Na Bisuk Nampuna Hata, Na Oto tu Panggadisan
Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (6)

Sesungguhnya, amsal klasik Batak sudah mengingatkan: “Na bisuk nampuna hata, na oto tu panggadisan.” (Orang arif punya narasi, orang bodoh ke penjualan). Ini adalah salah satu amsal strategi kebudayaan Batak warisan leluhur. Maka menyadari adanya ‘kejahatan narasi informasi’ itu, suatu bangsa, atau suku bangsa, atau kelompok masyarakat, mesti menyikapinya dengan kesadaran yang tinggi dan cerdas, atau istilah Batak: Bisuk.
Dalam frame strategi kebudayaan sebagai proses belajar raksasa, berpikir raksasa dan karsa buddhayah raksasa, yang secara bisuk mendalami, memfasilitasi interpretasi, mereview dan mengontemplasi kearifan nilai-nilai dan sejarah kebudayaan dalam berbagai dimensinya, serta merevitalisasi dan mentransformasinya dalam perspektif strategis futuristik sebagai masterplan masa depan suku bangsanya. Suatu narasi kontempelasi masa lalu, kini dan masa depan yang berbasis nilai luhur budaya Batak sendiri.
Jangankan suatu bangsa atau suku bangsa, sebuah institusi pun kini telah merancang dan mengoptimalkan strategi kebudayaan untuk menghadirkan eksistensi dan meningkatkan kemampuan daya saingnya. Sebagai contoh, apa yang disebut Angus Myles Arthur Tilney (2012), seorang militer Inggris dalam The Cultural Dimension of Army Transition, A Monograph (Dimensi Budaya Transisi Tentara, Sebuah Monograf): Berbicara tentang strategi kebudayaan untuk mendukung kemampuan militer, dia mengusulkan pendekatan komplementer yang menargetkan dimensi budaya untuk menambah fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dengan kemampuan fisik. Menurutnya, sarana untuk memengaruhi perubahan budaya ini adalah artefak budaya yang dapat disesuaikan secara nyata: struktur organisasi, pelatihan dan pendidikan, doktrin, sumber daya, dan proses yang berpusat dalam struktur militer. Dengan cara ini, strategi kebudayaan menggunakan artefak budaya untuk membentuk nilai-nilai budaya yang diminta oleh pasukan yang fleksibel dan dapat beradaptasi. Hasilnya adalah pasukan dengan kemampuan fisik yang luas, dan fleksibilitas budaya untuk menyesuaikan mereka dengan dunia kompleks tempat mereka beroperasi.[1]
Menurutnya, untuk menanamkan strategi kebudayaan ini dalam konteks transisi yang lebih luas, menempatkan nilai-nilai budaya di pusat organisasi, dan artefak budaya di sekitarnya.[2]
Dalam konteks suku bangsa Batak, strategi kebudayaan itu harus menempatkan nilai-nilai luhur budaya Batak sebagai kekuatan utama yang ditempatkan dalam hati sebagai pusat berpikir yang berkecerdasan intelektual (akal), emosional, spiritual dan kecerdasan iman yang jauh melampaui akal. Secara internal, suku bangsa Batak jangan alpa memperkuat keberadaan dan eksistensinya sebagai Batak yang diamanatkan berkarakter habisuhon Trisila Batak: 1) Berkepercayaan kepada Debata; 2) Berkekerabatan Dalihan Na Tolu; 3) Berkarakter Anak/Boru ni Raja. Itulah kekuatan utama untuk narasi strategi kebudayaan Batak.
Thomas C. Chamberlin menyoroti kejahatan intelektual akibat kurang cermat terhadap bukti yang mendasari penilaian dan narasi, disengaja atau tidak; sebagaimana yang dialami leluhur dan orang Batak: Mereka menarasikan Batak tanpa dasar bukti yang cermat. Tentang hal ini, Thomas C. Chamberlin, menegaskan: “Sejauh ini kejahatan yang lebih besar, setidaknya kejahatan yang lebih luas, muncul bukan dari niat kriminal tetapi dari cacat tindakan intelektual dan dari sikap pikiran yang salah. Salah menilai orang lain sebagian besar muncul dari kurangnya pemeriksaan yang cermat terhadap bukti yang mendasari penilaian. Rumor, laporan, saran, sindiran diterima tanpa pemeriksaan yang memadai.”[3]
Hal ini menyangkut karakter moral intelektual. Moral sebagai proses intelektual. Chamberlin menegaskan bahwa karakter moral melekat pada pemikiran, perasaan dan tindakan kita. Menurutnya: “Pikiran yang membelok dari kejujuran mutlak dalam setiap aktivitasnya berada di bawah kutukan etis. Kepalsuan dalam tindakan intelektual adalah amoralitas intelektual. Kebiasaan berpikir yang sempit dan longgar, sikap berprasangka buruk terhadap bukti, bias dari pendapat dan perasaan sebelumnya, sikap dangkal dan pengamatan dangkal, dan kecerobohan dalam penalaran adalah subjek yang pantas untuk teguran moral. Lingkup penuh kelengkapan moral hanya dicapai ketika trinitas: berpikir benar, merasa benar, dan melakukan yang benar; digabungkan dalam kesempurnaan individu untuk membentuk kesatuan etis.”[4]
Maka mari kita camkan peringatan strategis amsal klasik leluhur Batak supaya kita (setiap generasi) marbisuk (berkearifan, bijaksana) bernarasi (menjadi pemilik narasi) untuk tidak menjadi korban ‘dijual hidup-hidup’ oleh pihak lain (asing) pemilik narasi. Ijuk di parapara, hotang di parlabian; Na bisuk nampuna hata, na oto tu panggadisan. Mari berkolaborasi menarasikan Batak (tertulis) dalam perspektif nilai-nilai luhur Batak.
Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy
Footnotes:
[1] Tilney, Angus Myles Arthur, Major, 2012: The Cultural Dimension of Army Transition A Monograph, Kansas: School of Advanced Military Studies United States Army Command and General Staff College Fort Leavenworth, p.15.
[2] Tilney, Angus Myles Arthur, Major, 2012: p.16.
[3] Chamberlin,Thomas C. LL. D., 1888: p.16.
[4] Chamberlin,Thomas C. LL. D., 1888: p.3-4..