAM yang ada di hutan dan sebagainya untuk bagaimana kita mencari solusi secara damai. Dan ternyata dengan komunikasi-komunikasi kita waktu itu, ketika di Polkam itu tidak maksimal karena memang masih banyak pandangan-pandangan yang berbeda. Banyak yang mengatakan bahwa di Aceh itu, tidak ada istilah damai, separatis harus ditumpas. Tapi karena kita, tidak ingin melihat prajurit kita setiap hari gugur, begitu juga dari GAM keluarga-keluarganya ditinggalkan. Juga masyarakat jatuh korban setiap hari.

Akhirnya betul-betul sama-sama mempunyai keinginan yang kuat menyelesaikan Aceh secara damai. Singkatnya, dengan berbagai upaya draft yang kita masukkan, kita menyelesaikan Aceh itu dengan dan bermartabat sampai sekarang pun, meskipun belum secara sepenuhnya. Tapi ke depan, kita sangat optimis bahwa itu menjadi suatu penyelesaian yang abadi setelah hampir setengah tahun persoalan itu tidak selesai. Jadilah yang menurut saya, upaya atau kerja keras kita di Polkam untuk menyelesaikan Aceh.

Begitu juga Ambon, Maluku, ketika itu sudah hampir dua tahun bakar-bakaran, juga tidak selesai. Kita berupaya keras. Ternyata mengajak duduk bersama, menentukan pejabat-pejabat yang tepat di sana untuk menyelesaikan Ambon, itu akhirnya selesai juga dengan baik.

Kemudian, Pak SBY jadi presiden, Pak Sudi selalu menjadi orang terdekat, dalam pengamatan kita. Sebenarnya yang mengantarkan Pak SBY itu menjadi Presiden, bukan Partai Demokrat, tapi lingkarannya Pak Sudi yang mengatur strateginya. Secara yang tampak di depan memang Partai Demokrat. Tetapi untuk mencapai strategi itu Pak Sudi dan kawan-kawan?

Sebetulnya tidak sepenuhnya betul, ya kita sama-samalah. Tapi begini, intinya ketika itu, saya sebagai TNI aktif, tidak mungkin saya terjun langsung untuk mendukung beliau jadi presiden, dalam arti berpolitik praktis. Tapi perlu juga saya ingin luruskan, bahwa beliau itu sama sekali tidak ada keinginan untuk menjadi presiden. Sama sekali tidak ada, hanya ketika itu, ya, mungkin telah ada sedikit, permainan-permainan politiklah atau mungkin yang mengesek-gesek kepada presiden ketika itu yang menyatakan Pak SBY ini mau running untuk presiden dan sebagainya. Sebetulnya tidak ada. Sama sekali tidak ada.

Advertisement

Kalau tidak salah, mungkin Pak Sudi tidak terlalu mengenal saya waktu itu, sudah ada Partai Demokrat, lalu kita tanya Pak Sudi bagaimana kemungkinan Pak SBY menjadi wakil presiden. “Oh untuk apa jadi wakil presiden, yang penting presiden”?

Oh, bukan. Jadi begini, itu belakangan. Sebetulnya beliau justru ada keinginan menjadi Wakil Presiden, tapi beliau tidak pernah ditawari oleh Presiden Megawati ketika itu. Bahwa beliau itu sama sekali tidak ada keinginan untuk menjadi presiden. Dalam hati beliau itu kalau diajak jadi wakil presiden beliau sangat bersedia. Itu sebetulnya, pemulaannya.

Pernyataan ini penting, tidak pernah terungkap?

Belum, memang belum pernah terungkap. Yang kedua, tapi justru yang berkembang ketika itu ada masuk (informasi) barangkali kepada presiden (Megawati) seolah-olah Pak SBY ini mau running jadi presiden. Sebetulnya tidak. Waktu itu bermula, Polkam itu ada suatu survey. Survey itu sebetulnya survey yang diadakan untuk keputusan atau kebijakan presiden. Ketika itu suasana di Aceh masih seperti itu, dibuatlah suvey apakah di Aceh sudah siap untuk ikut Pemilu. Itu kira-kira, misalnya apakah peraturan perundangannya ataupun perangkat-perangkatnya semua sudah siap, sudah oke.

Sebetulnya suvey tentang itu yang dilakukan, waktu itu oleh deputi satu bidang dalam negeri yaitu Pak Yatim. Ketika itu entah kenapa sudah masuk informasi, bahwa beliau (SBY) sudah membuat survey untuk mengukur dukungan. Padahal sama sekali tidak!

Kemudian dengan itulah, mungkin ada yang gesek-gesek dan sebagainya. Beliau barangkali waktu itu, sudah tidak begitu diajak aktif di kabinet. Ketika itu, saya pun sama sekali tidak pernah mendeklair bahwa beliau itu tidak dilibatkan di kabinet. Tapi ketika para wartawan mendesak saya, bertanya, “apakah betul Pak Sekmenko bahwa Pak SBY sudah tidak diajak lagi sidang kabinet dan sebagainya.” Aduh saya tidak dalam kapasitas untuk menjawab. Tapi tunggu saya cari jawaban dan bertanya kepada beliau.

Saya bertanya kepada beliau, ketika waktu itu sedang belum sampai ke kantor, “Ini Pak (SBY) para wartawan bertanya. Apa betul Pak Menkopolkam itu tidak dilibatkan di sidang kabinet lagi. Terus jawabnya Pak SBY kepada saya, “mas jawab apa adanya.” Wah, ketika saya disuruh menjawab apa adanya itu, di situlah saya menjawab para wartawan, kalau tidak salah, dulu itu, wartawan darimana, lupa saya. Tapi saya menjawabnya, ya, sesuai dengan pertanyaan rekan-rekan wartawan. Saya sudah bertanya kepada presiden (Menkopolkam). Saya diminta untuk menjawab apa adanya. Memang beliau sudah jarang diajak ke kabinet. Saya bilang begitu.

Ketika itulah dukungan publik, sepertinya beliau ini dikucilkan atau apa begitu. Akhirnya ketika itu bapak presiden menulis surat ke Ibu Mega, untuk memberikan klarifikasi bahwa tidak ada keinginan beliau untuk running jadi presiden untuk apa dan sebagainya dengan harapan beliau dipanggil, diajak lagi begitu. Tapi tidak, malah saya tidak perlu ceritakan apa respon presiden (Megawati) ketika itu.

Tapi katanya sampai tiga kali Presiden Megawati bertanya?

Tidak. Tidak pernah, tidak pernah. Dan beliau mengatakan kepada saya, andai kata saya ditanya, siap untuk membantu beliau. Tapi saya tidak berhak. Kemudian hal ini hanya permainan politik. Siapa yang bermain di sini yang mengesek-gesek sehingga Ibu Mega dapat informasi yang seperti itu. Dengan seperti itu (diperlakukan) barulah beliau berpikir untuk mendirikan partai itu.

Kapan pertama kali Pak Sudi membicarakan tentang jabatan presiden sama Pak SBY?

Saya tidak pernah membicarakan tentang beliau. Tapi begini, ketika beliau, setelah mengundurkan diri ke luar dari kabinet, di situlah. Itupun saya masih tetap ada di Polkam. Saya kira apa yang, katakanlah, yang sedang beliau rancang di luar. Itu memang beliau ada, ya, sekali lagi beliau juga tidak mau menyeret-nyeret saya sebagai tentara yang masih aktif ketika itu. Saya hanya memberikan pandangan, barangkali gambaran kepada beliau bahwa mungkin bisa dilibatkan yang senior-senior yang punya pandangan-pandangan. Saya memberikan beberapa nama yang akhirnya juga diajak beliau untuk merumuskan bagaimana langkah-langkah ke depan.

Setelah itu, saya juga mengajukan permohonan berhenti dari Sekmenkopolkam ketika itu. Akhirnya juga tidak kunjung ke luar keputusan. Saya minta izin umroh, saya berdoa mudah-mudahan saya juga berhenti dari Polkam. Alhamdulillah, begitu saya selesai umroh, Kepres turun, saya ke luar. Begitulah saya bermaksud (memberikan dukungan).

Karena saya melihat figur yang cocok jadi presiden ketika itu, beliaulah. Beliau mempunyai wawasan yang luas, kepemimpinan, pengalaman mulai dari TNI. Di TNI kayak apa, pemikiran-pemikiran beliau yang sangat strategis itu. Saya ingin supaya presiden mendatang itu adalah presiden yang cakap bisa membawa negara ini kepada keadaan yang kita harapkan. Kira-kira begitu. Dengan harapan, tidak ada keinginan saya untuk masuk ke kabinet. Saya pun ketika ditawari oleh beliau, saya juga mengatakan tidak. Saya ingin, kalau bapak sudah jadi presiden, sayapun pensiun tenang, itu saja.

Tapi waktu itu saya membuat “Blora Center” yang Alhamdulillah sukarelawan datang dari mana-mana, ingin berkontribusi mensukseskan beliau sebagai calon presiden. Nah, itu sebetulnya yang terjadi. Ketika itu, tidak melihat partainya datang ke Blora Center yang saya buat itu. Saya sediakan fasilitas untuk wartawan, mau makan, minum dan computer segala macam lengkap. Dan itupun pengadaan dari mereka (relawan). Tidak ada dari kita. Jadi itu semua sukarelawan yang berkontribusi di situ. Ada yang menyumbang alat-alat komunikasi, segala macam keperluan-keperluan untuk mensosialisasikan beliau sebagai calon presiden.

Maaf Pak Sudi, kita ‘kan tidak selalu yakin betul apa yang Pak Sudi (katakan). Karena menurut pengamatan kita, ada think tank yang koordinasinya itu ditangani Pak Sudi. Jauh sebelum Pak SBY jadi presiden?

Iya bolehlah (ha-ha-ha). Kalau sebelum, tidak. Selama saya Sesmenpolkam, beliau ya, saya buka dari awal sebelum dari apa (TNI). Beliau ketika di TNI pun dengan saya sama sekali jadi menteri pun tidak ada (keinginan). Beliau itu waktu dipanggil Presiden Gus Dur untuk jadi menteri. Itu kita berkabung malah. Tiga hari kita itu merenung, karena beliau sama sekali tidak ingin meninggalkan TNI, cita-citanya waktu, kita ingin sama-sama membenahi TNI ini menjadi tentara yang profesional. Kita mereformasi ABRI ketika itu, kita perbaiki semua. Banyak hal-hal yang signifikan kita rubah. Ketika itu distorsi kekaryaan Dwifungsi yang kebablasan dan sebagainya itu.

Itu betul-betul! Ketika diberitahu beliau diminta menjadi Mentamben (Menteri Pertambangan dan Energi) orang kasih selamat, telepon berdering-dering, kita berdua itu malah merenung. Apa beliau senang jadi menteri? Nggak mau beliau. Sebetulnya ingin membenahi TNI.

Baru setelah di panggil Presiden Gus Dur dijelaskan kenapa beliau diminta jadi menteri. Setelah itu beliau mendapat telepon dari alharhum ayahandanya, bahwa pengabdian itu tidak hanya di TNI, di mana pun pengabdian kepada negara sama saja. Barulah beliau mulai terbangun dan belajar apa pertambangan dan energi dan kemudian menyesuaikan. Itulah beliau, sama sekali tidak ada keinginan jadi menteri. Keinginan beliau hanya ingin menjadi pimpinan angkatan darat saja. Itu cita-citanya.

Pak Sudi itu ‘kan begitu dekat dengan beliau (Pak SBY). Ketika diajak jadi Mentamben pun, sudah membicarakannya berdua. Berarti kedekatannya itu sangat luar biasa. Jadi apa sih kelebihannya Pak SBY?

Sebetulnya panjang ya. Sebetulnya mulai bagaimana kedekatan itu terbangun. Itu mulai dari Akademi Militer. Waktu itu, saya tidak terlalu ini juga, tapi sebagai yang lebih senior dari beliau. Saya lebih senior satu tahun, ketika saya tingkat tiga Sersan Mayor Taruna, beliau adalah tingkat dua Sersan Taruna. Kebetulan kami bergabung dalam satu kesatuan yaitu Kompi Drumband Canka Lokananta, drum bandnya Akabri. Saya sebagai pelatih, katakanlah seperti itu.

Saya melihat, dia ini seorang yang cerdas, mempunyai kepribadian lebih dari yang lain-lainnya. Dan itu juga dibuktikan, waktu beliau di Akademi Militer, mendapatkan bintang kepribadian terbaik. Dia ada tiga bintang kalau di Akademi Militer itu, yaitu akademi Bintang Kartika Tambunpusaka, itu artinya yang mempunyai kepribadian yang bagus. Jadi contohlah, yang bagus. Kemudian ada Bintang Kartika Adi Tanggap, itu intelektualnya. Ada Kartika Dira Trengginas, yaitu ketangkasan fisiknya. Dia mempunyai bintang kepribadian yang menonjol. Saya melihat dia ini taruna yang baik, calon perwira yang bagus. Dalam pikiran saya begitu.

Di luar pengetahuan saya dan baru saya ketahui, dia juga mempunyai penilaian kepada saya. Baru belakangan saya tahu dari pengantar buku yang diberikan kepada saya, ternyata waktu di akademi militer, beliau juga melihat saya sosok yang beda dengan yang lain. Tapi bukan dalam arti hebat saya, tapi umumnya dulu waktu di akademi, kebetulan saya waktu di akademik itu, saya masuk istilahnya ada Pokojid (Kelompok Komando Masjid) yang mengurusi pembinaan rohani, ceramah-ceramah agama dan sebagainya.

Nah ketika itu, saya sebagai senior, umumnya senior satu tingkat di atas itu kepada yuniornya itu lebih menonjolkan otoritasnya. Jadi bagaimana dia menghukum juniornya sampai ampun-ampunlah, kira-kira begitu ya. Bahkan dengan tindakan fisik yang berlebihanlah. Beliau melihat saya adalah senior yang selalu memberikan motivasi, persuasi, dan memberikan dorongan-dorongan untuk bagaimana agar lebih sukses dalam akademik. Jadi itu rupanya, jadi saya juga menilai beliau dari berbagai aspek, tapi tanpa saya ekpresikan.

Begitu juga rupanya beliau juga mempunyai penilaian terhadap saya, tanpa diekspresikan. Baru setelah kita ketemu di medan pengabdian ini, muncul ke samaan panggilan tugas ini. Jadi itulah kira-kira. Kemudian singkat cerita, kita sama-sama di Bandung sebagai instruktur, guru militer. Saya komandan Secaba regular. Beliau waktu itu sebagai komandan pelatih bintara infanteri. Ketemu di sana, jadi banyak persamaan-persamaan itu. Singkat lagi, bertemu lagi di Cilangkap. Sempat beliau menjadi Asospol ABRI ketika itu, saya sempat menjadi Wasospol walaupun tidak terlalu lama. Kemudian saya menjadi Kasdam Jaya beliau naik jadi Kasospol (Kaster). Kemudian waktu beliau jadi Kasospol, saya ditarik beliau untuk jadi wakilnya jadi Asospol di Cilangkap.

Sebelum ditarik di Asospol, saya sebagai Kasdam Jaya, dulu pernah dua kali diminta beliau untuk mewakili beliau memberikan ceramah. Pertama, ceramah reformasi TNI/ABRI di Universitas Indonesia (UI) di Depok. Walaupun waktu permintaan itu mendadak, dimana saya harus memberikan ceramah jam 10, saya diberitahu jam 8. Harusnya beliau yang memberikan ceramah. Tapi karena mendadak, beliau ada tugas dari penglima ABRI ketika itu, saya diminta tolong mewakili memberikan ceramah reformasi ABRI di UI tersebut. Ketika itu, saya sebetulnya wah mendadak sekali ya, karena waktunya sangat singkat. Tapi singkat cerita saya penuhilah, waktu itu bagaimana penolakan dari mahasiswa melihat ABRI itu dan sebagainya. Saya disambut dengan demo dan sebagainya.

Kemudian setelah saya memberikan ceramah, saya menyampaikan bagaimana konsep reformasi ABRI dan apa-apa saja yang sudah dilakukan ABRI. Beberapa hal-hal yang signifikan yang telah berobah setelah reformasi itu. Ketika itu saya menantang memberikan challenge kepada mahasiswa: Sekarang rekan-rekan mahasiswa, setelah reformasi itu, apa yang berubah yang kalian lakukan? Kalau ABRI sudah jelas, yang tadinya menduduki jabatan-jabatan sipil, kita sudah lepaskan. Tidak boleh lagi, kalau mau menjabat jabatan bupati, walikota, gubernur harus pensiun.

Kemudian kita tidak lagi melakukan, peran-peran kekaryaan, misalnya menduduki jabatan di perusahaan-perusahaan dan sebagainya, kita stop. Kita bubarkan Sospol, kekaryaan, jelas yang kita lakukan, kita tidak berpolitik praktis lagi. Kita tidak mau ikut-ikut parpol lagi, netralitas dalam pemilihan umum, nyata-nyata kita sampaikan kepada mereka (mahasiswa). Akhirnya, sambutan mahasiswa itu berbalik yang tadinya antipati menjadi simpati. Itulah, ketika saya laporkan kepada beliau (SBY), beliau mengapresiasi.

Yang kedua, ketika diminta beliau, mendadak juga mewakili beliau sebagai Kasospol untuk memberikan ceramah di HMI, padahal waktu itu saya masih berpangkat Brigjen dengan jabatan Kasdam Jaya. Waktu itu penolakan HMI begitu juga. Tapi setelah saya memberikan ceramah, akhirnya juga cair, berbalik dari penolakan beralih menjadi dukungan yang sangat baik. Dan ketika saya laporkan kepada beliau, terkesan sekali. Sehingga ketika itu saya langsung diminta untuk menjadi Asospol. Ceritanya begitu. Wawancara TokohIndonesia.com | rbh

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Tokoh Terkait: Megawati Soekarnoputri, | Kategori: Wawancara | Tags: wawancara, Mensesneg

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini