Teguh Mencintai Sastra

Armijn Pane
 
0
970
Armijn Pane
Armijn Pane | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia, ia terkenal sebagai salah seorang pelopor pendiri majalah Pujangga Baru tahun 1933, di samping nama Sutan Takdir Alisjahbana. Romannya yang berjudul Belenggu tercatat sebagai salah satu karya sastra terbaik di Tanah Air.

Armijn Pane, putra Sutan Pengurabaan Pane ini lahir pada 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Ayah Armijn, seorang guru yang aktif berpolitik di Partai Nasional juga dikenal sebagai seniman yang pernah menulis sebuah cerita daerah berjudul Toblok Haleon. Bakat menulis dari sang ayah di kemudian hari menurun pada Armijn.

Sebagai anak yang lahir dari keluarga yang terpandang, anak ketiga dari 8 bersaudara ini cukup beruntung karena bisa mengenyam pendidikan yang layak. Ia pertama kali menimba ilmu di sekolah dasar yang didirikan Belanda, Hollandsislandse School (HIS) di Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Setelah itu, Armijn hijrah ke Sibolga dan Bukittinggi guna meneruskan pendidikannya di Europese Lagere School (ELS).

Tahun 1923, adik kandung sastrawan Sanusi Pane ini melanjutkan studi di Jakarta, tepatnya di sekolah kedokteran atau yang dulu dikenal dengan sebutan Stovia, namun tidak selesai. Selanjutnya, Armijn memutuskan pindah ke sekolah kedokteran di Surabaya, Nederlands-Indische Artsenschool (NIAS) pada 1927. Karena merasa kurang tertarik mempelajari ilmu kedokteran, Armijn kembali gagal menyelesaikan studinya.

Darah seni yang mengalir deras dalam dirinya kian tak terbendung. Tekadnya untuk mendalami dunia seni terutama sastra pada akhirnya mendorong Armijn untuk mendaftar ke AMS bagian AI jurusan Bahasa dan Kesusastraan di Surakarta. Ia berhasil menyelesaikan studinya di tahun 1931. Sebelum aktif bergelut di dunia sastra, Armijn terlebih dahulu bekerja sebagai guru bahasa dan sejarah di sekolah Taman Siswa di Kendiri, kemudian Jakarta.

Karirnya sebagai pengarang dan sastrawan dimulai ketika ia menjadi wartawan sekitar tahun 1930-an. Armijn merupakan salah satu tokoh pendiri majalah Pujangga Baru yang berdiri pada 1933. Di majalah itu, ia duduk di jajaran redaksi hingga 1938. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, Armijn mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya dari seluruh penjuru negeri untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra. Ia banyak menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya kemudian diterbitkan pada edisi-edisi awal majalah Pujangga Baru. Lewat tulisan, ia mampu memberikan penilaian dan pertimbangan yang adil tanpa terpengaruh suasana pergerakan nasionalisme terutama di periode akhir Pujangga Baru yang kian politis dan dikotomis.

Pengalaman lain Armijn Pane di dunia jurnalistik adalah menjadi pemimpin majalah Kebudayaan Timur serta redaktur di percetakan Balai Pustaka sejak tahun 1936. Kemudian pada Februari 1955, ia kembali bekerja sebagai redaktur sekaligus pengasuh majalah Indonesia bersama Mr. St. Moh. Syah dan Boeyoeng Saleh. Di majalah asuhannya itu, Armijn juga menjadi penulis Produksi Film Cerita di Indonesia setebal 112 halaman. Ia juga pernah memimpin majalah Kebudayaan Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan.

Di sela-sela kesibukannya menekuni dunia jurnalis, Armijn masih menyempatkan waktunya untuk bergabung dalam sejumlah organisasi budaya dan sastra. Ia pernah menjadi anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara Jawa, Ketua Muda Angkatan Baru, serta penganjur dan Sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Setelah proklamasi kemerdekaan, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Sedangkan dari tahun 1950 hingga 1955, Armijn aktif sebagai anggota sensor film.

Sementara di jagad seni, ia dipercaya menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Djakarta pada masa kependudukan Jepang. Ia juga menjadi penganjur Balai Bahasa Indonesia sekaligus menjabat sebagai Anggota Komisi Istilah. Sebelumnya di tahun 1938, saat Belanda masih menguasai Tanah Air, Armijn pernah didaulat menjadi Sekretaris Kongres Bahasa Indonesia.

Saat menjalani tugasnya, baik di zaman Belanda, Jepang, maupun setelah kemerdekaan, Armijn selalu menyaksikan hal-hal yang mengusik hati nuraninya. Misalnya saat ia menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan, atasannya, orang Jepang, menunjukkan majalah yang berisi berita tentang dilancarkannya armada Jepang oleh armada Sekutu di sekitar Morotai. Karena Armijn seorang yang polos, jujur, dan tidak pernah mengubah fakta, dibuatnyalah laporan yang diberikan Jepang itu. Akibatnya sudah bisa ditebak, ia harus berhadapan dengan kempetai yang memperlakukannya dengan kasar.

Advertisement

Semasa hidup, Armijn banyak membuahkan tulisan dan sebagian besar berbentuk puisi. Mulanya, gaya tulisan Armijn banyak dipengaruhi oleh sejumlah sastrawan baik dari dalam maupun luar negeri seperti Biti Suroto (penyair Jawa dalam bahasa Belanda), Rabindranath Tagore, Krisnamurti dan ajaran Theosofi.

Selain itu, gerakan kesusastraan sesudah tahun 1880 di negeri Belanda juga tampak mempengaruhi karya-karyanya. Mungkin karena kuatnya pengaruh gerakan itu, belakangan Armijn Pane sering dituduh sebagai sastrawan yang menggunakan bahasa Indonesia kebelanda-belandaan. Meski demikian, Armijn Pane sesungguhnya memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, setidaknya hal itu dapat terlihat dalam sajak berjudul Tanah Air dan Masyarakat dalam Gamelan Djiwa, bagian dua.

Di sela-sela kesibukannya menekuni dunia jurnalis, Armijn masih menyempatkan waktunya untuk bergabung dalam sejumlah organisasi budaya dan sastra. Ia pernah menjadi anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara Jawa, Ketua Muda Angkatan Baru, serta penganjur dan Sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Setelah proklamasi kemerdekaan, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Sedangkan dari tahun 1950 hingga 1955, Armijn aktif sebagai anggota sensor film.

Ciri khas lain seorang Armijn Pane selama kiprahnya di dunia tulis menulis adalah lebih suka menggunakan nama samaran ketimbang nama aslinya. Menurut J.S Badudu dkk. (1984:30), Armijn Pane juga dikenal dengan nama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Dengan nama-nama itu, ia menulis puisi dalam majalah Pedoman Masyarakat, Pujangga Baru, dan Pandji Islam. Armijn juga pernah menggunakan sederet nama lain, diantaranya Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono.

Selain menulis puisi, Armijn juga menuangkan bakat menulisnya dalam bentuk drama, roman, dan cerpen. Bahkan bisa dibilang, ia merupakan salah seorang perintis cerita pendek Indonesia. Sejarah kesusastraan Tanah Air mencatat karya Armijn Pane yang sangat terkenal yakni roman berjudul Belenggu. Yang menarik, awalnya roman tersebut sempat ditolak oleh penerbit Balai Pustaka, hingga pada akhirnya dimuat dalam majalah Pujangga Baru.

Barulah di tahun 1940, Belenggu diterbitkan sebagai buku yang layak diperhitungkan bahkan dinobatkan sebagai salah satu roman terbaik di Indonesia. Pasalnya, roman yang menceritakan kehidupan seorang dokter bernama Sukartono itu benar-benar mampu menampilkan pergolakan batin dari masing-masing tokohnya. Dalam roman Belenggu pula, para pembacanya dapat menangkap gambaran pribadi seorang Armijn Pane yang berpendirian teguh. Dalam pengantar roman tersebut, ia mengibaratkan keyakinannya seperti pohon beringin, “Kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan yang lain.”

Selain Belenggu, masih ada beberapa karya Armijn yang terlambat diterbitkan dalam bentuk buku. Kumpulan sajaknya yang bertajuk Jiwa Berjiwa, terbit pada 1939 sebagai nomor istimewa Pujangga Baru. Cerita pendeknya, Kisah Antara Manusia, terbit tahun 1953, dan kumpulan dramanya Jinak-jinak Merpati terbit tahun 1954. Sementara kumpulan sajaknya yang lain, Gamelan Jiwa, baru terbit tahun 1960. Atas jasanya dalam bidang sastra, ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.

Prof. Dr. Teeuw (dalam Anita, 1992) menyatakan bahwa Armijn Pane adalah pelopor Angkatan 45. Akan tetapi, pernyataan tersebut disangkal kritikus sastra Indonesia, Dr. H.B. Jassin, lantaran baik dalam prosa maupun dalam puisi terlihat gaya impresionistis, terutama sajaknya. Dalam roman berjudul Belenggu ditemukan gaya romantis, sehingga tampak suasana yang diliputi perasaan yang terayun-ayun serta pikiran yang menggembirakan dan menyedihkan silih berganti. Sedangkan, Angkatan 45 lebih banyak menunjukkan karya yang bergaya ekspresionistis. Jassin juga menambahkan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelektual sebelum perang.

Sementara untuk urusan teknik penyusunan, ditemukan kesamaan antara Armijn, Putu Wijaya serta Iwan Simatupang. Teknik itu menyatu dengan pemikiran yang ingin disampaikan, seperti tampak dalam roman Belenggu.

Di dalam menulis sajak, Armijn Pane berhasil mengumpulkan sajaknya di dalam dua kumpulan, yang pertama Jiwa Berjiwa yang menurut tafsiran Ayip Rosidi berarti jiwa yang hidup serta Gamelan Djiwa yang jika dilihat dari artinya, gamelan berarti alat musik atau bunyi-bunyian. Jadi, gamelan jiwa dapat diartikan bunyi atau suara batin, yaitu suara batin penulis yang menyuarakan cinta, yaitu cinta sebagaimana lazimnya anak muda, cinta tanah air, cinta Tuhan, dan cinta sastra.

Kecintaan Armijn pada sastra masih kuat tersirat hingga penghujung usianya. Sebulan sebelum wafat, atau tepatnya pada 15 Januari 1970, ia masih sempat memberikan ceramah mengenai sastra di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dalam ceramah yang berjudul “Pengalaman Batin Pengarang Armijn Pane”, ia mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan karir kepengarangannya dan sedikit menyinggung soal angkatan.

Butir-butir pikiran yang disampaikannya pada saat itu adalah (1) “Mengapa Aku Rela dan Ikhlas Jadi Pengarang”, (2) “Bagaimana Aku Memperbaharui Kerelaan dan Keikhlasanku sebagai Pengarang di Zaman Sekarang “, (3) “Sikap Hidup Bagi Pengarang”, (4) “Struktur Mengarang Fase-Fase Mengarang”, (5) “Pengarang Keagamaan dan Pengarang Nasional”, (6) “Apa yang Perlu Kita Dapat dari Pengarang-Pengarang Luar Negeri”, (7) “Apakah Pengarang Menurut Pendapat Pengarang”, (8) “Serba Sedikit Tentang Angkatan”. Armijn mengakui bahwa kepengarangannya banyak didorong oleh kesadaran kebangsaannya. Dalam kesempatan tersebut, ia juga sempat mengatakan sedang menyelesaikan romannya yang ketiga, meski roman yang dimaksud tak pernah muncul.

Armijn juga menyinggung tentang kekhasan Indonesia dalam dunia kepengarangan. Ia menganjurkan agar pengarang Indonesia mengangkat apa yang menjadi ciri khas Indonesia. Akan tetapi, hal itu bukan berarti pengarang Indonesia dilarang meniru pengarang asing, Armijn bahkan menganjurkannya asal tidak melakukan plagiat. Mengenai karya sastra yang lahir tahun 1920-1930, Armijn berpendapat, angkatan tersebut mempunyai pengabdian. Angkatan Pujangga Baru memiliki tanda pro pada yang baru, dinamis, anti yang fanatik, dan anti yang naif. Sementara Angkatan 45 memiliki tanda sebagai pejuang, Angkatan 50 mengemukakan masalah sosial, dan Angkatan terbaru memperlihatkan aksi.

Armijn Pane tutup usia dalam usia 62 tahun pada Senin, 16 Februari 1970, pukul 10 pagi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebelumnya ia sempat tak sadarkan diri selama dua hari akibat terserang penyakit Pneumonic Bronchiale yaitu pendarahan otak di kepalanya. Jenazah tokoh sastra itu dikebumikan di Pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya. Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkat yang pada saat itu masih berusia 6 tahun. eti | muli, red

Data Singkat
Armijn Pane, Sastrawan / Teguh Mencintai Sastra | Ensiklopedi | Wartawan, Guru, Sastrawan, penulis, puisi, Drama

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini