Zone of Peace and Democracy

 
0
267
Syaykh Panji Gumilang
Syaykh Panji Gumilang | TokohIndonesia.com – Atur

[WAWANCARA] – WAWANCARA SYAYKH AS PANJI GUMILANG: Indonesia harus masuk dalam ‘zone of peace and democracy’ kalau ingin menjadi negara yang beradab dan bermoral di muka bumi ini bersama-sama dengan negara-negara lain. Di situlah baru ketahuan bahwa Indonesia akan strong. Pernyataan ini dikemukakan Syaykh l-Zaytun Abdussalam Panji Gumilang, dalam percakapan dengan Tim Wartawan TokohIndonesia.Com.

Dia didampingi dua orang staf (sahabat) yakni Abdul Halim dan Nurdin Tsabit serta seorang wartawan Majalah Al-Zaytun. Wawancara (percakapan) berlangsung Kamis malam 19 Februari 2004 di Wisma Tamu Al-Ishlah Ma’had Al-Zaytun, setelah Wartawan Tokoh Indonesia, Ch. Robin Simanullang, Marjuka Situmorang, Atur Lorielcide Paniroy, sejak pagi hingga menjelang magrib, meninjau hampir seluruh gedung dan lahan pertanian dengan segala aktivitas di Ma’had Al-Zaytun.

Menurutnya, manusia itu dipersiapkan untuk menjadi dirinya di masanya nanti dengan persiapan cerdas berpikir, punya bajik dan bijak, sains teknologi, cinta negara yang bertanggung jawab dan mampu hidup dengan bangsa-bangsa lain. Itu saja yang dibekalkan pada peserta didik dan mereka nanti akan berinovasi pada zamannya.

Nanti cara berpikir kita, ‘International Thinking’. Cara solidaritas kita, ‘International Solidarity’Sehingga nanti kita bertemu yang namanya ‘International Setting’ karena cita-cita seperti itu merupakan cita-cita pendidikan internasional. Nanti cara berpikir kita, ‘International Thinking’. Cara solidaritas kita, ‘International Solidarity’. Tatanan hidup kita, settingnya, ‘International Setting’. Barangkali itulah yang dinamakan hidup global dan itulah yang dinamakan globalisasi. Kekuatan nasional, namun kita mampu mengakses kehidupan antar bangsa.

Beberapa bagian dari percakapan ini telah tertuang dalam tiga judul tulisan lainnya: Pelopor Pendidikan Terpadu, Ponpes Peradaban Berskala Dunia, dan Laboratorium Alam dan Kegiatan Ekonomi Terpadu. Dalam petikan wawancara ini, beberapa bagian itu juga kami tuangkan, dengan harapan, kiranya kejernihan dan keutuhan informasinya tersajikan kepada pembaca. Berikut petikannya:


02 | Pesantren Spirit but Modern System

M-TI: Kami sudah banyak mendengar dan membaca berita mengenai Ma’had Al-Zaytun ini termasuk adanya perbedaan pendapat mengenai kehadirannya. Kami sengaja datang dengan latarbelakang berbeda demi kemurnian penulisan. Salah satu yang ingin kami perjelas adalah mengenai ide dan tujuan awal berdirinya Ma’had Al-Zaytun ini, termasuk visi, filosofinya. Di samping itu kami ingin mendengar kisah keberhasilan Syaykh sendiri hingga bisa seperti sekarang ini.

SYAYKH: Yang pertama kita sampaikan terimakasih, Anda datang dengan niat memperdekatkan antara satu bangsa, warga bangsa Indonesia yang satu dengan warga lainnya. Sebagai satu bangsa Indonesia, kita sudah punya keyakinan, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Dan kejayaan kita ini justru ada di kebhinekaan tersebut. Ini yang harus kita syukuri, jadi kami tidak merasa berbeda.

Selanjutnya kalau Anda menginginkan cerita dari kami, kami ini tidak terlalu biasa untuk mengungkapkan suatu, yang kata orang, itu sebagai sukses, sebab kami merasa belum sukses. Sukses masih ada di depan kami, yang akan kami raih. Sukses masih ada di depan dan belum pernah kami raih, dan terus kami ingin meraihnya. Bila ada sesuatu yang kami capai hari ini, itu adalah untuk hari ini dan kemarin. Ke depan belum ada sukses.

Adapun tentang Ma’had Al-Zaytun yang Anda tanyakan tadi, seperti apa cerita mula berdirinya, visi, filosofi dan sebagainya, ini sebenarnya merangkum kehendak bangsa Indonesia. Di samping kita sendiri mempunyai satu gagasan bahwa peradaban umat manusia tidak boleh diputus, kita harus bersambung dengan berbagai kemampuan yang ada pada kita semua. Dengan satu manajemen ‘kekitaan’ bukan ‘keakuan’ sebab kekitaan itu mempunyai satu kekuatan yang tidak pernah dapat diruntuhkan oleh siapapun kecuali oleh yang membuat kita itu sendiri.

Jadi kita (Al-Zaytun), manajemennya untuk menyambung peradaban umat manusia ini dengan system kekitaan dan bukan keakuan, sebab aku umurnya cepat, hanya terbatas. Tapi kalau kita sangat lama dan tidak pernah putus.

Jadi, Al-Zaytun adalah cita-cita bangsa Indonesia yang ingin menciptakan suatu lembaga pendidikan yang excellent. Excellent di dalam pendidikan merupakan dorongan untuk mencapai national survival. Itu yang kita rasakan. Namun memulainya, banyak yang bertanya dari mana harus dimulai.

Advertisement

Dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia tatkala sebelum masa penjajahan, telah mempunyai satu sistem pendidikan yang dinamakan pesantren. Kami dan kawan-kawan memulainya dari sana. Namun kita tidak ambil fisik pesantrennya tapi ‘roh’ pesantrennya. Kita ambil ‘roh’ pesantren yang mereka simpulkan sebagai kemandirian. Enterpreneurship yang kita ambil dari jiwa pesantren itu.

Dari pesantren diambil spirit kemandirian dan enterpreneurshipnya. Lalu kita masukkan nilai-nilai modern yang berdasar ilmu, program oriented

Maka perjalanan Al-Zaytun itu dijiwai dengan semangat ‘pesantren spirit but modern system’. Dari pesantren itu yang diambil spirit kemandirian dan enterpreneurship-nya. Lalu dalam perjalanannya, kita masukkan nilai-nilai modern yang berazas kepada ciri-ciri modern itu: pertama, bergerak berdasar ilmu; kedua, program oriented; ketiga, kenal prosedur; keempat, mempunyai organisasi yang tegas/kuat; kelima, mempunyai etos kerja yang tinggi dan mempunyai disiplin yang ketat dan tegas. Modern inilah yang kami jadikan sistem di dalam membangun semangat pesantren ini.

Dan cita-cita ini sudah lama dalam benak kami, namun realisasinya baru bisa dilakukan di penghujung abad 20 yaitu pada tahun 1999 bulan Juli awal, dan diresmikan oleh Presiden Habibie 27 Agustus 1999. Jadi perjalanannya baru masuk tahun ke 5.

Tujuan kita membuat pendidikan seperti ini, tidak lain dan tidak bukan ingin mencapai kecerdasan bangsa. Supaya bangsa kita semua menjadi cerdas, menjadi bangsa yang bajik dan bijak. Bajik dan bijak dalam arti bangsa yang suka terhadap kebenaran, juga bangsa yang mampu menghormati orang lain, bangsa yang sanggup secara mendalam menghormati apa yang dinamakan ‘kemanusiaan’.

Pendidikan yang kita lakukan ini, juga menginginkan agar putra-putri bangsa Indonesia ini sanggup menguasai ‘science & technology’ dengan segala perkembangannya.

Kemudian yang paling inti, sebagai warga bangsa, mereka mampu hidup di dalam negara ini dengan penuh tanggung jawab dan mampu menciptakan kestabilan dan keselamatan negara. Dan yang terakhir, sanggup hidup dalam tataran antar bangsa dengan penuh peradaban yang sempurna. Nah, itu cita-citanya. Jadi tidak terlalu jauh. Kalau dalam bahasa Al-Qur’an-nya disebut dengan ‘basthotan fil ‘ilmi wal jismi’ dan Al Qowiyyu al Amin.

Cita-cita seperti ini bukan kita rangkum sendiri, tetapi bersama-sama. Sebelum kita mendirikan ini, kita masuk ke dalam berbagai lembaga pendidikan yang ada di Indonesia maupun di luar. Kami berkelana untuk melihat, studi banding dan sebagainya.

Kita memasang motto, memberikan penjelasannya, dan tujuan kita. Motto kita yang utama kita sampaikan, bahwa di sini pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi dan pengembangan budaya perdamaian. Itu diterima.

Tampilnya Al-Zaytun ketika itu, di saat Indonesia sedang masuk di dalam situasi krisis total, baik politik, ekonomi dan lain-lain. Berbagai kekerasan terjadi ketika itu. Kita mulai di saat seperti itu.

Terus berjalan, tahun kedua semakin banyak, tahun ketiga, keempat, kelima dan hari ini (19 Februari 2004) santri sudah berjumlah 7000-an lebih, percisnya 7.329 orang dalam tempo 5 tahun. Dan saat ini, Departemen Agama mengakui bahwa Ma’had ini merupakan tempat pendidikan yang digolongkan terbaik. Kita mendapatkan sertifikat semacam itu, yang diberikan awal Januari 2004. Kemudian dalam ujian-ujian sekolah menengah pertama, Al-Zaytun terbaik di Jawa Barat. Itulah kalau cerita tentang Al-Zaytun, jadi enteng-enteng saja.

M-TI: Mengatakannya barangkali yang enteng, mewujudkannya tidak mudah?

SYAYKH: Kalau sudah ditarik rodanya, kereta itu akan berjalan dengan sendirinya.

M-TI: Al-Zaytun ini sebuah keajaiban, dalam lima tahun sudah bisa seperti ini?

SYAYKH: Mobil itu, kalau bannya sudah berjalan, justru kita harus pandai menyetirnya. Jadi sudah nggak ada yang berat lagi.

M-TI: Berarti yang menyetirnya yang hebat.

SYAYKH: Bersama-sama, sekali waktu kita berhenti di pokok-pokok yang rindang, sekali waktu kita berhenti di padang yang yang terang.

M-TI: Tapi tidak tanggung-tanggung tantangan yang dihadapi Syaykh dan sahabat-sahabat di sini dalam membangun dan mengelola Ma’had Al-Zaytun ini?

SYAYKH: Kalau mengenai tantangan, kita hidup tanpa tantangan maka kita tidak menemukan manisnya hidup. Tantangan hidup adalah ciri bahwa kita diberi kesempatan untuk men-solving.

M-TI: Dari sekian banyak tantangan itu, ada yang sampai menerbitkan buku tentang Syaykh dan Ma’had Al-Zaytun, yang mengatakan di sini sesat dan sebagainya. Mungkin ada sesuatu yang menjadi kiat Syaykh sendiri untuk menghadapi hal-hal seperti itu?

SYAYKH: Kita terus bergerak, bergerak maju, membangun, menata, mendidik. Tantangan itu kita solving dengan cara itu. Tampilkan dengan sesuatu yang lebih baik, sehingga tantangan itu justru akan memberikan satu nilai pada kita.

Bukan tidak dihiraukan. Sebanyak buku yang ada, itu kita baca semua, dan kita katakan, “oh…ini di sini ‘nih yang harus kita lalui, oh… ini di sini yang harus kita singkirkan, oh…di sini yang harus kita laju ke depan. Itu kita jadikan tantangan, dan kita siap men-solving.

M-TI: Kalau diamati, tidak ada reaksi yang demikian rupa dari Syaykh tentang pendapat yang mengatakan bahwa Al-Zaytun ini menyesatkan?

SYAYKH: Reaksi kita harus membangun dan mendidik tanpa henti. Seperti yang Anda katakan, bahwa 5 tahun sudah seperti begini, ini adalah hasil reaksi. Kalau reaksi kita tuangkan dalam bentuk tulisan, itu tidak punya makna apa-apa dan akan mendapatkan warisan dari buku ke buku. Kita menginginkan reaksi itu dalam bentuk karya nyata, sehingga bangsa ini nanti menikmati karya bangsanya yang nyata itu.

Kemudian mengenai masalah adanya orang mengatakan di sini sesat dan sebagainya atau yang berbentuk macam-macam tadi, itu sejarah nanti yang membuktikan. Kalau kita yang menulis sejarah, kita bisa melihat dan merasakan. Kalau sejarah yang menulis dirinya sendiri, kehancuran yang terjadi.

Jadi ‘kan kita yang menulis sejarah itu, maka kita tulis sebaik-baiknya, dengan karya tentunya. Ini namanya karya sastra. Sastra itu macam-macam ‘kan? Bukan cuma tulis saja. Sastra itu termasuk seni dalam mengelola apa pun. Kebetulan saya mendalami sastra karena sekolah di sastra dulu.

M-TI: Kemarin Departemen Agama menentang Al-Zaytun, tapi sekarang sudah memberikan penghargaan. Bagaimana ceritanya?

 

SYAYKH: Bukan menentang, cuma berusaha untuk mencari tahu. Setelah tahu, ujungnya mereka juga salut. Ini juga sejarah, karena kita tulis. Andainya sejarah itu sendiri yang menulis, kita tidak bisa mengendalikannya.

M-TI: Bahkan ada salah satu yang menduga bahwa Al-Zaytun didirikan dalam rangka mendirikan Negara Islam Indonesia?

SYAYKH: Orang menduga boleh saja. Diduga di sini sesat pun tidak pernah dibantah. Menduga seperti itu pun kita tidak pernah bantah. Tapi dunia ini tidak boleh duga-duga, kita harus berpikir modern seperti tadi itu toh! Setiap bergerak harus berdasar ilmu.

Sekarang, antara ilmu dan duga tadi, ketemu apa tidak? Jika itu ketemu maka ‘ilmu’ yang salah dan ‘duga’ yang betul. Tapi di dunia ini, ‘duga’ itu tidak akan bisa mengalahkan ‘ilmu’.

M-TI: Sebelum kita kunjungi, sebenarnya kita menilai Al-Zaytun dari segi yang lain, apalagi setelah kita kunjungi sekarang ini. Maka dengan melihat segala sesuatu di sini, jadi timbul pertanyaan, kenapa orang menuduh seperti itu?

SYAYKH: Itu mestinya harus ditanya kepada penulisnya. Karena dia menulis buku sedangkan kita menulis sejarah dalam karya nyata.

M-TI: Di situlah menurut kita salah satu keunggulan dari Syaykh?

 

SYAYKH: Kita tidak merasa unggul atau tidak unggul, hidup ini datar saja. Apa yang diperintahkan konsep kehidupan, kita lakukan. Apa yang dilarang oleh konsep kemanusiaan, kita jauhi. Selamat. Tuhan pun akan suka.

M-TI: Dan ternyata di sini, dari gerbang saja sudah kelihatan motto Al-Zaytun ini yakni untuk pengembangan budaya toleransi dan budaya perdamaian?

SYAYKH: Maka Indonesia ini harus masuk dalam ‘zone of peace’ kalau ingin menjadi negara yang beradab dan bermoral di muka bumi ini bersama-sama dengan negara-negara lain.

M-TI: Dan itu yang dibangun di Al-Zaytun ini?

SYAYKH: Ya itu yang dibangun. Dan kita akan masuk ‘zone of peace and democracy’. Di situlah baru ketahuan bahwa Indonesia akan strong. juka-atur-crs, Majalah Tokoh Indonesia Edisi 8.

*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)


03 | Mimpi Besar Pemangku Pendidikan

M-TI: Kami jadi ingin tahu lebih jauh. Ini tentu sebuah mimpi, dalam arti positif, yang mungkin tidak seketika timbul. Jadi walaupun baru di penghujung 1999 diresmikan, cita-cita ini mungkin sudah lama dalam pikiran Syaykh?

SYAYKH: Semua orang punya cita-cita untuk berlaku, berbuat dalam kebaikan.

M-TI: Tapi ini sebuah cita-cita yang terwujudkan?

SYAYKH: Saya ini, putera dari seorang ayah yang mempunyai nama banyak sekali karena beliau itu seorang pejuang. Seorang pejuang itu memang sengaja mempunyai banyak nama, sekali waktu dipanggil Panji Gumilang, sekali waktu dipanggil Syamsul Alam, sekali waktu dipanggil Mukarib, sekali waktu dipanggil Imam Rasyidi, tapi orangnya itu-itu juga.

Beliau ini seorang pejuang. Sejak SR sudah punya cita-cita jadi guru. Padahal orangtua mengatakan harus jadi kepala desa. Kita senang juga melihat orang tua yang kepala desa, yang konon setiap hari harus lapor kepada Belanda, tapi sekaligus juga pejuang dan mendirikan sekolah (Madrasah).

Petang kami belajar di Madrasah, pagi masuk ke sekolah rakyat (SR). Sejak saat itu saya sudah punya cita-cita ingin jadi guru. Padahal orangtua mengatakan harus jadi kepala desa.

Lalu, kami sekolah di Gontor tahun 1961. Di sana belajar, kami juga mengamati berbagai cara mendidik. Kami pernah mendapat didikan yang keras. Sekali waktu pernah ditempeleng guru, sekali waktu pernah rambut dicukur oleh guru. Maka dalam hati berkata, “Kalau saya punya tempat pendidikan, akan memberi kebebasan, tidak akan aku cukur rambutnya, tidak akan aku hukum dalam bentuk kekerasan fisik, aku hanya akan isyaratkan agar dimengerti”. Itu sebuah cita-cita.

Selesai di sana kita berjalan ke Jakarta, persis setelah peristiwa G 30 September yaitu tahun 1966. Di Jakarta, kami masuk ke IAIN di Ciputat. Di situ kita berkumpul dengan kawan-kawan, dan sudah mulai menginginkan mendirikan lembaga pendidikan yang bisa mewakili kemajuan Indonesia.

Tapi keinginan-keinginan itu tak kunjung tiba, namun kita terus bergerak, sampai membuat gambar dan lain sebagainya, kita dagangkan ke kawan-kawan. “Ah…kamu ini gila, bagaimana kita bisa membuat seperti ini” kata kawan. Kita bilang,”Oh…bisa kalau kita buat, kalau nggak kita buat memang nggak bisa.” “Kapan?” tanya mereka. Kita jawab, “Jangan tanya kapan, tapi mau apa tidak?” Ternyata banyak yang mau. “Dimana tempatnya?” Kita jawab “kita belum punya, tapi harus kita cari”.

Kita cari ke seluruh Indonesia, sampai ke Lampung, Kalimantan, kita menemukan tempat yang luas tapi susah untuk dibangun. Sampai akhirnya ditemukan tempat ini (lokasi Al-Zaytun).

Ketika itu kita datang dan bincang-bincang di ujung kampung ini. Orang itu tanya, “cari apa pak di sini?”. Kita jawab, “jalan-jalan saja”. “Bukan cari tanah pak?” katanya lagi. Kita jawab, “oh…nggak”. “Di sini ada tanah pak, tapi jelek tanahnya,” katanya. Nah…mendengar jelek itulah kita tertarik.

Terus kita tanya, “Yang mana tanah jelek itu?” Ditariklah ke sini, dari ujung desa itu sampai ke sini kami jalan kaki. Dulu tidak ada jalan, tidak ada aspal. Jalan kaki masuk sebetis kalau musim hujan. Kemudian ditunjukkanlah sudut sana: “Nah, ini pak,” katanya.

“Kamu jual berapa tanah jelek begini?”
Dijawabnya sekian-sekian. Kemudian kita tanya, “Ada berapa?”.
“Bapak perlu berapa?” katanya balik bertanya. Kita bilang, “Ada seratus hektar nggak?” Dia jawab, “seribu pun ada”. Akhirnya kita keluarkan uang kontan pada waktu itu untuk 65 ha. Kemudian kita ke kantor Agama untuk membuat wakaf. Dan sejak itu, kita mulai hingga sampai terkumpul 1.200 ha hari ini.

Jadi seperti itu saja. Keinginan, didagangkan pada kawan, kawan terima, kita nggak punya uang, dia juga. Sama, kalau gitu kita punya cita-cita, uang belum punya. Ujungnya untuk memulai segala sesuatu itu harus dari kita, apa yang ada pada kita, kita dagangkan, kita dirikan tempat ini bersama-sama.

Untuk 65 ha lahan pada tahun 1996 itu, kita membelinya bersama sekitar 30 orang kawan-kawan. Caranya, dijajakan, dijajakan, dijajakan. “Saya sumbang sekian, saya beli tanah sekian,” kata kawan-kawan. Akhirnya terkumpul, terus diatasnamakan yayasan, berupa wakaf. Jadi nggak susah prosesnya. Bangsa Indonesia nggak susah, kalau sudah percaya, tidak susah. Yang susah itu kalau tidak dipercaya.

M-TI: Untuk menyampaikan ide itu barangkali yang susah?

SYAYKH: Susah seperti begini saja, orang bikin percaya. Ya…tentunya kadang ada yang sehari, ada yang setahun, ada yang sebulan. Tapi yang jelas, kami tidak pernah berhenti mengajak untuk kebaikan. Kalau hari ini belum mau, nggak usah dikatakan susah.

M-TI: Dan itu juga yang menjadi pertanyaan banyak orang yaitu darimana dananya Al-Zaytun sehingga begitu cepat berkembang?

SYAYKH: Sebenarnya pertanyaan itu wajar saja karena mengukur diri masing-masing. Padahal seseorang mengukur ukuran orang lain dengan dirinya, kadang tidak pas. Tapi kalau kita mengukur dengan parameter umum, itu (yang diperoleh Al-Zaytun) hal yang wajar-wajar saja. Sekarang parameter yang digunakan itu bukan umum. Kalau umum, gampang. Kami mengajak Anda, Anda suka, ‘kan jadi?

Kami mengajak Anda, jika Anda belum suka, besok didatangi lagi. Ya…begitu sampai dia suka dan ikut. Maksudnya ikut bersama-sama dalam pendidikan ini.

Dalam hal ini, termasuk Anda juga terpanggil dengan program ini sehingga Anda datang dengan bahasa yang indah seperti kita dengar tadi. Ini juga suatu kebersamaan. Ternyata Anda ingin menampilkan Al-Zaytun ini. Apalah artinya seorang Panji Gumilang, seorang Abdul Halim, seorang Nurdin Tsabit. Tapi Anda ingin menampilkan Al-Zaytun ini berarti menampilkan karya bangsa Indonesia.

M-TI: Apa yang Syaykh lihat dari sosok seorang guru sehingga begitu tertarik menjadi guru?

SYAYKH: Saya tidak bisa menjawab kalau ditanya itu. Tapi ketika masih kecil, ada pemberantasan buta huruf (PBB) antara tahun 1952 atau 1953, saya waktu itu masih SR. Ketika itu, begitu pulang sekolah, ditanya orang tua, “Kamu diajar apa tadi?”

Saya jawab, “Ini pak, diajari baca po,lo,wo, go, ro, no, go, sos, ro, to, mo, ho,…”. Jadi di Jawa dulu bukan a,b,c,d, tapi po, lo, wo, dan seterusnya.
Orang tua tanya lagi, “kamu sudah bisa nulis?”
Kita jawab, “Bisa Pak”.
“Nanti malam mengajar kamu ya…!” kata beliau. Disuruh mengajar pemberantasan buta huruf orang-orang yang sepuh-sepuh itu. Itu terasa enak, pagi-pagi ditanya pak guru, disuruh menulis, saya bisa. Orang yang kita ajak bicara tatkala kita belajar pun senang (tatkala mengajar PBB), karena belajar pada orang yang belum bisa memarahi kekurangan orang tua. Belajar dengan beliau-beliau sama saja mengulang pelajaran dari kelas. Dulu kalau dapat nilai 10 atau 9, tempel di pipi, lapor pada orang tua, “Pak! ini 9”.

Dari situ keluar rasa senang jadi guru. Bisa pintar ternyata jadi guru, karena kita masih sekolah, jadi merasa bisa belajar. Beliau-beliau kita tanya, “Pak! Bisa?”, dijawab, “Bisa karena kamu yang ngajar”. Jadi cerita awalnya seperti itu dan masih terngiang sampai hari ini. Guru yang mengajar kita itupun masih hidup. Kadang kalau Lebaran, kami datang, beliau masih teringat. “Dulu kamu yang mengajar PBB di saat kelas satu SR Ya?” kata beliau.

M-TI: Masihkah Syaykh terlibat aktif sebagai guru?

SYAYKH: Sampai hari ini saya mendidik. Ketika sekolah di IAIN, saya membuat sekolah di Rempoa. Waktu itu kita namakan Darussalam. Saya mengajar di Madrasah yang kita buat juga di sekolah lain yang berdekatan dengan Madrasah itu. Jadi malamnya mengajar, pagi sekolah. Hingga hari ini saya adalah seorang guru.

M-TI: Kehidupan berkeluarga Syaykh?

SYAYKH: Biasanya orang bertanya, berapa istrinya seorang yang memangku pesantren? Istri saya dari sejak pertama sampai hari ini, itu-itu juga.

M-TI: Peranan istri Syaykh bagaimana?

SYAYKH: Sangat membantu. juka-atur-crs, Majalah Tokoh Indonesia Edisi 8.

*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)


04 | Bebas dengan Disiplin Tinggi

M-TI: Ada satu tadi dari pernyataan Syaykh, di mana ketika sekolah di Gontor sempat dipukul dan dicukur rambut oleh guru, bagaimana ceritanya?

SYAYKH: Waktu saya sekolah di sana, ada guru yang suka nempeleng. Nanti jangan dikatakan bahwa di Gontor pendidikannya begitu, nggak boleh. Tapi, ada guru yang suka menempeleng, itu yang mengajari kita untuk mengatakan dan berbuat “engkau jangan seperti itu tatkala kau jadi guru.”

Di sini, di Al-Zaytun, hal itu diterapkan. Bebas, sebebas-bebasnya, namun berdisiplin setinggi-tingginya.

M-TI: Melaksanakannya barangkali yang tidak mudah.

SYAYKH: Sangat mudah. Bangsa Indonesia ini bisa diajak berpikir dan berbuat seperti itu. Di sini, tidak dibiasakan merokok dan sejak awal diambil langkah-langkah pencegahan yang bisa mendekatkan masuk dalam narkoba. Sebab keluar atau masuk pesantren selalu kita test.

Dulu, kami di sekolah itu bebas merokok dan akibatnya kita rasakan sekarang. Jika dulu dari sekolah tidak merokok, mungkin sehat badan ini. Untung cepat kita sadari bahwa merokok itu cuma menyusahkan jantung dan paru-paru. Pengalaman itu kita tularkan ke anak-anak kita. Para karyawan juga syaratnya begitu. Sanggup tidak merokok boleh jadi karyawan. Ternyata dunia tanpa rokok itu nikmat. Paling tidak bebas bernafas.

M-TI: Bagaimanapun, memang Gontor itu telah banyak menghasilkan orang-orang berhasil ya?

SYAYKH: Ya, saya dari situ. Sekolah enam tahun dari sana. Anak saya yang pertama sampai yang keempat keluaran sana.

M-TI: Mungkin Al-Zaytun-lah yang menjadi lembaga pendidikan model baru untuk masa depan Indonesia?

SYAYKH: Kita tidak mengatakan seperti itu, tapi pendidik harus punya jiwa inovatif. Tidak boleh mengatakan cukup, tidak boleh mengatakan sukses.

M-TI: Bangsa ini kelihatan kurang inovasi sehingga menjadi pembeli sampai sekarang, bagaimana menurut Syaykh?

SYAYKH: Itu karena diawali dari pendidikan yang tidak ditanamkan rasa entrepreneurship yang tinggi. Makanya penyelenggara pendidikan dan peserta didiknya bercita-cita untuk menjadi pegawai bukan bercita-cita untuk mempunyai pegawai sebanyak-banyaknya, seperti yang kita cita-citakan di sini.

M-TI: Sehubungan dengan kurikulum dan sistem, mencetak manusia yang bagaimana cita-cita para pendiri dan para sahabat yang mengelola Al-Zaytun ini?

SYAYKH: Kita tidak ingin mencetak. Manusia tidak boleh dicetak. Manusia itu dipersiapkan untuk menjadi dirinya di masanya nanti dengan persiapan cerdas berpikir, punya bajik dan bijak, sains teknologi, cinta negara yang bertanggung jawab dan mampu hidup dengan bangsa-bangsa lain.

Itu saja yang kita bekalkan pada mereka dan mereka nanti akan berinovasi pada zamannya. Dan itu pula yang dicita-citakan bangsa di dunia. Sehingga nanti kita bertemu yang namanya ‘International Setting’ karena cita-cita seperti itu merupakan cita-cita pendidikan internasional. Nanti cara berpikir kita, ‘International Thinking’. Cara solidaritas kita, ‘International Solidarity’. Tatanan hidup kita, setingnya, ‘International Setting’.

Barangkali itulah yang dinamakan hidup global dan itulah yang dinamakan globalisasi. Kekuatan nasional, namun kita mampu mengakses kehidupan antar bangsa.

M-TI: Jadi globalisasi tahun 2020 itu sudah diantisipasi Al-Zaytun?

SYAYKH: Sebenarnya kita tidak mengantisipasi 2020. Itu hanya fase langkah. Tahun 2020 itu kita persiapkan seperti ini, seperti itu. Tentunya ini bukan hanya 2020 saja, tapi hanya sebuah proses. Kata orang, step by step.

M-TI: Kita lihat di workshop dan lainnya dibangun sedemikian rupa sampai segala sesuatunya mesti diciptakan di sini?

SYAYKH: Itu adalah mengekspos sebuah laboratorium alam. Kita ciptakan itu sebagai lab alam untuk diekspos ke benak anak-anak. Kita dulu diekspos oleh orang tua untuk jadi guru pemberantasan buta huruf saja, kita kemudian berinovasi, oh… nanti begini, begini, begini. Nah ini kita ekspos seperti itu. Zaman kita ini sudah sangat jauh dengan awal abad 20. Awal abad 20 sudah sangat jauh dengan awal abad 21 ini.

Kita ekspos seperti itu, nanti dalam benaknya dia berinovasi. Dulu kami buat sendiri itu yang namanya perahu, kenapa sekarang harus beli? Kita buat, ilmu ada, pengalaman ada. Maka pada zamannya, dia akan bersikap seperti itu.

Negara Indonesia, negara agraris, dan kita menjadi seorang yang sangat ketergantungan, mengapa kita tidak buat sendiri? Kita sudah bisa berinovasi. Sehingga kalau menjadi petani, seperti petani Amerika. Kita harus melihat petani Amerika yang jumlahnya sangat sedikit. Cuma 3 juta atau hanya 2,7% dari jumlah penduduk usia kerja, tapi mereka mampu memberi makan dengan perbandingan 1 petani untuk 411 orang. Jadi 3 juta petani Amerika mampu menghidupi 1,3 milyar manusia di dunia. Hal tersebut bisa terwujud karena satu petani menghasilkan 74 ton biji-bijian untuk dimakan manusia.

Sedangkan petani Indonesia yang jumlahnya 42,5% dari tenaga kerja usia kerja yang jumlahnya 40 juta lebih, cuma bisa menghasilkan 1,48 ton seorang petani. Jadi 74 ton berbanding 1,48 ton, atau 50 berbanding 1.

Mengapa begitu? Padahal pengalaman berbangsanya sama, mereka dulu menggali tanah dengan kuda, kita di sini dengan kerbau. Ternyata karena dibekali ‘knowledge’ maka dia menjadi ‘knowledge worker’.

M-TI: Jadi itulah sebabnya di Al-Zaytun dibuat suasananya seperti itu?

SYAYKH: Paling tidak kita tampilkan, seperti ini kamu bisa menghasilkan 74 ton. Kalau seperti itu hanya bisa menghasilkan 1 ton. Diekspos begitu saja dulu. Dan ternyata bisa dibuat. Maka kita tata, supaya tanah ini mampu menghasilkan sekian ton. Bagaimana mengolahnya, kita buat konsolidasi lahan, air harus ada terus sepanjang tahun. Kita menanam tidak selamanya biji-bijian tapi kadang rumput-rumputan. Rumput pun kita tingkatkan proteinnya, sehingga nanti hewan memakannya. Makanannya rumput, tidak kanibal, sehingga jauh dari sapi gila, dan sebagainya. Itu cuma diekspos saja dulu.

Amerika juga dulu begitu, tatkala dihina oleh Jerman yang mengatakan “Amerika tidak bisa berbuat apa-apa” pada awal Perang Dunia Pertama. Mereka mendengar hinaan itu, dikerahkan semua bangsanya, membuat kapal selam, ternyata bisa, dan menjelajah seluruh Afrika, Amerika dan Asia. Dan kemudian menang pada Perang Dunia kedua. Mengapa kita tidak belajar itu?

Kemudian tatkala Jepang pada tahun 1945 menyerah pada sekutu. Pertanyaan Sang Kaisar bukan berapa tentara yang masih ada, tapi guru tinggal berapa. Kaisar memikirkan pendidikan. “Seperti apa sih supaya bisa menyamai mereka yang mengalahkan kita?” Itu yang ada dalam pikiran Kaisar.

M-TI: Kesadaran seperti itu kelihatannya masih sangat jauh pada pemimpin bangsa ini?

SYAYKH: Kita tidak harus sama-sama sadar baru berbuat. Tatkala kapal mau tenggelam, harus ada satu yang berani tidak tenggelam. Jangan semua mau tenggelam. Kalau semuanya tenggelam selesailah kapal kita ini. Jangan nunggu rame-rame.

Mau menumbangkan bupati saja, seluruh guru meliburkan sekolah. Anak disuruh demonstrasi, guru disuruh demonstrasi, pastur disuruh demonstrasi, kyai disuruh demonstrasi. Ini berpikiran yang belum sehat.

Padahal seorang guru menghadapi gubernur atau bupati cukup dengan diplomasi guru. Guru ‘kan punya Metodik Didaktik. Untuk menaklukkan murid yang bodoh saja bisa pintar, apalagi bupati yang sudah pintar. Kita kan punya Didaktik dan Metodik, jangan-jangan dengan senyum saja sudah selesai.

Mengapa harus berpekan-pekan meliburkan di luar hari libur sekolah. Ini sudah kebiasaan yang tidak bisa ditolerir. Guru merusak sistem hanya alasan menjatuhkan bupati. Itu bukan area atau domain guru. Domain guru adalah mendidik, libur sesuai dengan waktu libur yang disepakati, itulah sistem. Guru melanggar sistem, dunia ini hancur. Contohnya yang di Kampar itu.

M-TI: Bagaimana kriteria nilai yang ingin diciptakan bagi seorang santri di Indonesia ini, bukan cuma kecerdasan intelektual, tapi emosi dan spiritualnya?

SYAYKH: Cerdas itu menyangkut pada intelektual, emosional dan spiritual. Kita gerakkan itu di sini. Itu yang ingin kita capai. Bangsa Indonesia nilainya harus seperti itu. Kemudian ia harus bajik dan bijak. Orang bajik dan bijak itu bisa memposisikan dirinya pada kondisi apa pun. Tidak usah terlalu diurai dengan harus berakhlak mulialah dan segala macamnya, itu terlalu retorik. Ia mampu memposisikan dirinya pada saat apa pun karena mempunyai kebajikan dan kebijakan. juka-atur-crs, Majalah Tokoh Indonesia Edisi 8.

*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)


05 | Visi Berbangsa dan Bernegara

M-TI: Visi Syaykh sebagai warga bangsa, melihat bangsa dan negara kita. Seperti apa negara ini maunya dalam benak atau sudut pandang Syaykh.

SYAYKH: Bangsa kita ini sampai detik ini, 57% rural, dan 43% urban. Urbannya bangsa Indonesia ini bukan seperti urban yang ada di Singapura. Bangsa Indonesia urbannya masih tidak menghormati hukum, masih kurang memahami HAM, jiwa toleransinya kurang tinggi, cinta damainya makin tidak nampak. Di sana (Singapura –red) tidak seperti itu.

Di Indonesia, ramai-ramai meninggalkan pekerjaan yang terpaksa yaitu bertani, bukan karena kecerdasannya meninggalkan itu tapi karena memang tidak bisa bergerak. Ia laksana terendam lumpur sebatas leher sehingga ada ombak kecilpun sudah tengge-lam. Sehingga bertani ditinggalkan. Dia masuk ke kota, jadi masyarakat urban yang belum mengenal nilai urban yang sebenarnya, dan peradaban urban yang sebenarnya.

Ini yang harus ditata sebenarnya yakni pemerataan kualitas penduduk urban dan rural. Jadi rural development dan urban development dijembatani oleh pendidikan yang berkualitas. Sehingga antara rural dan urban sedikit demi sedikit akan mendekat karena sistem pendidikannya dan kualitas pendidikannya sama.

Hanya satu itu yang harus kita tempuh, karena ternyata tidak ada jalan kecuali melalui pendidikan. Kita katakan dan ciptakan pendidikan itu sebagai gula, ekonomi sebagai semut. Jangan kita ciptakan ekonomi sebagai gula dan kita semutnya, nanti sakit gula kita. Tapi kita ciptakan pendidikan itu gula dan ekonomi sebagai semut. Semut mendatangi orang yang terdidik, karena semut itu adalah makhluk yang mengerti kualitas dirinya terhadap gula, sehingga tidak pernah terkena sakit gula.

Nah, sekarang bangsa Indonesia, karena mendahulukan ekonomi sebagai gula kemudi-an kita semutnya, kita jadi banyak yang kena sakit gula. Sakit gula ekonomi, sakit gula jiwa. Gulanya kelewatan, akhirnya diamputasi.

Sekarang kita ciptakan gula itu sebagai pendidikan, ciptakan sebanyak mungkin pendidikan berkualitas. Simpanan atau invesment yang paling besar adalah manusia yang sudah punya knowledge. Itu dibentuk dari pendidikan.

Jadi pertama kali seperti itu. Baru nanti di-pecah. Pendidikan itu seperti apa? Diarahkan kemana? Maka kita buat sistem 3 jalur, jalur kiri adalah pencapaian yang tanpa batas, jalur kanan profesional khusus kejuruan, yang tengah bisa ke kanan bisa ke kiri. Maka nanti terjadilah tenaga kerja yang terdidik.

Karena negara kita ini negara agragris, maka produk andalan kita buat dari hasil pertanian, karena ke depan lebih dari 50% hajat dunia itu adalah produk pertanian. Kalau kita tidak siap dengan itu maka kita akan import. Dan tatkala import, maka kita akan dimakan oleh kekuatan yang sengaja mau menenggelamkan kita. Jadi arahnya nanti tepat, produk pertanian ini. Tapi dikelola oleh manusia yang terdidik, tenaga mahir, jangan seperti sekarang ini.

Tadi ‘kan ukurannya cuma 1 petani menghasilkan 1,48 ton. Petani Amerika menghasilkan 74 ton itu baru biji-bijian, belum termasuk yang lain-lain, belum sapi, belum susu, belum telur, belum ayam. Jadi produk pertanian ini harus ditingkatkan, tentunya nanti kiblatnya bukan kiblat green revolution. Walaupun green revolution itu mempunyai makna besar dalam menata, menghilangkan kelaparan, tapi kita jangan itu.
Abad knowledge, masuk pada gen revolusi. Karena sudah terdidik masuk gen revolusi, dia akan menggetarkan dunia melalui kemampuan knowledge tadi. Dan itu tidak lama kalau dipersiapkan, 2020 sudah tercapai itu.

Jadinya nanti kita sudah mampu mencipta, “Ayo petani, ciptakan sapi Indonesia!”—”Oh boleh”. “Mau seperti apa?” Katakan, “saya minta merah putih di jidatnya”, ini bisa sudah ada gen revolusi. “Oh, saya mau merah putihnya di sebelah kanan ini, saya mau di dadanya”. Terangkan pada anak terdidik tadi. Tatkala kita mampu memberi sumber pakan yang cukup pada hewan, maka dengan sendirinya pangan yang aktual untuk bangsa ini akan tenang.

Sekarang semua sudah impor, padahal yang lain-lain kita juga belum mampu menyediakan. Singapura boleh impor karena dia punya kekuatan yang lain. Di sini kita punya kekuatan alam, tapi masih impor.

Kita harus sangat dekat ke masyarakat desa, untuk ditata pendidikannya, ditata perikehidupannya untuk didekatkan ke masyarakat kota. Sehingga tidak ada kecemburuan sosial masyarakat kota dan desa. Dan pelan-pelan desanya menjadi kota, kotanya seperti masyarakat desa. Dan akhirnya Indonesia yang sangat luas ini menjadi berekosistem. Dan itu bisa kita buat bersama. Kita punya cita-cita yang sama.

M-TI: Al-Zaytun sudah melaksanakan-nya, tapi negara ini sendiri kelihatannya masih belum, bagaimana ya?

SYAYKH: Negara ini kan milik rakyat. Tatkala rakyat ini sudah cerdas, ya negara pasti juga cerdas. Negara itu bukan milik seseorang.

M-TI: Mudah-mudahan Al-Zaytun – Al-Zaytun yang lain lahir?

SYAYKH: Oh… tidak Al-Zaytun! Bangsa Indonesia ini jangan dijadikan Al-Zaytun, tapi jadikan bangsa Indonesia. Al-Zaytun, sebagian dari bangsa Indonesia. Nanti menjadi negara Al-Zaytun. Ini baru berdiri saja sudah dituduh macam-macam.

M-TI: Barangkali, sudah banyak yang studi banding ke sini?

SYAYKH: Banyak sekali. IPB praktek lapangannya di sini dan guru-gurunya yang terbagus mengajar di sini. Di sini mereka merasa punya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya karena diberi kebebasan. Sesuatu yang belum dibuat di IPB sudah dibuat di sini.

Di IPB misalnya, belum mengembangkan yang namanya embrio transfer, di sini sudah berhasil melakukan embrio transfer. Di IPB belum mengembangkan bibit sapi unggul, di sini sudah dikembangkan dan sudah disebar, padahal tenaganya sebagian dari sana juga. Di sana tidak digunakan, sedangkan disini disuruh gerak, kalau mau lari-larilah, kalau mau lompat-lompatlah, asal jangan patah kakinya. Akhirnya penuh dengan persiapan dan kompetensi.

Bagaimana dananya? Gampang, setiap melompat ada harganya. Kalau kita tidak bisa menghargai, orang masih menghargai. Ada lompatan ini, itu, orang memberi apresiasi, oh ini sekian, itu sekian, kita bagi, yang melompatpun dapat. Jadi nggak susah dana itu, yang susah itu kalau kita tidak pernah berpikir mendanai ini.

Tiap hari, 3.500 sak semen yang harus kita buang di sini. Kalau dihitung sak, sebanyak 3.500 sak, tapi karena pakai kapsul itu, jadi pakai ton saja. Maka segala sesuatu yang ada di sini dihargai semen, orang nginap di sini 10 sak semen. Kalau orang mata duitan, kita mata semenan. Masalahnya di sini yang berguna bukan uang tapi semen, besi. Kalau orang mau bantu, jangan bantu duit tapi bantu semen, besi dan kayu.

Di sini, pupuk ternak (kotoran) itulah yang jadi produk sebab kita memerlukan yang cuma-cuma kan? Anak ini harus dikasih makan cuma-cuma. Nah, kalau itu kita nilaikan uang, ‘kan tinggi. Daging cuma-cuma. Maka di balik, ini poduknya adalah pupuknya, bukan limbah. Kita namakan pupuk biar terhormat.

Karena abad kita ini sudah bukan kimia lagi tapi organik, maka pupuk kita di sini organik 100%. Hanya untuk memacu kecepatan, kita kasih sekian persen pupuk non organik. Itulah yang bisa membuat daging di sini sangat murah. Di sini, jeroan tidak kita sajikan ke anak-anak, kita kirim ke kampung, di pasar harganya Rp 15.000-an, di sini Rp. 2.000 – 3.000. Penjagal di sini bertanya kok bisa begitu? Yah… di sini makanan murah, makanan lembu ditanam sendiri, jadi kenapa dijual mahal-mahal. Di sini susu murah nggak beli. Kalau minum selama di dalam Al-Zaytun boleh, kalau dibawa pulang bayar.

M-TI: Indonesia bisa nggak bikin begini?

SYAYKH: Sangat mungkin. Bangsa Indonesia ini kaya. Cuma nunggu menejer saja, memenej kekayaan bangsa ini.

M-TI: Terimakasih atas keterbukaannya?

SYAYKH: Terima kasih juga Anda sudi datang ke mari, tapi saya meminta jangan mengatakan beda aliran. Tuhan kita sama, udah selesai. Anda beriman kita beriman, itu kesamaannya. Nggak usah dikatakan benar tidak benar. Yang tahu benar itu cuma yang di atas sana (Tuhan). Yang penting kita praktekkan kebenaran, kita berjalan pada nilai-nilai kebenaran, nanti yang di atas sana yang akan menilainya. Indonesia kalau sudah begitu, udah beres. Karena kita majemuk. Kalau tidak begitu, susah. Justru saya yang minta Anda jangan pakai istilah beda aliran. Aliran kita sama karena kita sama-sama ciptaan Tuhan. Itu konsep Ilahinya. juka-atur-crs, Majalah Tokoh Indonesia Edisi 8.

*** TokohIndonesia.com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: AS Panji Gumilang, | Kategori: Wawancara | Tags: al-zaytun, Toleransi, Perdamaian, Pondok Pesantren, Pendidikan, Guru, Demokrasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini