
[WAWANCARA] – Suara Prmbaruan 12/2/2006: Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad mengatakan: “Konsep tentang pembangunan yang berpihak kepada rakyat, pembangunan ekonomi kerakyatan, pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan, hanya lips service, bukan menjadi spirit perundang-undangan. Jadi tidak heran, deras modal masuk ke Indonesia dan kita menjadi kalah dalam bargaining position dengan mereka karena jebakan dari aturan yang di-drive pemodal. Pemerintah kita takluk pada korporasi…”
Bencana alam silih berganti mendera negeri ini. Penyebabnya adalah kerusakan lingkungan yang terjadi merata. Bicara kerusakan lingkungan jangan hanya menyalahkan rakyat. Walhi sebagai sebuah lembaga yang berkecimpung di bidang lingkungan hidup mengemban pekerjaan berat.
Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad yang ditemui Selasa (7/2) di kantornya, bicara blak-blakan mengenai kerusakan lingkungan, kebijakan pemerintah, dan upaya mengajak masyarakat berperan serta menjaga sumber daya alam dan lingkungan. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang mendorong Anda berkeputusan menjadi Direktur Walhi?
Saya melihat ada dinamika yang sedang berkembang di Walhi ketika saya di Jaringan Tambang (Jatam), sehingga saya berpikir yang paling tepat menjadi direktur adalah teman-teman di dalam Walhi. Tapi, waktu itu kawan-kawan yang mendorong saya menyodorkan beberapa fakta bahwa dibutuhkan upaya serius dalam konsolidasi karena kondisi lingkungan hidup sudah semakin buruk sementara organisasi ini sudah 25 tahun.
Dibutuhkan strategi-strategi yang lebih jitu dalam upaya perjuangan lingkungan hidup. Ada perubahan pada level negara yang mewajibkan NGO (organisasi nonpemerintah, Red) untuk mengubah strategi-strateginya yang berbeda dengan ketika rezim sebelumnya. Ditambah lagi, butuh upaya serius dalam konteks penguatan knowledge tentang advokasinya sendiri, ke-Walhi-an, serta kaderisasi. Karena itu saya akan masuk lagi ke Walhi.
Sebelum itu Anda sebenarnya ingin melanjutkan kuliah. Apa yang Anda ingin dalami atau pelajari?
Saya ingin melanjutkan kuliah mengambil ekonomi politik sumber daya alam karena melihat kecenderungan di negara-negara berkembang eksploitasi terhadap kekayaan alam lebih dinikmati pemodal. Dan ketika bicara pemodal, itu berarti perusahaan-perusahaan multi dan transnasional. Untuk bisa menikmati dengan sempurna mereka butuh back up politik dan hukum.
Saya bisa melihat bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia di-drive oleh kepentingan pemodal. Waktu itu saya sudah punya satu hipotesis, pergantian rezim kepemimpinan di Indonesia di dalam mendorong berbagai kebijakan ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam tidak berdikari.
Tidak genuine sebagai hasil pikirannya tapi karena kompromi dengan kekuatan luar, dan dipengaruhi secara sadar atau tidak sadar oleh kepentingan pemodal sehingga muncullah berbagai regulasi.
Sebagai contoh pada zaman Pemerintahan Soeharto pada 1967 keluar UU No 1/1967 tentang modal asing. Itu bukan pikiran murni bangsa Indonesia. Saya punya data, itu memang dipengaruhi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan. UU No 11/1967 tentang pertambangan juga dipengaruhi industri pertambangan. UU No 5/1967 tentang kehutanan. Itu jelas sekali dipengaruhi. Ada lagi tentang koperasi.
Dari sini sebenarnya konsep tentang pembangunan yang berpihak kepada rakyat, pembangunan ekonomi kerakyatan, pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan, hanya lips service, bukan menjadi spirit perundang-undangan. Jadi tidak heran, deras modal masuk ke Indonesia dan kita menjadi kalah dalam bargaining position dengan mereka karena jebakan dari aturan yang di-drive pemodal. Pemerintah kita takluk oleh korporasi.
Contoh konkretnya?
Undang-Undang 11/1967 kalau kita baca dari buku terbitan Freeport, menyebutkan bahwa mereka berusaha serius untuk melobi pemerintah Indonesia untuk mengegolkan UU No 11/1967. Yang menarik, setelah UU itu keluar Januari, pada April mereka langsung tanda tangan kontrak karya pertama. Dari Indonesia, yang menandatangani Soeharto sebagai ketua kabinet presidium, belum sebagai presiden. Desember 1967 keluar UU Pertambangan. Jadi, rentetannya jelas sekali.
Nah, di ujung kekuasaan Soeharto kita bisa melihat pada saat penandatanganan Letter of Intents (LoI) dengan IMF. Di situ disyaratkan agar Indonesia mengubah berbagai macam regulasi karena dianggap tidak kondusif untuk iklim investasi. Lahirlah UU Migas dan Ketenagalistrikan yang sangat liberal, kemudian juga berbagai instrumen peraturan perundangan-undangan perbankan, keuangan, air, dan seterusnya.
Dalam konteks yang berhubungan dengan perusahaan internasional, Freeport sebagai bukti konkret negara takluk pada korporasi. Kasus Cepu itu juga sebagai salah satu bukti. Juga negosiasi migas Exxon Mobil dan pemerintah yang belum sampai pada titik temu. Newmont juga bukti lain.
Dalam suatu kasus, kalau pelaku kejahatan lingkungan hidup tidak bisa diseret ke meja hijau, mau jadi seperti apa kepercayaan diri bangsa ini kepada negaranya? Orang akan selalu berpikir, tidak ada penegakan hukum di Indonesia dan itu berpengaruh kepada kepercayaan diri sebagai rakyat.
Belum ada yang sampai ke penga- dilan?
Gugatan perdata Newmont di Jaksel, misalnya, hakim menyatakan PN Jaksel tidak berkompeten mengadili karena ada kontrak antara Newmont dan pemerintah sehingga harus diselesaikan di arbitrase. Ini kan penanganan yang keliru karena yang diperkarakan adalah perbuatan yang melawan hukum. Tidak bisa di arbitrase, tapi pengadilan.
Menjadi pekerjaan besar kalau mau mengubah pola pikir petinggi bangsa ini dalam hal kebijakan bidang lingkungan hidup?
Memang pekerjaan yang sangat berat, karena saya belum melihat keseriusan komitmen politik dari pemerintah maupun partai-partai peserta pemilu yang mengumbar janji kampanye mereka peduli lingkungan hidup. Contoh konkret ketidakseriusan itu adalah soal bencana.
Kira-kira 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana. Di Jawa sudah pada titik jenuh. Kondisi umumnya sudah hancur. Hutannya yang masih baik tinggal satu juta hektare, selebihnya hanya kebun kayu. Di pesisir sudah dikonversi menjadi lapangan golf, hypermarket, perumahan, dan seterusnya. Ketika ada intensitas curah hujan dalam rentang waktu dua minggu, terjadi banjir dan longsor. Dan itu sudah kelihatan di Banjarnegara, Jember. Banjir di mana-mana.
Mestinya, kalau ada kemauan politik dari presiden dan partai-partai di parlemen, ada treatment khusus untuk Jawa atau daerah lain yang rentan bencana. Tetapi kita tak melihat itu. Kita selalu mendapat excuse, pemerintahan ini baru berjalan berapa tahun, sementara kerusakan lingkungan disebabkan periode sebelumnya.
Oke, kerusakan sudah sejak lama, tapi kalau fakta seperti itu dihadapi dengan biasa-biasa saja seperti rezim sebelumnya, maka ceritanya kita sedang menuju pada titik kolaps. Itu kebangkrutan serius pada bangsa ini, baik kehancuran lingkungan, sosial, maupun bencana silih berganti.
Pada gilirannya akan menyedot pembiayaan negara yang lebih besar ketimbang uang yang diterima negara dari eksploitasi sumber daya alam.
Jadi, apa langkah Walhi?
Sekarang itu kita sedang mikir, tidak terlalu banyak yang kita bisa harapkan dari perubahan di level negara atau politik kalau formasi dan struktur politik di tingkat rakyat seperti sekarang, yakni berpatokan ada patron dan mudah dipengaruhi dengan uang sehingga bargaining politik rakyat menjadi rendah.
Yang sedang kita upayakan serius sekarang adalah bagaimana rakyat di daerah bisa memahami betul, cerita buruk yang mereka alami itu satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan berbagai sistem kebijakan dan agenda politik yang sedang berlangsung di wilayah itu. Kami ingin membangkitkan kesadaran politik kolektif mengenai apa yang mereka hadapi sehari-hari dengan mengerti secara betul konteksnya, sehingga bisa menaikkan bargaining politik rakyat dengan pemerintah dan partai-partai.
Dengan begitu, ke depan, relasi antara rakyat dan pemerintah dan parlemen bukan lagi relasi antara buruh dan majikan, di mana majikan adalah pemerintah dan buruhnya adalah rakyat. Tapi, menjadi relasi sebenarnya, yakni antara pemberi mandat dan penerima mandat, sehingga agenda pemerintah berdasarkan mandat dari rakyat. Memang ini pekerjaan besar dan tak mudah.
Sudah adakah masyarakat yang sadar hak-haknya?
Di beberapa wilayah sudah terlihat jelas, seperti misalnya nelayan Bengkalis menduduki kantor Pemda. Itu justru karena mereka telah mengerti berdasarkan ketentuan pukat atau jaring batu itu ilegal tapi pelakunya nggak pernah ditangkap. Atau masyarakat di Selayar yang mencoba melakukan aksi sendiri menertibkan pelaku pengeboman ikan di laut mereka.
Juga ada beberapa kasus berkaitan dengan hutan. Kami terus mendorong ke arah sana, tetapi ini suatu kesatuan gerak advokasi. Jadi ada pengorganisasian di tingkat komunitas. Di tingkat komunitas itu kita berusaha mendorong mereka agar secara bersama melihat sebenarnya apa faktor kesulitan seluruh cerita rakyat itu baik persoalan politik, ekonomi, lingkungan. Harapannya, akan memunculkan suatu keyakinan permanen bahwa masalah yang dihadapi masyarakat terkait erat dengan agenda politik pemerintahnya.
Di sisi lain tentu harus mengkaji lebih mendalam, penguatan fasilitas argumentasi, dan hasil riset, serta kampanye atau memublikasikan semua persoalan ini baik melalui media massa maupun kita sebarkan kepada orang ke orang. Inginnya sih seperti agenda bersama yang lebih masif.
Bukankah misi seperti itu sering dianggap sebagai bentuk penghasutan?
Pasti. Itu risiko yang harus dihadapi. Kalau tidak, kami sangat khawatir Indonesia tak lebih dari negara yang kaya sumber daya alam tapi berpenduduk paling miskin di dunia dan paling banyak menjadi korban dari bencana.
Kalau dibalik, dengan pendekatan kepada pemerintah baik pusat maupun daerah?
Kami percaya, tidak akan ada perubahan fundamental di pemerintahan. Tapi kami percaya akan ada perubahan-perubahan kecil di pemerintahan sehingga dialog dengan parlemen dan pemerintah juga kita lakukan. Harapannya, mungkin belum sistemnya yang berubah tapi setidaknya orang yang duduk di sana mulai berpikir kritis, sehingga makin banyak orang semakin baik untuk sebuah perubahan sistem.
Ada juga kepala daerah yang peduli terhadap lingkungan?
Masih cukup banyak orang yang baik di pemerintahan, tapi lagi-lagi mereka kalah dengan sistem. Nah, kita sedang mencoba memperbanyak orang yang baik lewat interaksi dengan dialog. Sodorin data, dan diskusi. Kita harapkan ada perubahan.
Permasalahan lingkungan begitu pelik sehingga butuh loncatan kebijakan pemerintah dalam menanganinya. Menurut Anda formulanya seperti apa?
Selain yang saya sebutkan sebelumnya soal menempatkan rakyat sebagai pemberi mandat tadi, harus ada reward and punishment terbuka. Kemudian ada perubahan kelembagaan di pemerintahan yang selama ini masih terlalu sektoral sehingga menimbulkan ego sektoral yang memikirkan eksploitasi.
Bentuklah satu departemen pengelolaan aset alam dan lingkungan hidup. Unit setingkat menterinya adalah kementerian penegakan hukum terhadap aktivitas alam dan lingkungan hidup. Departemen sebagai regulator, kementerian berfungsi sebagai “tukang pukul”-nya. Industri juga untung karena hanya satu pintu, Di daerah tak akan terjadi tumpang tindih antarsektor serta penghematan anggaran negara.
Saya berharap presiden lebih confident karena dia presiden yang langsung dipilih oleh rakyat sehingga dia seharusnya lebih progresif ketimbang presiden-presiden sebelumnya.
Apakah reformasi kemarin memberikan perubahan pola pikir petinggi negara terhadap lingkungan?
Ada yang tidak berubah dari rezim ke rezim, yakni cara pandang, cara pikir dan cara bertindak. Memandang persoalan dari permukaan bukan esensinya, cara pikirnya dilokalisir, yang ditangkap hanya permukaannya, serta bertindaknya yang diselesaikan hanya gejala permukaan. Karena itu saya pikir cara pandang, cara pikir, dan cara tindak dari rakyat akan lebih efektif.
Kerja Walhi tentu tak mudah. Pernah nggak merasa stres atau mentok?
Sebagai manusia biasa sudah pasti aktivitas seperti kami ini harus terus menarik napas dalam-dalam dan mengusap dada. Miris.
Tapi kita termotivasi dengan melihat betapa masih banyak orang yang bersahaja ingin memperjuangkan dan optimistis bahwa kalau visi ini diperjuangkan terus-menerus akan terjadi perubahan. Mudah-mudahan kita termasuk yang optimis itu. PEWAWANCARA: DWI ARGO SANTOSA dan SUMEDI TP e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)