Dicari, Presiden Pemberani Tegakkan Hukum

 
0
88
Dicari, Presiden Pemberani Tegakkan Hukum
Ch. Robin Simanullang | Ensikonesia.com | bh

[OPINI] – CATATAN KILAS Saatnya Hukum Jadi Panglima – Oleh Ch. Robin Simanullang | Seri 2 dari 3 | Sepanjang sejarah Republik Indonesia (68 tahun lebih), dengan amat sedih harus kita akui, bahwa belum ada Presiden yang berani menegakkan hukum dengan benar dan adil (demi kebenaran dan keadilan). Penegakan hukum masih berada di bawah bayang-bayang kepentingan politik (kekuasaan) dan ekonomi. Politik masih selalu jadi panglima. Padahal semestinya, hukumlah yang jadi panglima (supremasi hukum).

Supremasi hukum dan penegakan hukum (law enforcement) semestinya menjadi panglima dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana dicita-citakan oleh the founding fathers yang mendirikan Indonesia sebagai negara hukum (rechsstaat/rule of law) berazas dasar Pancasila (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945).

Namun bagaimana penjabaran ‘cita-cita’ negara hukum itu, selama ini belum pernah ada Presiden yang berkehendak merumuskannya secara komprehensif, masih bersifat sektoral berupa pembangunan hukum dengan pembuatan banyak undang-undang (sektoral). Hukum belum pernah ditempatkan menjadi panglima dalam garis-garis besar haluan negara atau program utama kebijakan pemerintah. Sehingga pembangunan hukumnya compang-camping dan penegakannya pun serampangan. Supremasi hukum pun hanya menjadi slogan (mati suri). Penegakan hukum berjalan setengah hati bahkan tak jarang diwarnai rekayasa dan kepentingan-kepentingan politik dan lain sebagainya.

Mari kita mulai menimang dan memilih pemimpin, dalam hal ini calon Presiden dan Wakil Presiden yang berani menyelenggarakan pemerintahan negara dan memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya dengan supremasi hukum dan penegakan hukum.

Sejauh ini, supremasi hukum masih sekadar jargon dari ideologi negara hukum yang menjamin ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan rakyat. Sehingga, kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan lembaga peradilan serta aparat penegak hukum menjadi hilang. Maka sering kali timbul tindakan (kebiasaan) main hakim sendiri. Kesadaran dan tanggungjawab yang semestinya melekat sebagai kewajiban setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) untuk menaati dan menegakkan hukum pun semakin terbenam dalam.

Hal ini berdampak pada semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di antaranya dalam pertumbuhan dan pelaksanaan demokrasi yang semestinya ditopang asas kesamaan warga negara di depan hukum (equality before the law). Namun, prakteknya seringkali politik menaklukkan hukum. Sementara, hakikat demokrasi tidak berdaya di hadapan hukum yang compang-camping. Sebaliknya, demokrasi (kekuasaan rakyat, rakyat yang mengendalikan kekuasaan negara dan mengontrol para pejabat publik yang mereka pilih) menjadi terdegradasi ke dalam demokrasi prosedural yang melegitimasi dinasti kekuasaan (politik) dan kuasa modal (ekonomi).

Kondisi supremasi dan penegakan hukum yang buruk seperti itu tidak hanya terjadi pada era sebelum reformasi (1998). Bahkan, saat ini (era reformasi), kendati sudah ada lembaga penegak hukum independen dan super body, seperti KPK, juga masih belum bebas dari pengaruh kepentingan politik, baik dari dalam diri KPK itu sendiri, maupun (terutama) dari luar (penguasa, elit politik). Hal ini bisa kita lihat dengan kasat mata dari beberapa kasus. Di antaranya, kasus Antasari Azhar, Bibit-Chandra, dan Sprindik Anas.

Maka, sesungguhnya, sejauh ini, Negara Indonesia belum mewujudkan keberadaannya sebagai negara hukum. Sebab sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara hukum (rechsstaat) bilamana superioritas hukum telah dijadikan sebagai aturan main (rule of law, fair play) dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, terutama dalam memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya. Sehingga, idealnya sebagaimana dikemukakan Jhon Lockce dalam karyanya “Second Tratise of Government”, dalam negara hukum sejatinya warga masyarakat tidak lagi diperintah oleh seorang raja, presiden atau apapun namanya, akan tetapi diperintah berdasarkan hukum.

Jadi, dalam konteks mewujudkan keberadaan Indonesia sebagai suatu negara hukum (rechsstaat) itu, bagaimana dan dari mana memulainya? Mari kita mulai dengan menimang dan memilih pemimpin, dalam hal ini calon Presiden dan Wakil Presiden yang berani menyelenggarakan pemerintahan negara dan memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya dengan supremasi hukum dan penegakan hukum.

Presiden dan Wakil Presiden yang memegang posisi amat strategis itulah yang akan berada di garda terdepan untuk menyalakan obor supremasi hukum dan penegakan hukum demi tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Maka, mari kita timang-timang, siapakah warga negara Indonesia yang siap dan berani menjadikan hukum sebagai penglima. Bukan orang (tokoh) yang sekadar berani bicara (wacana), bukan pula tokoh yang berani bertindak tetapi tidak menghormati supremasi hukum, tidak menghormati hak-hak warga apalagi tidak menghormati hak azasi manusia.

Apakah Indonesia kini memiliki bakal calon Presiden dan Wakil Presiden yang berani menegakkan hukum (menjadikan hukum sebagai penglima)? Siapakah mereka? | Bersambung Seri 3 dari 3 | Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com

Advertisement

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Tokoh Terkait: Basuki Tjahaja Purnama – Ahok, Joko Widodo, Mahfud MD, Muladi, Romli Atmasasmita, | Kategori: Opini – CATATAN KILAS | Tags: Panglima, Capres, hukum, robin, Supremasi, Negara Hukum

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini