Jurnalis Anti-Mainstream di Balik Sexy Killers dan Dirty Vote

Dandhy Dwi Laksono
 
0
64
Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono, Sutradara Dirty Vote (@dandhy_laksono)

Dandhy Dwi Laksono adalah jurnalis investigatif, sutradara dokumenter, dan aktivis yang berani mengungkap berbagai ketimpangan sosial, politik, dan lingkungan di Indonesia. Melalui rumah produksi Watchdoc Documentary Maker, ia telah menghasilkan film-film dokumenter yang menggugah kesadaran publik, seperti Sexy Killers dan Dirty Vote, yang kerap mengguncang narasi arus utama dan mengundang kontroversi. Gaya jurnalismenya yang anti-mainstream sering membawanya ke pusaran kontroversi, bahkan menghadapi tekanan hukum. Di tengah perjuangannya, ia harus merasakan kehilangan mendalam saat sang istri tercinta, Irna Gustiawati, meninggal dunia pada 2024. Namun, duka tak membuatnya berhenti. Justru, ia semakin teguh menjadikan film dokumenter sebagai alat perjuangan. Dengan kombinasi kecerdasan, keberanian, dan kreativitas, ia terus melawan ketidakadilan dengan lensa kamera dan suara keberanian.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

Dandhy Dwi Laksono lahir pada 29 Juni 1976 di Lumajang, Jawa Timur. Ia dikenal sebagai jurnalis, sutradara, dan produser film dokumenter yang kerap mengangkat isu-isu sosial, politik, dan lingkungan. Melalui karya-karyanya, ia berusaha mengungkap berbagai ketimpangan yang terjadi di Indonesia, menjadikannya salah satu figur yang berpengaruh dalam dunia jurnalisme investigatif.

Dandhy Laksono menempuh pendidikan tinggi di Universitas Padjadjaran, Bandung, dengan mengambil jurusan Hubungan Internasional. Selain pendidikan formal, ia juga mendapat pengalaman belajar di luar negeri melalui program Ohio University Internship Program on Broadcast Journalist Covering Conflict di Amerika Serikat pada tahun 2007 serta British Council Broadcasting Program di London pada 2008​. Selain itu, ia juga aktif mengikuti berbagai workshop dan seminar tentang jurnalisme di berbagai negara seperti Filipina, Thailand, China, Malaysia, dan Korea Selatan​.

Ketertarikannya pada dunia jurnalistik sudah tumbuh sejak masa kuliah. Ia aktif menulis dan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, membentuk karakter jurnalistiknya yang kritis dan vokal.

Dandhy Laksono memulai karier jurnalistiknya pada 1998 sebagai reporter di Tabloid Kapital dan Majalah Warta Ekonomi. Ia kemudian beralih ke media radio, menjadi editor di PAS FM, Smart FM, serta stringer untuk ABC Radio Australia​. Di dunia televisi, ia meniti karier sebagai produser berita di Liputan 6 SCTV dan kemudian menjadi Kepala Seksi Peliputan di RCTI.

Pada masa darurat militer di Aceh (2003-2005), Dandhy Laksono memimpin majalah dan situs berita alternatif Acehkita.com, yang berfokus pada isu-isu HAM dan konflik​. Pengalamannya meliput di daerah konflik semakin memperkuat dedikasinya dalam mengungkap kebenaran melalui jurnalisme investigatif.

Pada tahun 2011, Dandhy Laksono bersama rekannya, Andhy Panca Kurniawan, mendirikan Watchdoc Documentary Maker, sebuah rumah produksi yang berfokus pada pembuatan film dokumenter berbasis jurnalisme investigatif​. Sejak berdiri, Watchdoc telah menghasilkan lebih dari 165 episode dokumenter, 7.115 feature televisi, serta 45 video komersial dan non-komersial. Karya-karya Watchdoc sering mengangkat isu-isu sosial yang jarang terliput media arus utama​.

Beberapa film dokumenter garapannya yang mendapat perhatian luas antara lain:

  • Samin vs Semen (2015): Mengangkat perjuangan masyarakat Samin Kendeng melawan pembangunan pabrik semen​.
  • The Mahuzes (2015): Menyoroti konflik masyarakat adat Papua dengan perusahaan perkebunan​.
  • Jakarta Unfair (2016): Mengkritisi kebijakan penggusuran paksa di Jakarta​.
  • Sexy Killers (2019): Mengungkap keterkaitan elit politik dengan industri batu bara dan dampak ekologisnya​.
  • The Endgame (2021): Menelusuri kasus tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK yang menyingkirkan 57 pegawai​.
  • Dirty Vote (2024): Mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024 dengan melibatkan tiga pakar hukum tata negara – Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar​.

Pada tahun 2015-2016, Dandhy Laksono juga melakukan perjalanan panjang berkeliling Indonesia menggunakan sepeda motor dalam ekspedisi bernama Ekspedisi Indonesia Biru. Perjalanan ini mendokumentasikan berbagai isu energi, ekonomi mikro, kearifan lokal, serta sosial-budaya di berbagai daerah​.

Advertisement

Keberanian Dandhy Laksono dalam menyuarakan kebenaran sering kali membawanya ke dalam pusaran kontroversi. Pada 26 September 2019, ia ditangkap oleh kepolisian atas tuduhan menyebarkan ujaran kebencian melalui media sosial terkait konflik di Papua​. Ia dikenakan pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang menuai kecaman dari berbagai organisasi pers dan aktivis hak asasi manusia karena dinilai mengancam kebebasan berekspresi.

Selain itu, pada 2017, Dandhy Laksono juga pernah dilaporkan ke polisi atas tuduhan penghinaan terhadap Megawati Soekarnoputri melalui sebuah tulisan berjudul Suu Kyi dan Megawati​. Tuduhan ini muncul setelah ia mengkritik kebijakan Megawati dalam konteks perbandingan dengan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi.

Atas dedikasinya dalam dunia jurnalisme dan dokumenter, Dandhy Laksono menerima berbagai penghargaan, salah satunya adalah Ramon Magsaysay Award 2021 yang dianugerahkan kepada Watchdoc Documentary Maker. Penghargaan yang sering disebut sebagai “Nobel Asia” ini diberikan atas kontribusinya dalam mendokumentasikan isu-isu penting di Indonesia dan memberikan suara bagi mereka yang tertindas​.

Dandhy Laksono tidak hanya menyuarakan kebenaran melalui film dokumenter, tetapi juga melalui media sosial di X (Twitter), Instagram, dan Facebook pribadinya. Ia kerap menggunakan bahasa yang provokatif untuk menarik perhatian publik terhadap isu-isu sosial dan politik, namun juga mampu menghadirkan narasi yang lebih emosional dan filosofis, terutama dalam refleksi pribadinya setelah kehilangan istrinya, Irna Gustiawati. Selain itu, ia tidak hanya menyampaikan pandangan, tetapi juga membuka ruang diskusi dan interaksi, menjadikan media sosial sebagai alat untuk membangun kesadaran kolektif dan mendorong partisipasi publik dalam memahami berbagai persoalan lebih dalam.

Dandhy menikah dengan Irna Gustiawati, seorang jurnalis yang pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Liputan6.com. Irna Gustiawati dikenal sebagai sosok pemimpin tangguh dan visioner di dunia jurnalistik. Ia pernah menjabat sebagai pengurus Asosiasi Media Siber (AMSI) DKI Jakarta dan berperan dalam berbagai inisiatif media digital​.

Namun, pada 30 Oktober 2024, Irna Gustiawati meninggal dunia di usia 50 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi Dandhy Laksono. Dalam unggahannya di Instagram, Dandhy Laksono mengenang Irna dengan refleksi yang puitis dan mendalam, mengungkapkan bahwa kepergian istrinya begitu mendalam hingga ia merasa seolah-olah Irna masih membimbingnya dalam perjalanan hidupnya.

“100 HARI. Banyak hal terjadi sejak peringatan 40 harimu. Mau kabar baik atau yang buruk dulu? Sebenarnya gak ada yang buruk. Aku cuma sempat masuk rumah sakit karena cidera. Tapi aku tahu, kamu pasti sudah tahu. Karena saat jalan kaki ke pedalaman Papua itu, seekor kunang-kunang sering berjalan memandu di depan. Juga angin yang berembus sejuk seperti saat pemakamanmu.”

Ia juga membagikan momen-momen terakhir mereka, mengingat Irna yang selalu mendukungnya, bahkan saat ia sibuk dengan proyek Dirty Vote:

“Ini memang tahun ajaib kita. Tahun penuh ketegangan karena Dirty Vote. Tapi setidaknya kali ini kamu sudah lebih rileks membaca berita aku dilaporkan ke polisi. Aku teringat kamu datang ke posko membawa makanan dan pakaian, setelah 10 hari aku nggak pulang untuk menyelesaikan film itu. Padahal sebelumnya pernah begadang lebih lama dan tak kamu jenguk.”

Di tengah berbagai tantangan yang dihadapinya, Dandhy Laksono tetap konsisten dalam berkarya, menjadikan film dokumenter dan media sosial sebagai alat perubahan yang menggugah kesadaran masyarakat. Karyanya tidak hanya menjadi dokumentasi sejarah, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Dengan keberanian, ketajaman analisis, dan kepiawaiannya dalam berkomunikasi, Dandhy Laksono terus menjadi salah satu figur penting dalam dunia jurnalisme investigatif di Indonesia. (atur/TokohIndonesia.com)

Referensi:

  • Situs Watchdoc Documentary Maker
  • Medsos Dandhy Laksono
  • Film Dokumenter “Dirty Vote” (2024)
  • Media Nasional: Kompas, Detik, Tempo, Tirto, dan lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini