Mendagri yang ‘Bapak Rakyat’

Mardiyanto
 
0
941
Mardiyanto
Mardiyanto | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Mardiyanto seorang pemimpin yang bersahaja dan selalu menempatkan diri sebagai bapak seluruh rakyat. Kearifannya sebagai pemimpin telah teruji selama menjabat Gubernur Jawa Tengah 1998-2007, dalam situasi euforia reformasi. Kepemimpinan yang arif, bersahaja dan komunikatif (bapak rakyat) itu melayakkannya menjabat Menteri Dalam Negeri 2007-2009.

Mayjen TNI Purn H Mardiyanto, pria kelahiran Surakarta, 21 November 1946, itu diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menjadi Menteri Dalam Negeri, Selasa (28/8/2007), beberapa bulan menjelang akhir jabatannya sebagai Gubernur Jawa Tengah yang seyogyanya berakhir 2008, Dia menggantikan M Ma’ruf yang tidak dapat lagi melanjutkan tugas karena sakit.

Sebelum menjabat Mendagri, Mardiyanto menjabat Assospol Kassospol ABRI 1998 setelah dua periode menjabat Gubernur Jawa Tengah. Periode pertama 1998-2003 dan periode kedua 2003-2008. Pada periode kedua Mardiyanto berpasangan dengan Ali Mufiz (sebagai Wakil Gubernur) dicalonkan F-KB dan direkomendasi DPP PDIP, berhasil memenangi pemilihan dalam sidang paripurna khusus DPRD Jateng dengan suara mutlak (62 dari 99 anggota dewan), Kamis 24/7/03 siang.

Selama menjabat Gubernur Jateng, mantan Panglima Kodam IV/Diponegoro (1997-1998), ini menunjukkan kepemimpinannya yang mampu mengatasi situasi sulit yang diwarnai euforia reformasi. Dia menunjukkan kearifan dalam menyikapi perubahan nilai-nilai di masyarakat pada masa awal reformasi kala itu. “Mardiyanto telah teruji sebagai pemimpin yang bisa ngemong semua kalangan, tetapi tidak harus larut. Atmosfer keterbukaanlah yang dikembangkan,” tulis Suara Merdeka dalam tajuknya 29/8/2007.

Selama menjabat sebagai gubernur periode 1998-2008, Mardiyanto mampu membawa Provinsi Jawa Tengah menjadi kondusif, aman, dan pencapaian hasil pembangunan menggembirakan.

Salah satu buah karyanya adalah pembangunan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), masjid terbesar di Jateng yang menelan biaya ratusan miliar rupiah. Masjid ini diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 11 November 2006.

Pemimpin Bersahaja
Berpenampilan bersahaja dan kalem tetapi teguh dalam prinsip dan pendirian. Seorang pemimpin yang visioner dan mampu mengendalikan pelaksanaan program-programnya. Itulah Mardiyanto yang merasa beruntung digembleng secara militer (Akabri 1967-1970) dan bertugas dalam dinas militer sampai menjabat Panglima Kodam IV/Diponegoro (1997-1998) dengan pangkat Mayor Jenderal TNI.

Saat bertugas dalam dinas militer pun, keseharian Mardiyanto tidak terkesan sangar. Baik saat masih menjabat sebagai Panglima Kodam IV/Diponegoro dan Wakil Gubernur Akademi Militer, seringkali warga masyarakat tidak mengira bahwa sosok yang berpenampilan kalem yang tengah berbelanja di toko atau menghadiri sebuh acara dalam pakaian bebas (nondinas militer) adalah seorang jenderal.

Dalam sosok yang cerdas bersahaja, tenang dan kalem itu pula, Mardiyanto berhasil mengendalikan kamtibmas di Jateng menjadi kondusif. Keberhasilan itu dicapai dengan kepemimpinan yang bersahaja dan selalu berupaya memosisikan diri sebagai bapak (pemimpin, gubernur) seluruh rakyat Jateng. Dia selalu berupaya berkomunikasi, interaksi dengan segenap elemen masyarakat.

Salah satu cara efektif untuk melancarkan komunikasi dan interaksinya dengan rakyat, Mardiyanto yang menguasai bahasa Jawa, Sunda dan Inggris, itu secara rutin menyapa (berdialog) dengan masyarakat melalui program “Hallo Gubernur” di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang.

Advertisement

Jejak Karir
Mardiyanto mengecap pendidikan Sekolah Rakyat tahun 1958. Dia menamatkan SMA jurusan PAL tahun 1965. Kemudian masuk Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di Magelang dan lulus tahun 1970.

Selepas menyelesaikan pendidikan di Akabri, Mardiyanto bertugas dalam dinas militer dengan pangkat Letnan Dua sejak 1 Desember 1970. Beberapa saat kemudian, dia menyunting Effi Nurbayati menjadi isteri dan ibu dari dua anaknya.

Karier dan kepangkatan militernya terbilang mulus. Pernah mengemban beberapa tugas operasi, di antaranya Operasi Wibawa di Timtim 1975/1976, dan 1978 hingga 1984. Alumnus Lemhannas, ini juga pernah bertugas di Vietnam, Singapura, dan Thailand.

Riwayat kepangkatannya dimulai dari Letda 1970, menjadi Lettu 1974. Dua tahun kemudian, 1 April 1976, menjadi Kapten, 1981 menjadi Mayor. Tahun 1986 menjadi Letkol.

Pangkat kolonel diraihnya mulai 1 Oktober 1992. Kemudian 1 Maret 1995 diangkat menjadi Perwira Tinggi dengan pangkat Brigjen dalam jabatan Wakil Gubernur Akademi Militer. Kemudian Mardiyanto diangkat menjabat Panglima Kodam IV/Diponegoro (1997-1998). Lalu terpilih menjabat Gubernur Jateng dua periode (1998-2003 dan 2003-2008). Bebrapa bulan sebelum maja jabatannya sebagai Gubernur jateng berakhir, Mardiyanto diangkat menjadi Mendagri (2007-2009).

Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang mengumumkan pengangkatan Mardiyanto menjabat mendagri menggantikan M Ma’ruf yang tidak bisa melanjutkan tugas karena sakit pada Selasa 28 Agustus 2007. Kemudian Rabu 29 Agustus 2007, di Istana Negara, Presiden melantik Mardiyanto sebagai Mendagri.

Sesaat diumumkan akan menjabat Medagri, Mardiyanto mengatakan akan memprioritaskan revisi undang- undang, termasuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terkait dengan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah.

“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan agar revisi UU politik, pengaturan calon perseorangan, dan pemekaran daerah menjadi hal-hal yang harus diperhatikan dan diprioritaskan. Tentu saya akan memerhatikan hal-hal itu, selain persoalan lainnya,” ujar Mardiyanto di Jakarta, Selasa (28/8/2007) malam. Ia diangkat menjadi Mendagri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 77/P Tahun 2007, tertanggal 28 Agustus 2007. Kemudian dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (29/8/2007) di Istana Negara, Jakarta. Setelah Mardiyanto dilantik, dilanjutkan serah terima jabatan dari Mendagri ad interim Widodo AS.

Perkuat NKRI
Seusai dilantik menjadi Mendagri, Mardiyanto mengatakan untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dia akan mengembangkan komunikasi intensif dengan gubernur. “Komunikasi intensif itu sebagai syarat utama, selain juga adanya pemahaman yang sama antara pusat dan daerah terhadap Undang-Undang Otonomi Daerah,” katanya.

Menurutnya, dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang paling utama adalah membangun dan mengembangkan komunikasi yang intensif dengan para gubernur. Dijelaskan, UU Otonomi daerah adalah payung hukum. Sepanjang pusat dan daerah saling memahami UU itu, yang dikhawatirkan dalam hubungan pusat dan daerah tak akan terjadi.

Ditanya soal peraturan daerah (perda) bermasalah, Mardiyanto mengatakan, jika bertentangan dengan aturan di atasnya, memang harus diubah atau dicabut. Dalam hal ini juga, dia melihat perlunya komunikasi intensif dilakukan dengan daerah.

Selain itu, Mardiyanto juga menegaskan untuk implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (soal calon perseorangan dalam Pilkada), dia akan segera menyelesaikan revisi terbatas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Juga tentang seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan revisi empat UU bidang politik. e-ti/tsl

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini