Republik Delapan Puluh Tahun

Apa yang Sebenarnya Kita Rayakan?

0
17
Republik Delapan Puluh Tahun
Kemerdekaan diwariskan, kedewasaan harus terus diperjuangkan.
Lama Membaca: 3 menit

Umur tidak selalu mencerminkan kedewasaan. Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, tapi dalam banyak hal, kita masih seperti negara yang baru belajar mengenal warganya sendiri.

Delapan puluh tahun. Dalam hidup manusia, itu usia yang penuh cerita. Dalam hidup bangsa, itu baru permulaan, jika yang dicari adalah kedewasaan, bukan sekadar umur.

Kita suka mengukur kemajuan dengan tanggal dan angka. Seolah-olah semakin tua, semakin mapan. Tapi usia tidak selalu berbanding lurus dengan kedalaman. Kita sudah merdeka delapan dekade, tapi masih sering bersikap seperti negara yang baru terbentuk: cepat gugup, reaktif, dan gelisah jika diingatkan.

Pemerintah pusat merayakan HUT RI dengan parade dan formasi udara berbentuk angka delapan puluh. Di layar televisi, bangsa ini tampak rapi dan percaya diri. Tapi di banyak tempat, kemerdekaan tidak datang dalam bentuk selebrasi, melainkan perasaan tidak didengar. Di Pati, protes rakyat terhadap kenaikan pajak PBB yang ekstrem membuat pemerintah daerah akhirnya mundur. Bukan karena diskusi, tapi karena tekanan.

Dalam demokrasi yang sehat, suara warga seharusnya terdengar tanpa harus diteriakkan. Jika protes besar menjadi satu-satunya bentuk komunikasi yang efektif, barangkali yang belum matang bukan sekadar kebijakan, tapi cara kita memahami hubungan antara negara dan warga.

Presiden menyebut angka pengangguran telah turun ke titik terendah sejak 1998. Tapi dalam laporan yang sama, jumlah penganggur justru bertambah. Persentase bisa turun, tapi realitas orang yang belum punya pekerjaan tetap meningkat. Ini bukan soal statistik yang salah, tapi soal cara kita membaca kenyataan: apakah kita lebih peduli pada angka, atau pada pengalaman hidup di balik angka itu?

Hannah Arendt pernah membedakan antara kemerdekaan dan kebebasan. Merdeka adalah lepas dari dominasi luar, tapi kebebasan hanya hadir jika warga punya ruang untuk berpikir, bersuara, dan menentukan arah hidupnya sendiri. Kita mewarisi kemerdekaan, tapi apakah kita benar-benar telah belajar hidup bebas secara politik, sosial, dan intelektual?

Negara kadang diperlakukan seperti mesin: rusak, diganti komponennya, lalu jalan lagi. Tapi negara adalah organisme. Ia butuh tumbuh, belajar, salah, dan diingatkan. Tapi untuk itu, ia juga butuh pendengaran yang peka, bukan sekadar pengeras suara yang lebih besar.

Kita masih sering merasa terganggu oleh pertanyaan. Masih mudah curiga terhadap kritik. Masih sulit mengakui bahwa ada yang belum beres. Padahal justru di situlah kematangan diuji: pada kemampuan menerima koreksi, bukan sekadar menyusun narasi keberhasilan/optimisme.

Di sisi lain, warga juga lelah menjadi sekadar penonton dalam perayaan yang katanya milik bersama. Simbol-simbol kebangsaan terus dikibarkan, tapi dalam beberapa unjuk rasa, yang muncul justru bendera bajak laut. Sebuah ironi. Ketika simbol resmi tak lagi mewakili perasaan, rakyat menciptakan simbolnya sendiri.

Advertisement

Anak-anak muda yang tumbuh jauh dari suasana proklamasi sering dituduh apatis. Padahal mungkin mereka hanya belum diajak merasa memiliki. Mereka mengenal Indonesia bukan lewat pidato kenegaraan, tapi lewat antrean panjang, sistem yang rumit, dan ruang publik yang belum ramah pada keberbedaan. Tapi justru dari generasi seperti itulah, kemungkinan kematangan bisa lahir, bukan lewat hormat bendera, tapi lewat keberanian bertanya ulang.

Kita menghafal proklamasi, tapi jarang membaca ulang makna yang diselipkan di dalamnya. Memori kolektif menjadi rutinitas, bukan perenungan. Kita punya hari besar, tapi jarang menjadikannya titik balik berpikir sebagai bangsa.

Delapan puluh tahun. Banyak bangsa lain yang juga lahir di abad yang sama. Sebagian kini fokus membangun sistem yang tahan banting, bukan hanya pemimpin yang karismatik. Sebagian lain masih jatuh bangun dalam sirkus politik dan ekonomi. Indonesia berdiri di antara keduanya, belum stabil sepenuhnya, tapi juga belum selesai belajar.

Mungkin justru di situ letak peluangnya. Kita belum selesai, dan itu berarti kita masih bisa memperbaiki. Tapi hanya jika kita berani mengakui bahwa kemerdekaan bukan prestasi yang bisa diwariskan begitu saja. Ia harus terus dirawat, diuji, dan kadang dikritik.

Kepercayaan bukan sesuatu yang diminta. Ia dibangun perlahan, atau hilang dalam satu keputusan yang sembrono.

Delapan puluh tahun memang layak diperingati. Tapi barangkali lebih layak lagi jika dijadikan momen untuk bertanya: sudah sejauh mana kita tumbuh sebagai bangsa? Dan mengapa, setelah semua ini, kita masih merasa seperti negara yang baru mulai belajar? (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Selamat Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia.
Semoga kita terus belajar menjadi bangsa yang tidak hanya besar dalam sejarah, tetapi juga dewasa dalam cara berpikir dan bertindak.
Redaksi TokohIndonesia.com

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments