Penerjemah Karya Shakespeare

Trisno Sumardjo
 
0
884
Trisno Sumardjo
Trisno Sumardjo | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Peraih Satya Lencana Kebudayaan tahun 1969 ini banyak menerjemahkan karya dramawan ternama Inggris, William Shakespeare, sehingga julukan “Spesialis Shakespeare” pun melekat pada namanya. Semasa hidupnya, salah satu perintis berdirinya Taman Ismail Marzuki ini dikenal bersahaja dan tekun bekerja.

Trisno Sumardjo dikenal sebagai penerjemah karya sastra dunia, pelukis, pengarang, dan seorang kritikus seni. Ia juga merupakan salah satu tokoh perintis berdirinya Taman Ismail Marzuki, pusat kesenian dan kebudayaan di Jakarta yang menjadi wadah para penggiat dan penikmat seni untuk berekspresi. Sebagai penerjemah, Trisno dikenal piawai menerjemahkan berbagai karya sastrawan asing, terutama karya William Shakespeare. Pria kelahiran Tarik, Surabaya, 6 Desember 1916 ini juga mewarnai jagad seni rupa Indonesia sebagai pelukis, meski namanya tidak selegendaris pelukis ternama Affandi.

Trisno merupakan putra seorang guru bantu bernama Mohamad As’ari. Terlahir dalam keluarga yang sadar akan pentingnya pendidikan, Trisno pun berusaha mendapatkan pendidikan hingga jenjang terbaik. Usai tamat MULO, ia meneruskan studinya di AMS II jurusan Barat Klasik di Yogyakarta dan lulus pada tahun 1937. Di masa itu, mereka yang berhasil mengenyam pendidikan hingga tingkat AMS sudah termasuk golongan berpendidikan sangat baik.

Setamat AMS, Trisno mengikuti jejak ayahnya sebagai pengajar di sebuah sekolah di Jember, Jawa Timur hingga tahun 1942. Menurutnya, guru adalah profesi yang mulia, terlebih pada zaman penjajahan seperti saat itu. Namun, saat terjadi pergantian kekuasaan atas Indonesia dari tangan penjajah kolonial Belanda ke tangan Jepang, Trisno pun beralih profesi. Ia bekerja sebagai pegawai perusahaan jawatan kereta api di Madiun. Ketika itulah, bakatnya dalam menghasilkan tulisan baik cerpen, sajak, drama, hingga terjemahan mulai terlihat.

Selain Shakespeare, Trisno juga menerjemahkan sejumlah karya sastrawan asing lain yaitu Maut dan Misteri karya Edgar Allan Poe, Dokter Zhivago karya Boris Pasternak, dan Dongeng-Dongeng Perumpamaan karya Jean De La Foutaine.

Kreativitasnya kian bertambah subur setelah ia pindah ke Solo dan mencurahkan hidup sepenuhnya untuk kesenian. Pekerjaan sebagai guru dan pegawai kereta api pun ditinggalkannya. Trisno kemudian bergabung dengan sebuah perkumpulan pelukis, Seniman Indonesia Muda (SIM). Buah pemikirannya di dunia lukis misalnya saat ia menyoroti gejala lahirnya seni lukis modern di Indonesia. Menurut Trisno, karakter seni lukis modern Indonesia yang dibidani kelompok Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia 1937) merupakan peristiwa terjadinya pembebasan diri seniman untuk mulai memberlakukan sikap hidup dan tradisi baru. Karakteristik Persagi, kata Trisno, adalah langkah baru seniman untuk menyingkirkan mental kolektif dengan lebih mengutamakan kekuatan individunya. Kolektivisme kelompok tersebut dianggapnya berasal dari agama, filsafat, dan susunan tata negara baik feodal maupun kolonial.

Trisno Sumardjo termasuk seniman yang berusaha meneorikan seni lukis modern Indonesia tanpa terburu-buru memberi kesimpulan. Ia bahkan pernah berseteru dengan pelukis S Sudjojono di tahun 1950-an. Lantaran Sudjojono menganjurkan setiap pelukis agar kembali ke realisme. Trisno yang merasa berseberangan pendapat dengan koleganya itu kemudian berkata, “Rakyat kita tidak hanya mengerti realisme, melainkan juga cara-cara lain. Sebab, umumnya rakyat dari dahulu kala telah mengenal deformasi, baik dalam bentuk maupun warna. Perhatikan wayang-wayang kulit, relief-relief Borobudur, patung-patung serta lukisan Bali, dan sebagainya. Bukankah hal-hal yang ekspresif, stylistis, dan dekoratif di dalamnya itu jauh dari realisme?”

Sang pejuang kesenian itu juga bersikeras bahwa seniman sepantasnya memiliki posisi yang berharga di tengah masyarakat. Keyakinan itu didasari semangat bahwa tugas seorang seniman bukan hanya melukis. Tidak heran, pada bulan Agustus tahun 1950, kritikus itu pernah berujar: “Alangkah bodohnya pelukis yang takut pada buku-buku tebal….”

Selanjutnya di tahun 1947, Trisno mulai berkecimpung di dunia tulis menulis sebagai pemimpin majalah Seniman di Solo. Dua tahun kemudian, terbit buku pertamanya yakni sebuah kumpulan sajak berjudul Pasang Surut. Setelah itu, ia terpilih sebagai Sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia periode 1950-1955. Mantan redaktur majalah Gaya, Indonesia, dan Seni ini kemudian terlibat dalam sebuah peristiwa yang memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan Indonesia, yakni Manifes Kebudayaan, yang dihelat bertepatan dengan perayaan HUT RI ke-18, tepatnya 17 Agustus 1963. Di samping sederet pengalaman di dalam negeri tadi, suami dari Sukartinah ini juga beberapa kali melakukan kunjungan ke mancanegara. Tahun 1952, ia melakukan kunjungan ke Amerika Serikat dan Eropa Barat selama enam bulan dengan beasiswa Visittorship Rockefeller. Lima tahun berselang, Trisno mengunjungi Republik Rakyat Cina sebagai ketua delegasi sastrawan.

Tak hanya bertindak sebagai seniman, Trisno juga mampu menjalankan perannya sebagai kritikus seni. Pada tahun 1954, ia pernah melontarkan kritiknya pada pameran karya-karya hasil pendidikan seni rupa yang digelar di ITB sebagai bentuk pengabdian pada laboratorium Barat. Dari situ bisa dilihat bahwa ia memang seorang penentang seniman yang lahir dari hasil pendidikan. Seniman, katanya, tidak mungkin diproduksi oleh sekolah.

Hasil perjuangan Trisno di dunia seni yang masih dapat dinikmati sampai sekarang adalah berdirinya Taman Ismail Marzuki. Ia merupakan salah seorang perintis utama berdirinya pusat kesenian dan kebudayaan itu. Setelah berhasil merintis pusat kesenian yang berlokasi di Cikini, Jakarta Pusat itu, pada 19 Juni 1968, Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, menunjuk Trisno sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan terpilih pula sebagai Ketua Badan Pengurus Harian yang mengelola TIM secara langsung. Tanggung jawab ini dipegangnya sampai akhir hayatnya.

Advertisement

Di sisi lain, dunia sastra mengenal sosok Trisno sebagai penerjemah karya sastra asing yang ulung. Bakat seni terutama seni sastra serta kemampuan penguasaan asing termasuk ragam klasiknya yang dimiliki Trisno membuatnya mampu menerjemahkan sejumlah karya sastrawan asing, terutama sastrawan legendaris asal Inggris, William Shakespeare. Misalnya, Romeo dan Julia, Antonius dan Cleopatra, Impian di Tengah Musim, Prahara, Manasuka, Macbeth, Saudagar Venezia, A Midsummer Night’s Dream, Hamlet, Raja Lear, dan Othelo. Tak heran bila Trisno Sumardjo mendapat julukan sebagai penerjemah spesialis Shakespeare karena kepiawaiannya menerjemahkan.

Selain Shakespeare, Trisno juga menerjemahkan sejumlah karya sastrawan asing lain yaitu Maut dan Misteri karya Edgar Allan Poe, Dokter Zhivago karya Boris Pasternak, dan Dongeng-Dongeng Perumpamaan karya Jean De La Foutaine.

Sebagai penerjemah karya sastra asing jempolan, keahlian Trisno tersebut bahkan pernah membuatnya lolos dari maut saat pasukan serdadu KNIL menggeledah kamarnya. Ketika dilakukan penggeledahan, salah seorang prajurit menemukan sebuah buku di kamar Trisno. Setelah menyimak judulnya, prajurit itu kemudian bertanya pada Trisno, “Tuan membaca ini?” tanyanya hampir tak percaya. “Saya sedang menerjemahkannya,” kata Trisno dalam bahasa Belanda yang fasih. “Jangan tahan orang ini, kita tak punya urusan dengan seorang penerjemah Shakespeare”, perintah sang perwira kepada anak buahnya. Trisno pun luput dari maut.

Sedangkan karya sastra buatan Trisno sendiri cenderung kepada renungan akan makna hidup dan fitrah manusia. Mungkin hal itu dipengaruhi oleh karya-karya Shakespeare yang sangat banyak dibacanya. Dalam sastra Indonesia, ia bukan seorang yang terlalu menonjol. Gaya bahasanya cenderung datar mendekati kelembutan seorang pengamat yang bersikap hati-hati. Meski demikian, menurut pengamat sastra A Teeuw, karya-karya Trisno Sumardjo dinilai mempunyai daya tarik dan daya pikat tertentu, yaitu kesederhanaannya.

Bagi seniman yang dikenal sebagai pribadi yang keras dalam memegang prinsip hidupnya ini, kesenian adalah segala-galanya. Kendati demikian, kesenian bukanlah alat untuk mengejar materi atau mencari keharuman nama. Bukan hanya sekadar pernyataan, namun juga dibuktikan dalam kesehariannya. Ayah dari Lestari dan Budi ini senantiasa mengajarkan kepada keluarganya untuk hidup sederhana. Bahkan hingga ia tutup usia, ia tak mewariskan rumah pribadi kepada istri dan kedua anaknya. Sepeninggal Trisno Sumardjo, mereka terus tinggal di rumah dinas kompleks Taman Ismail Marzuki.

Selain teguh dalam pendirian, semasa hidupnya Trisno juga dikenal sebagai figur yang tekun bekerja. Saking tekunnya, ia pernah menderita lumpuh selama 3 bulan karena terlalu banyak duduk. Ketika itu dokter mengatakan kakinya harus diamputasi. Tapi berkat kepercayaannya kepada Tuhan, dengan bantuan seorang kyai, ia berhasil sembuh. Namun pada hari minggu, 21 April 1969, Trisno menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo akibat serangan jantung. Jasadnya dikebumikan di TPU Karet, Jakarta, berdekatan dengan makam rekan sesama seniman, Chairil Anwar.

Kenangan para sahabat atas kepergiannya bagai kenangan Horatio atas kepergian Hamlet yang terlukis pada sajak Trisno Sumardjo berjudul “Horatio Pada Ajal Hamlet”. Adapun bunyi sajak tersebut adalah sebagai berikut.

Horatio Pada Ajal Hamlet

S’lamat jalan, pangeran budiman,
Malaikat dan bidadari menyanyi untukmu;
Mereka bawa sukmaku ke wilayah keberkahan
Kita pisah di sini, tapi nantikan daku
Meriam berdegar bagimu akhir kalinya
Bunga mengantar damai wangi di bumi
Fana penghormatan dunia, tak guna,
Janggal bagi arwahmu abadi
S’lamat jalan, jiwa mulia tak bertara!
Terlalu kasar untukmu derita dunia
Tinggalkan tubuh terdera, di sini asalnya
Dan di sini pula tempatnya berpulang
Tapi sukma yang rindukan bahagia
Bagai dara putih meninggalkan kandang

Satu bulan setelah kepergiannya, pada 20 Mei 1969 bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan penghargaan Satya Lencana Kebudayaan pada Trisno Sumardjo. Penghargaan yang juga diberikan pada sastrawan HB Jassin itu diberikan atas jasa-jasa Trisno dalam mengembangkan kebudayaan Indonesia. muli, red

Data Singkat
Trisno Sumardjo, Sastrawan, penerjemah sastra asing / Penerjemah Karya Shakespeare | Ensiklopedi | Seniman, Pengarang, pelukis, seni, puisi, sastra, kritikus, penerjemah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini