Opini Lainnya
Korupsi di Indonesia telah menjadi ancaman serius yang menggerogoti berbagai sektor, melibatkan pejabat pemerintah hingga pelaku usaha, menggerogoti anggaran negara triliunan rupiah setiap tahunnya. Meski Kejaksaan dan KPK telah menunjukkan upaya keras dalam pemberantasan, pengaruh politik praktis dan kurangnya dukungan media yang bertanggung jawab, membuat korupsi tetap merajalela. Reformasi total dalam sistem dan mekanisme pemberantasan korupsi menjadi kunci untuk menyelamatkan masa depan Indonesia dari cengkeraman kejahatan yang sudah mengakar ini.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Mengamati perjalanan beberapa kasus mega-skandal korupsi di Tanah Air, seperti kasus BLBI yang belum tuntas, kita menyaksikan adanya dekadensi moral yang masif dan terencana secara sistematis. Hal ini menyusup ke jaringan birokrasi organisasi pemerintahan dan direspon dengan proaktif oleh lembaga pengawas internal, meski tidak jelas kelanjutannya.
Lembaga pengawas eksternal yang bertugas mencegah dan memberantas korupsi terhambat oleh keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran, sehingga pencegahan dan penindakan korupsi berjalan lamban. Pemberantasan korupsi di Indonesia masih dipengaruhi oleh politik praktis serta pers dan media sosial yang kurang bertanggung jawab. Hal ini sering memengaruhi keyakinan hakim Tipikor dalam mengambil keputusan.
Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 3.4, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut di atas. Faktor lain termasuk kinerja dan moralitas penegak hukum yang masih dipertanyakan, seperti kasus suap oknum hakim/hakim agung, oknum penyidik dan penuntut, yang semakin masif.
Pelanggaran terhadap UU Anti Korupsi yang telah terjadi sejak tahun 1999 disebabkan oleh kurangnya kepedulian dan kesadaran dari para pelaku, yang bersikap masa bodoh terhadap penderitaan 35% rakyat miskin dari 260 juta penduduk di negeri ini. Lebih parah lagi, kejahatan ini dilakukan oleh kaum intelektual atau setidak-tidaknya lulusan SMA sampai Perguruan Tinggi, yang dikenal dengan istilah White Collar Criminal (penjahat berdasi), termasuk pejabat pemerintah seperti bupati, walikota, gubernur, dan menteri, sejak Kabinet SBY sampai saat ini.
Korupsi adalah kejahatan terhadap negara, bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga perekonomian, sistem keuangan, perbankan, dan pasar modal. Korupsi tidak hanya melanda birokrasi, tetapi juga pelaku usaha, termasuk Badan Usaha Milik Negara yang hampir selalu mengalami kerugian setiap tahun karena risiko bisnis dan korupsi.
Korupsi juga melibatkan anggota partai politik. Masyarakat terguncang dengan laporan dana 349 triliun rupiah yang dilansir oleh Menkopolhukam (Mahfud MD), di mana 80% dari dana tersebut beredar di lingkungan Kementerian Keuangan (suatu kementerian yang mengurus dan menjalankan tugas menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia), dan 20% di Polri (lembaga penegak hukum yang bertugas melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan termasuk tindak pidana pencucian uang). Namun, sampai saat ini tidak ada satu pun perkara terkait dana tersebut yang dibawa ke pengadilan.
Itulah yang sering terjadi di Indonesia: heboh dan gegap gempita di awal peristiwa, namun kemudian senyap di akhirnya. Hal ini juga tercermin dalam proses pembentukan hukum (undang-undang).
Dalam hal implementasi pemberantasan korupsi, Kejaksaan dan KPK telah menunjukkan keberhasilan yang lebih meyakinkan. Berdasarkan data Kejaksaan Agung tahun 2022, nilai kerugian negara mencapai Rp 144.215.249.106.909 dan USD 61.948.551. Sedangkan pada tahun 2023, kerugian negara mencapai Rp 8.730.256.856.388,37, USD 11.714.832,61, dan SGD 2.433.934,24. Pemulihan kerugian negara pada tahun 2022 mencapai Rp 33.344.666.760.938, sementara pada tahun 2020 (data KPK), realisasi pemulihan aset dari tindak pidana korupsi mencapai total Rp 593,2 triliun.
Data keberhasilan di Kejaksaan dan KPK menunjukkan tren positif dalam pemberantasan korupsi, bertentangan dengan pendapat umum masyarakat, terutama dari kelompok anti KPK. Data tersebut membuktikan bahwa IPK Indonesia yang berada di posisi 34 pada tahun 2023 tidak terkait dengan perkembangan pemberantasan korupsi yang semakin membaik.
Meski demikian, perjuangan pemberantasan korupsi belum selesai dan tidak akan pernah berakhir karena korupsi telah menjadi budaya (criminal culture of corruption). Melihat perkembangan pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan dan KPK, keberadaan KPK (selain Kejaksaan) memberikan nilai tambah yang signifikan.
Namun, KPK di bawah pimpinan Firli cs masih menunjukkan kelemahan, seperti kurangnya harmonisasi, sinkronisasi dan disiplin di kalangan penyelidik/penyidik dalam hubungan kerja dengan kelima pimpinan KPK. Hal ini berbeda dengan KPK di bawah Abraham dan BW cs yang menunjukkan kekompakan baik hal-hal baik maupun yang kurang baik.
KPK yang efisien dan efektif dalam memberantas mega-korupsi harus mampu meningkatkan disiplin dan kinerja pegawai administratif, penyelidik, dan penyidik di bawah pengawasan intensif seorang inspektur yang kredibel dan profesional. Peningkatan ini harus diperkuat oleh kepemimpinan kelima komisioner dalam menghadapi masalah internal maupun eksternal, seperti kasus korupsi Kepala Basarnas dan tekanan publik terkait perkara korupsi tertentu.
Kepemimpinan komisioner KPK harus berani menolak campur tangan dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun kelompok kepentingan tertentu. Jika kepemimpinan komisioner KPK saat ini tidak mampu menyelesaikan masalah internal secara tuntas hingga awal tahun 2026 dan menimbulkan masalah serius terhadap eksistensi dan wibawa lembaga, maka ada dua opsi yang harus dilakukan pemerintah.
Pertama, membubarkan KPK dan mengembalikan tugas dan fungsinya kepada Kejaksaan. Kedua, mempertahankan KPK dengan perubahan total dalam sistem organisasi, administrasi, serta mekanisme penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, agar KPK dapat melaksanakan tugasnya sesuai amanat peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Bab X Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Perubahan. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK